Sabtu 22 Sep 2018 12:52 WIB

Ponsel Pintar dan Mimpi Keluarga Khong Guan

Ponsel pintar justru bisa memperbodoh penggunanya

Abdullah Sammy
Foto: Republika/Daan Yahya
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy*

 

"Apakah kamu menggunakan ponsel, atau ponsel yang menggunakan mu?" (Danzel Washington)

Lewis Baumer dianggap sebagai salah satu 'dewa' karikaturis dunia. Lewat mahakarya yang dimuat majalah Punch pada 1906, pria asal London itu telah memprediksi tentang kondisi yang akan terjadi di abad ini.

Saat itu, Baumer lewat karikaturnya berjudul 'Forcast for 1907', menggambarkan hubungan teknologi komunikasi dan manusia di masa depan. Karikatur itu menampilkan dua pasangan yang berpakaian gaya Edwardian sedang duduk bersebelahan, tapi bertolak punggung. Mereka tampak acuh satu sama lain. 

Di kepala mereka ada sebuah antena yang terhubung dengan perangkat kotak di pangkuan. Perangkat kotak itu adalah mesin telegraph tanpa kabel. 

Ekspresi si wanita dalam karikatur tampak berseri saat membaca pesan telegraph dari perangkat kotak di pangkuannya. Sedangkan si pria gesturnya resah memantau hasil berita balap via perangkat di pangkuannya.

Caption dari karikatur majalah Punch itu berbunyi, "kedua figur ini tidak berkomunikasi satu sama lain. Si wanita menerima pesan kasih sayang, sedangkan pria memantau berita hasil balap." 

photo
Karikatur Lewis Baumer pada 1906

Karikatur Baumer itu pada masanya dianggap hanya sebuah dark joke. Kini, karikatur tersebut dinilai sebagai mahakarya profetik dalam sejarah pers.

Karikatur yang digambar pada 1906 itu benar-benar menggambarkan kenyataan yang terjadi pada tahun 2000-an. Kenyataan yang justru baru terjadi jauh setelah Baumer wafat pada 25 Oktober 1963. 

Prediksi Baumer tentang adanya sebuah alat komunikasi wireless yang bisa dibawa ke Hyde Park pada 1906 itu, terbukti dengan keberadaan ponsel pintar di tahun 2000-an. Baumer menggambarkan semua itu satu abad sebelum Steve Jobs meluncurkan iPhone pertama kalinya ke dunia.

Sedangkan potret pasangan yang duduk bersama tapi tak saling berbicara karena sibuk dengan perangkatnya, juga merupakan fakta sosial yang terbukti nyata.

Ponsel pintar yang semakin memudahkan komunikasi, nyatanya tak membuat manusia saling terkoneksi. Sebaliknya dengan ponsel pintar orang malah semakin jarang berinteraksi, melainkan hanya sibuk pada perangkat miliknya masing-masing. 

Sejumlah kajian menunjukkan bahwa ponsel pintar menimbulkan sejumlah efek yang destruktif. Selain terganggunya hubungan sosial, efek yang ditimbulkan ponsel pintar menyasar pada kesehatan jiwa dan pikiran.

Ponsel pintar telah menimbulkan gangguan kejiwaan baru bernama no mobile phone phobia atau nomophobia. Sesuai namanya, nomophobia adalah sebuah ketakutan hidup tanpa ponsel. 

photo
Statistik ketergantungan orang pada ponsel menurut penelitian Institute of Psychiatry (IPUB) of the Federal University of Rio de Janeiro, Brasil
 

Istilah ini ditemukan pada 2010 lewat sebuah survei yang dilakukan YouGov. Survei itu menunjukkan 58 persen pria dan 47 persen wanita di London mengaku kehidupan mereka akan terganggu apabila ponsel mereka tertinggal, kehabisan baterai atau pulsa, dan berada di luar jaringan. 

Nomophobia juga yang membuat orang tidak bisa tidur normal. Jam tidur berkurang atau bahkan hilang karena sibuk memandangi ponsel pintar ketika sedang berbaring di atas kasur. 

Tak hanya jiwa, ponsel pintar nyatanya juga merusak pola pikir manusia. Tesis ini dibuktikan lewat riset yang dilakukan University of Waterloo pada 2015. Hasil riset itu menunjukkan pengguna ponsel pinter ternyata lebih percaya ponsel ketimbang kerja penuh otak mereka.

