Jumat 29 Jun 2018 19:56 WIB

Membantah Klaim-Klaim Pilkada Serentak

Kompleksitas di pilkada menunjukkan 2019 masih jadi medan perang terbuka.

Red: Joko Sadewo
Fitriyan Zamzami
Foto: Republika/Daan Yahya
Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami*

Selepas pilkada serentak tahun ini, hasil hitung cepat juga lekas diklaim rerupa partai sebagai keberhasilan dukungan dan usungan masing-masing partai. Namun, namanya jualan kecap, mau kata apa juga barang sendiri yang nomor satu.

Pihak parpol, sementara ini menggunakan kuantitas sebagai tolok ukur. Kemenangan calon polkada yang diusung dan didukung otomatis dianggap sebagai kemenangan partai. Ini tentu semacam oversimplifikasi dan, sekali lagi, strategi jualan kecap guna menaikkan daya tawar. Karena di balik rerupa klaim tersebut, gambaran pilkada kali ini jauh lebih kompleks.

Begini, sebagian parpol, utamanya yang perolehan suaranya pada Pemilu 2019 bukan di papan atas, asal ikut gerbong. Mengetahui daya tawar tak banyak, mereka kerap mendompleng calon yang diusung oleh partai papan atas, atau juga menumpang pada ketokohan calon nopartai yang punya kans besar.

 

Dukungan ini kerap kali hanya berupa tambahan kursi sebagai prasyarat mendaftar ke KPU setempat. Ia tak selalu berarti mesin partai dijalankan secara total dan efektif untuk calon yang didukung.

Dari itu, salah satu cara yang lebih adil guna menengok relevansi parpol dalam pilkada adalah dengan menilik latar belakang masing-masing pasangan yang sejauh ini unggul di hitung cepat. Meski harus diingat, hitung cepat juga bukan hasil final. Mengingat masifnya pilkada serentak, mari membatasi kalkulasi pada pemilihan gubernur dahulu.

Dengan metode ini, kita dapati bahwa sebanyak enam calon, baik gubernur maupun wakil gubernur, yang unggul melalui hitung cepat berlatar belakang birokrat. Artinya, mereka memulai karir di pemerintahan dari bawah dan baru belakangan dilirik parpol.

Enam calon tersebut juga belum jadi kader parpol. Dari jumlah itu, empat merupakan calon gubernur dan dua calon wakil gubernur.

Pada posisi kedua, ada Golkar yang menempatkan lima calon pada posisi unggul. Meski demikian, empat di antaranya adalah calon wakil gubernur. Warisan kejayaan Golkar di daerah sebagai hasil kaderisasi panjang selama Orde Baru agaknya dapat tantangan hebat tahun ini.

PDIP dan PPP sama-sama menempatkan tiga kader pada puncak hitung cepat. Kendati demikian, hanya satu dari PPP merupakan calon gubernur sedangkan seluruh kader PDIP yang unggul adalah calon gubernur.

Demikian juga dengan Nasdem dan PKS. Masing-masing menempatkan dua kader pada posisi unggul sementara merujuk hitung cepat. Meski begitu, kedua kader Nasdem adalah calon gubernur sementara PKS masing-masing satu pada calon gubernur dan calon wakil gubernur.

Sementara parpol yang menempatkan seorang kader di puncak hitung suara adalah PAN dengan seorang calon wakil gubernur dan PKB serta Demokrat pada calon wakil gubernur.

Di luar parpol, TNI juga dapat dua alumni di puncak, satu untuk masing-masing calon. Sementara Polri dapat satu calon gubernur yang unggul di hitung cepat.

Secara umum, sebanyak 18 calon berasal dari parpol dengan sembilan di antaranya merupakan calon gubernur. Sedangkan calon nonparpol jumlahnya mencapai 15 orang dengan delapan pada calon gubernur.

Hanya empat pasangan yang baik cagub maupun cawagub berasal dari partai politik. Sedangkan pasangan calon yang dua-duanya merupakan nonparpol sebanyak tiga pasangan.

Yang tak boleh diabaikan juga, sebagian calon-calon yang unggul tersebut statusnya tak bisa dikotakkan pada satu variabel saja. Di Jawa, misalnya, dari seluruh pasangan yang unggul mesti ada satu yang punya afiliasi religiusitas tertentu. 

NU menang besar di Jawa karena baik cawagub Uu Ruhzanul Ulum di Jabar, cawagub Taj Yasin di Jateng, dan cagub Khofifah Indar Parawansa di Jatim punya akar Nahdliyin yang juga jadi paket kampanye. Meski demikian, kelihatan juga ada rekahan di basis pemilih itu karena Ida Fauziyah (seorang aktifis Muslimat NU dan politikus PKB) yang berlaga sebagai cawagub di Jateng berhasil juga mencuri suara secara signifikan di provinsi yang sejak lama dianggap sebagai basis utama PDI Perjuangan tersebut. Rekahan serupa nampak di pilkada Jatim dengan perolehan Khofifah dan cagub Saifullah Yusuf (keduanya punya akar NU yang kuat) tipis saja selisihnya.

Di seluruh Jawa, sedianya peta kemenangannya memang lebih kompleks. Di Jawa Barat, misalnya, suara terbagi hampir secara merata untuk tiga pasangan calon dengan dinamika beragam. Ridwan Kamil, meski kemudian direbut Nasdem sebagai calon mereka, adalah profesional yang sebelumnya berhasil naik tampuk di Kota Bandung dengan dukungan PKS dan Gerindra semata.

Sementara PKS dan Gerindra agaknya bisa berbesar hati sebab meski Sudrajat-Ahmad Syaikhu sempat hanya punya elektabilitas nol koma pada survei sebelum pilkada, berhasil meraih sedikitnya 29 persen suara. Fenomena itu diakui para penyigi di lembaga-lembaga sebagai salah satu lonjakan keterpilihan paling signifikan dalam sejarah pemilihan di Indonesia. Semisal tak ada pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi, atau sebaliknya tak ada pasangan Sudrajat-Syaikhu, sangat mungkin Emil-Uu bukan pemuncak hitung cepat.

Jika dibedah lebih dalam lagi, pilkada kali ini, serupa dengan pilkada-pilkada sebelumnya, masih jadi pertarungan figur dan sentimen-sentimen primordial. Di sejumlah daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Riau, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, bahkan dalam level tertentu Jawa Tengah juga, korelasi negatif antara parpol-parpol pemuncak perolehan suara pada pemilihan legislatif 2014 dengan calon yang mereka usung pada pilkada serentak tahun ini juga terlampau menyolok.

Banyak lagi yang sedianya bisa ditulis soal pilkada serentak kali ini. Mulai dari fenomena kolom kosong yang bisa ditafsirkan jadi banyak hal, pertanyaan soal para calon yang terlibat kasus hukum namun masih tetap unggul di hitung cepat, atau juga keruntuhan politik dinasti di sejumlah daerah.

Yang jelas, ada kompleksitas dalam pilkada kali ini. Kompleksitas yang bisa mematahkan klaim-klaim superfisial semacam keruntuhan PDI Perjuangan, keunggulan parpol-parpol tertentu, berhasilnya gerakan #2019gantipresiden, atau juga kemenangan untuk pendukung Presiden Joko Widodo. Kompleksitas yang akan membuat para penyigi putar otak meramal hasil pemilihan mendatang. Kompleksitas yang menandakan bahwa 2019, sejauh ini, masih jadi medan perang terbuka.

*) Penulis adalah redaktur Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement