Kamis 28 Jun 2018 01:07 WIB

Kekalahan Jerman, Stalingrad, dan Hasil Pilkada

Incumbent Jerman harus angkat koper dari Rusia

 Pesepak bola Jerman Niklas Suele tampak sedih setelah timnya tersingkir dari Piala Dunia 2018 pada pertandingan grup F Piala Dunia 2018 di Kazan Arena, Rabu (27/6).
Foto: AP/Michael Probst
Pesepak bola Jerman Niklas Suele tampak sedih setelah timnya tersingkir dari Piala Dunia 2018 pada pertandingan grup F Piala Dunia 2018 di Kazan Arena, Rabu (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

 

 

Mohon maaf kalau nanti tulisan ini agak melenceng sedikit dari sepak bola. Maklum, tulisan ini tak pernah saya rencanakan akan dibuat dalam waktu dekat. Sebab, siapa kira Jerman akan mudik lebih awal dari Piala Dunia 2018

 

Sebelum tulisan ini dibuat, saya sebenarnya sedang mengetik analisis tentang hasil pilkada serentak 2018. Tulisan tentang sejumlah kejutan di pilkada harus saya tepikan. Karena ada kejutan yang juga tak kalah besar, yakni tersingkirnya sang incumbent Piala Dunia.

 

Nyatanya, memprediksi hasil kontes sepak bola kini jauh lebih sulit daripada menganalisis hasil dalam kontestasi politik. Kalau di pilkada, sejumlah lembaga survei sejak sebelum pencoblosan sudah memprediksi bahwa Ridwan Kamil akan memenangi Pilkada Jawa Barat atau Khofifah Indar Parawansa bakal unggul di Jawa Timur.

 

Namun, di sepak bola, tak ada lembaga yang berani memprediksi, Jerman, negara yang sepanjang sejarah tak pernah takluk di putaran grup Piala Dunia, akan angkat koper dari Rusia. Terlebih, Jerman adalah incumbent Piala Dunia yang punya "elektabilitas" tertinggi versi pengamat dan sejumlah rumah bursa taruhan. William Hill menjagokan Jerman bersama Brasil sebagai kandidat kuat juara Piala Dunia 2018.

 

Bahkan Reuters memanggil 145 pakar keuangan untuk memprediksi secara statistik siapa yang akan juara. Hasilnya, Jerman meraih polling tertinggi dengan raihan 43 suara. Demikian pun halnya seorang pelatih kaliber macam Jose Mourinho yang dengan yakin mengatakan Jerman akan menjuarai Grup F Piala Dunia 2018.

 

Memang, tak ada seorang pun yang berani meremehkan tim Panser setiap gelaran Piala Dunia. Bahkan, seorang  Gary Lineker sempat berkata setelah Inggris dikalahkan Jerman pada semifinal Piala Dunia 1990, "Sepak bola adalah olahraga yang Inggris temukan. Kamu bermain 11 lawan 11, tapi pada akhirnya selalu Jerman yang menjadi juara."

 

Sejarah memang empat kali membuktikan perkataan legenda Inggris itu. Jerman selalu punya cara untuk menjadi pemenang. Namun, tidak untuk di Rusia. Rusia nyatanya malah kerap membalik peruntungan sejarah Jerman. Rusia adalah jalan buntu di catatan sejarah Jerman.

 

Ini ibarat peristiwa yang terjadi sekitar 1942-1943 di Stalingrad. Saat itu, tentara keenam Jerman menyerbu jantung wilayah energi Rusia itu. Namun, dengan skuat tenaga, Rusia menahan serbuan bertubi Jerman itu dengan mempertahankan posisinya di seberang Sungai Volga.

 

Rusia bertarung sampai titik darah terakhir untuk menahan Jerman. Namun, pemimpin Jerman Adolf Hitler yang tak sabar, memilih memerintahkan pasukan cadangan untuk membantu pasukan keenam Jerman di jantung Stalingrad.

 

Akibatnya Jerman tanpa pertahanan dan akhirnya kalah akibat serangan balik Rusia. Kalau mau dicocologikan, ini mirip dengan ketidaksabaran Manuel Neuer cs yang maju hingga pertahanan Korsel. Hingga akhirnya serangan balik membunuh peluang Jerman di Piala Dunia 2018.

 

Sejarah kini mencatat Rusia kembali mengubur Jerman. Jika Stalingrad jadi pusara Panser pada 1942, kini Kota Kazan yang berjarak 1,043 km dari Stalingrad (kini bermama Volgograd) yang jadi kuburan bagi reputasi Jerman.

 

Pada akhirnya, Jerman harus tertunduk lesu. Sudah barang tentu rasa sedih melanda segenap pemain Jerman, utamanya sang pelatih Jerman Joachim Loew. Mungkin rasa sedih Loew mirip dengan perasaan calon yang sedang kalah di pilkada.

 

Namun, Jerman punya waktu setahun lebih cepat daripada calon yang kalah pilkada untuk membalas kekalahan. Maklum, Piala Dunia dihelat empat tahun sekali, sedangkan pilkada baru mentas lagi di 2023.

 

Di sisi lain, bukan netizen namanya jika tak usil. Sejumlah netizen asal Indonesia tak ketinggalan mengaitkan kekalahan Jerman dengan lelucon pilkada. Bahkan, pendukung timnas Jerman ada yang berkata via media sosialnya, "Kekalahan Jerman baru versi quick count. Mari kita tunggu hasil resmi dari KPU!"

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement