Rabu 27 Jun 2018 12:31 WIB

Pilkada Kotak Kosong 2018

Pilkada dengan calon tunggal bukanlah kontestasi politik yang bagus.

Maspril Aries
Foto: dok. Pribadi
Maspril Aries

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Maspril Aries, Wartawan Republika

 

Hari ini, 27 Juni 2018, Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang berlangsung 171 daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pilkada serentak kali ini merupakan pilkada serentak gelombang ketiga sebelum menuju pada 2027 saat di Indonesia hanya ada dua pemilihan umum (pemilu), yaitu pemilu nasional serentak (memilih legislatif, presiden dan wakil presiden) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.

Pilkada serentak gelombang pertama berlangsung 9 Desember 2015 dan pilkada serentak gelombang kedua 15 Februari 2017. Pada pilkada 27 Juni 2018 muncul fenomena menarik, adanya pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal dengan jumlah yang meningkat. 

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pilkada 2018 ada 16 pasangan calon (paslon) kepala daerah-wakil kepala daerah akan melawan kolom kosong atau kerap disebut “kotak kosong” yang berkonsteasi di 16 daerah kabupaten dan kota. Jumlah pasangan calon tunggal kali ini mengalami peningkatan dibanding dua gelombang pilkada serentak sebelumnya. Pilkada serentak 2015 hanya ada tiga daerah dengan calon tunggal, yaitu pilkada Kabupaten Tasikmalaya, pilkada Kabupaten Blitar, dan pilkada Kabupaten Timur Tengah Utara.

Kemudian pada pilkada serentak gelombang kedua 2017 jumlah itu meningkat menjadi sembilan daerah dengan calon pasangan tunggal. Pada Pilkada gelombang ketiga 2018 kembali meningkat. Ini fenomena apa dengan pilkada calon tunggal melawan kotak kosong/kolom kosong yang jumlahnya mengalami peningkatan?

Fenomena pasangan calon tunggal tidak bisa dihindari karena diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Kemudian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 11 Tahun 2016 mengatur pilkada calon tunggal dalam Pasal 11A, mengatur surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar atau lebih populer dengan istilah “kotak kosong.” PKPU No.8 Tahun 2017 juga mengatur tentang sosialisasi “kolom kosong.”

Saat masa kampanye di Prabumulih muncul Posko kotak kosong. Posko ini berdiri dengan diprakarsai barisan relawan kotak kosong (Koko). Sejak April 2018 sudah berdiri beberapa posko Koko. Kehadiran posko tersebut menimbulkan reaksi beragam, tidak hanya dari masyarakat awam tapi juga mendapat respon dari para wakil rakyat di parlemen mengharapkan agar tidak memilih kotak kosong pada Pilkada 2018.

Lantas bagaimana jika ada yang memilih kolom kosong dalam kertas surat suara yang tidak ada foto pasangan calon? Tidak bolehkah melakukan kampanye dengan tagline “pilih kotak kosong” atau kolom kosong? Ada juga menilai memilih kotak kosong/kolom kosong sama artinya dengan tidak memilih atau golput dan tidak sah.

Untuk yang terakhir, memilih kotak kosong/ kolom kosong dalam pilkada menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, “Memilih kotak kosong berbeda dengan golput. Suara yang diberikan masyarakat ke dalam kotak kosong merupakan suara sah dengan nilai yang sama dengan mereka yang memilih seorang pasangan calon.”

Bagaimana dengan kampanye pilih kotak kosong/ kolom kosong? Jawabannya ada PKPU No.8 Tahun 2017. Kampanye memilih kotak kosong pada pilkada terjadi di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan (Sumsel) yang hanya diikuti satu pasangan calon, yaitu Ridho Yahya-Andriansyah Fikri. Kampanye memilih kota kosong dilakukan Barisan Relawan Kotak Kosong (Koko). Kampanye memilih kotak kosong/kolom kosong dalam kertas suara pilkada bukan suatu yang dilarang atau melanggar dari regulasi pilkada.

Kemudian jika hasil pilkada dengan calon tunggal yang ditetapkan KPU pemenangnya adalah kotak kosong bagaimana selanjutnya? KPU telah menetapkan, jika pada pilkada serentak 2018  yang memenangkan pemungutan suara pilkada adalah kotak kosong akan akan dilaksanakan pilkada ulang.

Pilkada dengan calon tunggal sudah mulai muncul saat pilkada langsung 2006 di Kabupaten Jepara, kemudian menjadi polemik pada Pilkada 2015. Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan atas uji materiil UU Nomor 8 Tahun 2015 dengan putusan No. 100/PUU-XIII/2015 MK membuka jalan beberapa daerah yang memiliki satu pasang calon kepala daerah untuk tetap menyelenggarakan pilkada pada tahun 2015.

Pilkada yang hanya terdiri dari satu pasang calon apakah masuk dalam kategori demokratis atau tidak? Menurut Michael P McDonald dan John Samples (2007) mengungkapkan, pemilu-pemilu yang demokratis adalah mengenai pilihan di antara kandidat-kandidat yang berkompetisi dan isu yang mereka akan laksanakan jika terpilih. Ada kata “kandidat-kandidat” artinya “jamak” atau lebih dari satu. Dengan demikian, pemilu yang demokratis identik dengan terdiri dari minimal dua kandidat.

Tapi ada juga yang mengatakan pilkada dengan calon tunggal tetap demokratis karena konstituen diberi ruang untuk tidak memilih calon tunggal tersebut melalui mekanisme kotak kosong/ kolom kosong seperti pilkada serentak 2018.

Mengapa di 16 daerah tersebut hanya ada calon tunggal? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena calon tunggal tersebut. Penelitian menyebutkan fenomena calon tunggal terjadi karena adanya mahar politik yang mahal dari partai politik. Regulasi pilkada di Indonesia menetapkan calon kepala daerah diusung oleh partai politik atau beberapa partai politik selain adanya calon independen.

Faktor lainnya karena partai politik di daerah dinilai belum mampu menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik dalam mengusung calon kepala daerah. Kaderisasi dan rekrutmen politik itu melekat pada fungsi utama partai politik yang seharusnya mampu melahirkan figur-figur yang kuat secara politik.

Dalam buku “Dasar-dasar Ilmu Politik” Miriam Budiardjo menulis, kaderisasi dan rekrutmen politik merupakan salah satu dari empat fungsi utama partai politik yaitu fungsi komunikasi politik, sosialisasi ataupun pendidikan politik, dan pengatur konflik. Secara teoritis, dalam negara demokrasi partai politik relatif mampu menjalankan fungsinya. 

Partai politik seharusnya menjadi tempat bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di depan penguasa. Namun, secara praktis kondisi partai-partai politik di negara demokrasi belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Indonesia merupakan salah satu contohnya.

Faktor lain menyebabkan muncul calon tunggal adalah aturan dalam undang-undang mengenai syarat dukungan, terutama bagi calon perseorangan yang tidak mudah dipenuhi.

Pilkada dengan calon tunggal bukanlah kontestasi politik yang bagus, karena kurangnya persaingan meraih kekuasaan yang seharusnya terjadi. Fenomena pilkada calon tunggal yang terus meningkat jumlahnya menjadi kontestasi demokrasi yang tidak ideal. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement