REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endro Yuwanto *)
Piala Dunia adalah gelaran sepak bola terbesar di dunia, tidak terkecuali bagi penggemar si kulit bundar di Indonesia. Negara ini merupakan kandang bagi lebih dari 150 juta fan sepak bola.
Sangat wajar, lantaran sepak bola merupakan olah raga terpopuler di negara mayoritas Muslim ini. Uniknya, tidak ada waktu yang lebih baik bagi penggemar sepak bola di Indonesia karena pembukaan Piala Dunia 2018 pada 14 Juni, antara tuan rumah Rusia menghadapi Arab Saudi, jatuh di malam takbiran menjelang hari raya umat Islam, Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Pada Piala Dunia 2014 Brasil lalu, Indonesia menjadi negara pertama dengan rating tertinggi yang menyiarkan Piala Dunia dengan rata-rata 120 hingga 150 juta penonton. Bahkan laga final antara Jerman kontra Argentina disaksikan 195 juta penonton secara akumulatif.
Nantinya Trans TV dan Trans 7 berstatus sebagai Licensed Broadcaster Television Piala Dunia 2018. Sementara, Transvision berstatus sebagai Licensed Satellite Television untuk Piala Dunia 2018. Selama kurang lebih satu bulan, ada 32 negara yang bersaing untuk menjadi juara.
Piala Dunia 2018 tentu akan menyedot perhatian besar penikmat sepak bola Indonesia. Apalagi jam kick-off pertandingan sangat bersahabat dengan warga Indonesia. Pasalnya, banyak pertandingan kick-off di waktu prime time. Seluruh pertandingan fase grup akan kick-off bervariasi, yakni pukul 17.00 WIB, 20.00 WIB, 21.00 WIB, 22.00 WIB, dan 01.00 WIB.
Bisa jadi dengan jam tayang seperti itu, seluruh sudut kepulauan di Indonesia bisa menyaksikan pesta sepak bola di Rusia itu. Rekor negara pertama dengan rating tertinggi yang menyiarkan Piala Dunia dengan rata-rata 120 hingga 150 juta penonton pada 2014, bisa saja terpecahkan kembali di Indonesia pada 2018 nanti.
Trofi Piala Dunia
Sudah pasti, Piala Dunia 2018 akan menyedot perhatian seluruh warga Indonesia. Sampai-sampai Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengingatkan agar bangsa ini tak melupakan Asian Games 2018 Agustus nanti yang digelar di Indonesia. Pasalnya, Presiden mengamati gaung Asian Games sejauh ini masih kalah dengan gelaran Piala Dunia di Rusia.
Kondisi ini sebenarnya terasa miris. Meski telah berpuluh-puluh tahun terlewati, Indonesia masih saja bermimpi memiliki tim nasional (timnas) sepak bola yang kuat dan disegani di level internasional dan sulit menggapai kesuksesan. Bagi sebagian kalangan pencinta sepak bola di Tanah Air, mimpi-mimpi berbicara di tingkat dunia itu seakan menjelma menjadi sebuah mimpi buruk yang terus saja berulang.
Kondisi ironis ini menimbulkan kegetiran tersendiri. Padahal, sejak lama Indonesia berkoar-koar sebagai negara Asia pertama yang menembus putaran final Piala Dunia.
Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, Indonesia memang sempat tampil di Piala Dunia 1938 Prancis dengan menggunakan nama "Hindia Belanda". Tapi, itu dulu.
Sepak bola Indonesia tak akan pernah maju jika selalu mendasarkan diri pada kebanggaan masa lalu. Tentu kita sudah bosan mendengar cerita keberhasilan Ramang dan rekan-rekannya yang menahan imbang 0-0 Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956. Atau kisah sedih saat kita tinggal selangkah lagi menuju Olimpiade Montreal Kanada 1976.
Sudah menjadi rahasia umum sepak bola adalah olahraga paling digandrungi sedunia, termasuk di Indonesia. Kompetisi sepak bola dalam negeri pun sudah berjalan bertahun-tahun dan jumlah pendukung olahraga ini terus bertambah. Ada masalah di sana-sini, terutama soal manajemen liga dan internal PSSI. Namun, semua itu tak pernah mengendurkan semangat olahraga ini untuk terus berkembang di Indonesia.
