Ahad 15 Jul 2018 08:33 WIB

Dolar AS dan Babak Belurnya Ayam Petelur

Hampir 60 persen bahan baku pakan ayam masih merupakan impor.

Nidia Zuraya, wartawan Republika
Foto: Dok. Pribadi
Nidia Zuraya, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Harga telur ayam telah mencapai rekor tertinggi pada tahun ini. Padahal bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang selama ini menjadi indikator kenaikan harga bahan pangan sudah berlalu.

Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) pada tanggal 12 Juli, harga telur tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara. Di Provinsi tersebut harga telur ayam telah menyentuh angka Rp 37.850 per kilogram (kg).

Sementara, harga telur terendah terpantau berada di Provinsi Sumatra Utara, yakni Rp 20.900 per kg. Adapun di Ibu Kota DKI Jakarta, harga rata-rata telur ayam berada di level Rp 28.650 per kg.

Berdasarkan peraturan menteri perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2017, harga acuan yang ditetapkan pemerintah untuk telur ayam yakni Rp 18 ribu per kg di tingkat produsen. Sementara di tingkat konsumen, harga telur ditetapkan Rp 22 ribu per kg.

Kenaikan harga telur ayam sebenarnya sudah terjadi sejak pertengahan tahun lalu. Hal itulah yang kemudian menjadi alasan Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag 58/2017.

Harga telur ayam di tingkat konsumen yang sebelum April 2017 masih berada di bawah Rp 20 ribu per kg, secara perlahan-lahan terus mengalami kenaikan. Meski harganya sempat turun setelah Hari Raya Idul Fitri tahun lalu, namun nilai penurunannya tidak signifikan dengan lonjakan harga yang terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Saat ini harga rata-rata nasional untuk telur ayam mencapai Rp 27.100 per kg.

Mengapa harga telur ayam sulit turun? Persoalan utamanya ada di sisi hulu (peternakan, red). Di pengujung 2017, kapasitas produksi telur telur ayam nasional mengalami penurunan 5-10 persen.

Penurunan produksi ini menurut Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) karena virus H9N2 yang menyerang ayam-ayam petelur. Virus ini umumnya menyerang ayam-ayam muda dan menyebabkan produksi telur turun 30-40 persen.

Hantaman terhadap pelaku usaha peternakan ayam petelur tidak mereda, pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak awal tahun membuat harga pakan ayam ikutan terkerek. Setiap kali dolar AS menguat, maka harga ransum untuk ayam juga ikutan menguat.

Efek domino penguatan dolar AS ini dikarenakan 60 persen bahan baku pakan ayam masih merupakan impor. Sementara 83 persen struktur harga pakan disumbang oleh harga bahan baku. Bahan baku pakan tersebut antara lain suplemen, vitamin, antibiotik, feed suplemen, premix, tepung daging, dan bungkil kedelai.

Hingga kini, Indonesia masih mengimpor bahan baku pakan ternak dari 5 negara. Untuk bungkil kedelai, masih diimpor dari Brasil, Argentina dan Amerika Serikat (AS). Sedangkan tepung daging dari AS, Australia dan Selandia Baru.

Indonesia tak hanya memiliki ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan ternak, namun juga dalam hal pengadaan bibit ayam. Pada 2017 lalu, Kementerian Pertanian menetapkan kuota impor bibit indukan ayam atau Grand Parent Stock (GPS) sebesar 650 ribu ekor yang diberikan kepada 14 usaha pembibitan.

Jumlah kuota impor GPS tahun 2017 ini turun dibandingkan sebelumnya. Kuota impor GPS pada 2016 sebesar 675 ribu ekor dan tahun 2015 sebesar 700 ribu ekor.

Jika posisi rupiah terhadap dolar AS terus terpuruk, tentunya efek berantai yang bakal ditimbulkan di sektor hulu peternakan ayam tidak bisa dihindari. Peternak ayam petelur akan semakin dibuat babak belur oleh penguatan dolar AS. 

Peternak dan konsumen telur ayam kini hanya bisa berharap dari berbagai jurus dan strategi yang dilakukan pemerintah untuk membuat rupiah kembali menguat.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement