REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*
Ahad, 26 Oktober 2014, atau enam hari setelah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik, Istana Negara tampak ramai. Beberapa orang berpakaian putih menyambangi istana. Hari itu, Jokowi-JK mengumumkan anggota Kabinet Kerja periode 2014-2019.
Sebelum Jokowi-JK mengumumkan Kabinet Kerja, nama-nama calon menteri beredar dalam bentuk pesan singkat atau percakapan melalui grup-grup wartawan. Salah satu nama yang muncul, yakni Maruarar Sirait.
Maruarar, atau sapaan akrabnya Ara, dikenal bukan hanya lantaran statusnya sebagai anak politikus senior Sabam Sirait. Ia merupakan politikus muda PDI Perjuangan dan berhasil dua kali lolos ke parlemen.
Ia menjadi anggota Komisi XI DPR-RI periode 2004-2009 dan 2009-2014. Ara juga dikenal sebagai politikus yang mendukung agar Jokowi diusung oleh PDIP pada pemilihan presiden (pilpres) 2019.
Dukungan konsisten terhadap Jokowi, selain soal kemampuan, membuat sejumlah wartawan tak meragukan Ara bakal dipilih sebagai anggota kabinet. Ara sempat disebut-sebut bakal menjadi menteri komunikasi dan informatika (menkominfo).
Namun, Ara tidak terlihat dalam barisan anggota kabinet yang mengenakan pakaian putih. Meski tidak berdiri berjajar dengan anggota kabinet, Ara ternyata hadir di Istana Negara.
Wartawan ‘memergoki’ Jokowi mengantar Ara keluar dari kompleks Istana Kepresidenan melalui pintu Wisma Negara pada malam hari, beberapa jam setelah pengumuman kabinet. Ara tampak mengenakan kemeja putih lengan panjang seperti digunakan orang-orang yang dipilih Jokowi sebagai menteri.
Wartawan yang penasaran pun bertanya alasan Ara tak dipilih sebagai anggota kabinet Jokowi. Kala itu, Jokowi hanya menjawab bahwa Ara akan membantunya sebagai teman baik, sedangkan Ara mengaku sebagai penggemar Jokowi.
Beberapa bulan kemudian, nama Ara juga diketahui ‘menghilang’ dalam pengurus DPP PDIP. Pada periode sebelumnya, Maruarar menjadi ketua DPP Bidang Pemuda dan Olahraga.
Memori tentang Ara dan baju putihnya kembali menyeruak ke ingatan publik ketika Jokowi mengumumkan calon wakil presiden (cawapres) yang bakal mendampinginya pada pemilihan presiden (pilpres) 2019, Kamis (9/8) malam. "Saya memutuskan dan telah mendapat persetujuan dari partai-partai koalisi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja bahwa yang akan mendampingi sebagai calon wakil presiden adalah Profesor Doktor Kiai Haji Ma'ruf Amin," ujar Jokowi di Restoran Plateran, Menteng, Jakarta.
Sebelum Ma’ruf diumumkan sebagai cawapres, ada nama lain yang justru santer dikabarkan sebagai cawapres untuk Jokowi, yakni mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Bahkan, Mahfud sempat menyambangi sebuah restoran yang tepat berada di seberang Restoran Plateran.
Kabar beredar di kalangan wartawan, Mahfud akan ikut mendeklarasikan dengan Jokowi pukul 18.00 WIB. Namun, setelah ditunggu-tunggu, Mahfud tak kunjung berpindah restoran.
Lewat unggahan-unggahan di media sosial, publik tampak terhenyak karena Jokowi tak melabuhkan pilihannya kepada Mahfud. Sebagian merasa kecewa karena percaya Jokowi akan memilih Mahfud. Bahkan, #JokowiMahfud2019 sempat menduduki trending topic.
Jika sebagian orang kesulitan mengatasi rasa kagetnya maka tidak demikian dengan Mahfud yang langsung menemui Jokowi untuk mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Mahfud menegaskan ia memang terkejut, tetapi tidak kecewa.
"Saya sampaikan ke Pak Jokowi, saya tidak kecewa tetapi memang kaget, tetapi sekarang sudah selesai kagetnya dan saya katakan Pak Jokowi nggak usah merasa bersalah atau apa, saya bilang nggak usah, wong saya pun tidak apa," ujar Mahfud kepada wartawan di kantor MMD Initiative, Matraman, Jakarta, Kamis (9/8).
Mahfud mengaku memahami posisi Jokowi. Selain itu, Mahfud yang sudah pernah menjadi anggota DPR RI dari PKB sudah mafhum bahwa politik sangat dinamis.
“Seumpama saya jadi Pak Jokowi mungkin saya akan melakukan hal yang sama karena kan situasinya ini politik, permainan politik, dan di dalam permainan politik segala sesuatu bisa terjadi," ujar Mahfud.
Peristiwa Maruarar dan Mahfud menunjukkan permainan politik yang bisa menghasilkan elemen kejutan sangat tergantung pada diskusi-diskusi dalam (koalisi) partai politik. Mahfud memang lebih dijagokan untuk menjadi pendamping Jokowi dan lebih sering masuk dalam survei-survei terkait cawapres Jokowi.
Namun, Ma’ruf menjadi titik temu sembilan parpol yang masuk dalam anggota koalisi Jokowi. Ma’ruf juga mendapat sokongan dari Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Ma’ruf juga dianggap menjadi jembatan antara Jokowi dan kubu yang membencinya. Publik mungkin akan tetap mengingat bahwa Ma’ruf terkait dengan gerakan massa 212.
Diskusi-diskusi dalam (koalisi) partai politik ini juga yang membuat Prabowo Subianto harus mengumumkan cawapresnya menjelang tengah malam, atau beberapa jam setelah Jokowi. Prabowo akhirnya memutuskan memilih Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.
Sebelum menjatuhkan pilihan pada Sandiaga, Prabowo dihadapkan pada memilih menjalankan rekomendasi Ijtima Ulama GNPF, yakni Salim Segaf Al-Juhri dan Ustaz Abdul Somad, atau cawapres yang diusung oleh Demokrat, yakni Agus Harimurti Yudhoyono. Sepertihalnya Ma’ruf, Sandiaga menjadi titik tengah bagi anggota koalisi di kubu Prabowo, kecuali Demokrat yang belum memutuskan hingga Kamis malam.
Kendati diumumkan belakangan, keputusan Prabowo tidak membuat publik terheran-heran sepertihalnya Jokowi yang memilih Ma’ruf. Publik sudah tidak terkejut dengan pilihan tersebut sebab nama Sandiaga sudah beredar sejak satu hari sebelum diumumkan oleh Prabowo.
Apapun kejutannya yang muncul dari pemilihan cawapresnya, capresnya tidak berubah dari kontestasi empat tahun lalu. Jokowi dan Prabowo akan mendaftar ke KPU pada Jumat. Pendaftaran itu semoga saja menjadi gerbang baru agar peta persaingan tidak lagi kental dengan politik identitas dan polarisasi.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id