Buktinya, setiap laga timnas Indonesia, tribun-tribun penonton tak pernah sepi. Pun, ketika skuat Garuda--dan ini kerap terjadi--tak memiliki kesempatan menikmati kemenangan, pendukung timnas tetap setia mendukung tim kebanggaannya berlaga. Pun dengan persiapan timnas sepak bola Indonesia ke Asian Games 2018 yang masih jauh dari kata memuaskan. Para pendukung itu seperti tak lelah bermimpi menanti kejayaan sepak bola negeri sendiri.
Mimpi-mimpi itu terus terpupuk saat era Ricky Yakobi dan rekan-rekannya memperkuat timnas. Tentu masih banyak yang mengingat saat Ricky dan rekan-rekan mampu menahan klub elite Belanda PSV Eindhoven, 3-3, dalam laga uji coba di Jakarta pada 14 Juni 1987 silam. Kala itu PSV diperkuat calon pemain bintang AC Milan dan Belanda, Ruud Gullit. Pada tahun yang sama, Indonesia mampu menjuarai Piala Kemerdekaan dengan menundukkan tim kuat Aljazair di final.
Dan, kemudian berlanjut menjadi juara SEA Games 1987 dan SEA Games 1991. Setahun sebelumnya, skuat Garuda juga mampu menembus semifinal Asian Games X Seoul Korsel 1986. Indonesia pun hampir lolos ke putaran final Piala Dunia 1986 Meksiko. Nyaris...
Akan tetapi, sejak itu, mimpi itu seolah enggan membumi. Kita harus kembali bermimpi, melayang-layang tak tentu arah, dan berangan-angan melihat timnas Indonesia disegani di dunia. Mimpi yang harus terus membuai kita hingga puluhan tahun. Mimpi-mimpi panjang yang melebihi tumbuh kembang seorang anak yang baru mengenyam pendidikan usia dini hingga ia memiliki anak dan istri. Kita pun terus saja bermimpi.
Ribuan suporter Timnas Sepakbola Indonesia memadati Stadion Selayang, Malaysia, Ahad (20/8).
Mimpi-mimpi itu sempat menjelma menjadi asa agar terealisasi prestasi di era Kurniawan Dwi Yulianto dan rekan-rekannya yang menimba ilmu di Primavera Italia. Kurniawan dan beberapa rekannya juga menjadi pionir para pesepak bola Indonesia yang merumput di liga-liga Eropa. Namun, kehadiran Kurniawan tetap tak mampu menjadikan mimpi-mimpi pencinta sepak bola di Tanah Air yang ingin melihat prestasi tinggi timnas terealisasi.
Beberapa tahun berselang, Indonesia kembali mencoba merajut mimpi. Langkah "membeli" mimpi pun dilakukan dengan melakukan naturalisasi pemain. Puluhan pemain dari mancanegara dinaturalisasi untuk membela skuat Merah Putih. Hasilnya? Prestasi masih tetap sebatas mimpi.
Jika dirunut agak ke belakang, muara kegagalan timnas Indonesia selama ini sebenarnya bisa dikatakan akibat mutu atau kualitas klub dan kompetisi di Indonesia yang masih jauh dari standar. Entah apa pula yang terjadi dengan pembinaan sepak bola di Indonesia. Berbagai proyek pembinaan usia dini yang dirintis sejak bertahun-tahun silam belum juga membuahkan hasil memuaskan. Akibatnya, jangankan di level dunia dan Asia, di level Asia Tenggara pun Indonesia semakin tertatih-tatih.
Ratusan juta penonton di Indonesia yang menyaksikan secara langsung dan tak langsung Piala Dunia 2014 dan nanti Piala Dunia 2018, bisa jadi mewakili mimpi kita untuk suatu saat melihat timnas berlaga di gelaran empat tahunan itu.
Tak ada salahnya memiliki mimpi setinggi mungkin asal kita bisa mengubahnya menjadi sebuah hasrat dan komitmen yang kuat untuk menggapainya. Apalagi, antusiasme warga tak pernah pudar. Namun, untuk sepak bola Indonesia, sepertinya kita harus banyak-banyak bersabar dan terus bermimpi. Entah sampai kapan.
*) Jurnalis Sepak Bola Republika Online