Mayoritas dari mereka yang sebelumnya lebih mengandalkan intuisi sebelum memutuskan sesuatu, kini mengandalkan mesin pencarian informasi di ponsel mereka. Kecerdasan otak yang dahulu menjadi andalan para pemikir intuitif sekarang sudah berganti kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Salah satu pemimpin riset, Gordon Pennycook mengungkapkan ponsel pintar telah melunturkan kepercayaan diri penggunanya dalam berpikir. Si pengguna tak lagi yakin mendayagunakan otaknya sendiri sebagai dasar memutuskan sesuatu. Informasi via ponsel kini yang menjadi dasar seseorang sebelum mengambil keputusan.

Walhasil, sekarang pola pikir berubah menjadi pola googling. Sedikit-sedikit orang buka ponsel pintar ketimbang berpikir.

Sadar atau tidak, kecenderungan yang sama juga terjadi pada kita semua. Sebagai contoh, mari kita bertanya pada diri sendiri berapa banyak nomor telepon yang anda ingat di dalam kepala?

Pada awal 1990-an, orang pasti akan mudah menjawab pertanyaan tentang nomor-nomor telepon yang mereka ingat di dalam kepala. Sebab rata-rata nomor telepon mampu diingat, atau setidaknya dicatat dalam buku. 

Sementara sekarang boro-boro diingat, dicatat sendiri di ponsel saja tidak. Dengan ponsel pintar, nomor kontak hanya dicopy paste atau kirim kontak dan save di ponsel. Walhasil, otak tak banyak bekerja, melainkan sistem di ponsel yang 'bicara'.

Sebagai contoh lain, sebelum era ponsel pintar, orang mencari jalan ke sebuah tempat dengan cara bertanya. Itu bisa dikatakan mirip dengan metode riset amatir. 

Dengan bertanya, seseorang pun kecenderungan mendapat informasi lebih banyak. Dari bertanya itu tidak hanya petunjuk arah yang didapat, tapi terkadang informasi tambahan.

"Jangan lewat jalan itu. Jalannya ditutup karena sedang ada hajatan," itu sebagai salah satu contoh informasi yang bisa didapat dengan cara bertanya tentang arah perjalanan. 

Tapi cara bertanya itu metode dahulu. Sejak era ponsel pintar orang tak lagi bertanya tapi mendengar panduan dari aplikasi maps. Sehingga seseorang pun tinggal menyetir dan percayakan semua pada sistem yang bekerja. Walhasil, informasi yang diperoleh jadi jauh lebih sedikit. Sebab otak tak banyak bekerja, melainkan ponsel yang 'bicara'. 

Dengan begitu bergantung pada ponsel ketimbang otak, Pennycook berkesimpulan, "ada hubungan antara penggunaan smartphone yang berlebih dan kecerdasan yang lebih rendah."

Jika kata-katanya dipersingkat dan pakai bahasa agak kasar, kesimpulan Pennycook berbunyi, "smartphone make stupid human."

Terganggunya jiwa dan pikiran akhirnya berpengaruh pada kehidupan sosial. Bukan hal baru saat kita mendapati lawan bicara mengacuhkan kita dan hanya fokus pada ponsel di tangannya. Jangankan bicara, menatap lawan bicaranya saja tidak. Hal inilah yang kemudian merenggangkan nilai-nilai sosial. 

Lebih parah lagi, ponsel pintar bisa menyebabkan merenggangnya relasi pertemanan dan hubungan keluarga. Orang jadi lebih sering berbicara dalam bahasa teks yang minus afeksi. Percakapan lewat bahasa teks tak jarang membuat orang kerap salah paham.

Maksudnya ingin bercanda malah dianggap serius, maksudnya ingin berdebat sehat tapi jadi saling umpat. Ini semua terjadi nyata di sekitar kita.  

Sebuah kajian yang dilakukan Brandon McDaniel (Pennsylvania State University) dan Sarah Coyne (Brigman Young University) menunjukkan kesalahpahaman yang terjadi akibat ponsel pintar, telah mengakibatkan 75 persen hubungan sosial terganggu. Penelitian itu juga menunjukkan pula 62 persen wanita pernah diacuhkan oleh pasangannya yang fokus pada ponselnya. 

Walhasil, karikatur Bauman di Majalah Punch edisi 1906 bukan sekadar humor belaka. Ini ancaman nyata pada relasi antar-manusia. 

Bukan pemandangan yang aneh melihat ayah, ibu, atau anak memilih sibuk dengan ponsel pintarnya di tengah momen pertemuan keluarga. Keluarga yang duduk ceria dan saling bercengkarama di meja makan mulai jadi tampilan langka. Tampilan yang mungkin hanya abadi dalam kaleng biskuit Khong Guan saja. 

photo
Meme keluarga Khong Guan dahulu vs keluarga Khong Guan zaman now

 

*Penulis adalah jurnalis Republika

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement