REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Belum lama ini, saya berkesempatan untuk mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di kawasan Jakarta Utara. Sekolah di kawasan padat penduduk itu menampung sekitar 600 siswa. Setidaknya ada 30-an siswa per kelasnya.
Jujur saja, pengalaman mengajar selama seharian di empat kelas berbeda di sekolah tersebut bukan perkara mudah. Anak-anak SD yang masih senang bermain cukup sulit ditangani dengan stok sabar saya yang tak terlalu tebal.
Saya pun angkat topi. Saya terinspirasi. Bukan hanya pada anak-anak kecil yang berwajah lugu dan penuh semangat, melainkan juga pada guru-guru yang mampu menangani mereka setiap hari. Bukan hanya pintar, para guru dituntut untuk harus selalu sabar menghadapi 30 siswa setiap kelas dengan kondisi yang bervariasi. Mereka seharusnya mendapatkan tempat tertinggi di negeri ini.
Tapi sayang, kondisi itu tak dibarengi dengan kebijakan pemerintah terhadap guru. Beberapa pekan belakangan, guru-guru harus turun ke jalan demi memperjuangkan nasib mereka di masa depan. Saya merasa miris ketika di sekolah yang saya datangi, guru-guru menanamkan, mengajarkan, bahkan mendorong anak-anak untuk berjuang meraih mimpi tetapi di saat yang sama mimpi guru-guru mereka perlahan mati (atau dimatikan?).
Gelombang unjuk rasa guru tersebar hampir di semua daerah. Terutama guru-guru honorer kategori 2 (K2). Cita-cita untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) bakal pupus. Pengabdian mereka selama bertahun-tahun dibayar murah oleh pemerintah dengan membatasi usia. Guru-guru yang berusia maksimal 35 tahun mungkin harus rela tak menjadi PNS seumur hidup dan dibayar ‘seadanya’ oleh pemerintah. Itu pun kalau tidak terlambat dicairkan tiga bulan kemudian.
Tercatat, dari total 438.590 data K2 di BKN Pusat, hanya 13.347 orang yang memenuhi syarat untuk mendaftar. Pemerintah pun memberi perlakuan sama kepada mereka yang belum pernah mengabdi dan sudah pernah mengabdi. Dengan batasan usia tersebut, guru-guru yang telah mengabdi 12 tahun atau lebih otomatis tidak punya hak lagi menjadi PNS. Padahal selama ini mereka telah menjadi tulang punggung pendidikan Indonesia dengan bayaran murah.
Bagi saya, ini sama saja pemerintah menyepelekan pengabdian guru selama bertahun-tahun dan membiarkan mereka memiliki nasib yang tak tentu. Padahal pengalaman mengajar bertahun-tahun dan pengabdian mereka patut perhitungkan dan dihargai dengan reward yang memadai. Yang terjadi justru para guru honorer hanya dikontrak hingga bertahun-tahun dengan bayaran yang begitu murah.
Lucunya, beberapa pejabat negara menghimbau agar para guru berhenti melakukan aksi agar siswa tak terlantar dan menjadi guru professional.
Ah, pak, saya kok semakin gemas….
Desakan pada pemerintah masih belum berhenti hingga saat ini. Dialog dengan pemerintah pun masih sebatas wacana dan belum terealisasi. Bahkan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terus bergerak cepat dan menyurati Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) yang ditembuskan kepada Presiden. Pada intinya, mereka memohon agar rekruitmen CPNS ditunda hingga ada solusi untuk guru honorer K2 di atas 35 tahun.
"Surat tersebut sehubungan dengan desakan dan tuntutan dari tenaga honorer di berbagai daerah karena seleksi CPNS tahun ini tidak memberikan keadilan bagi honorer," tegas Ketua Umum PB PGRI Unifah Rasyidi.
Persoalan ini perlu segera ditanggapi secara lebih konkret. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur penyelesaian masalah guru dan tenaga kependidikan honorer baik K1 maupun K2 yang belum diangkat. Terutama yang berusia di atas 35 tahun dan namanya sudah ada dalam database.
Alangkah mulianya apabila mereka diberikan keadilan dan kedamaian bekerja dalam mendidik penerus bangsa. Apalagi kepada mereka yang telah mengabdi bertahun-tahun dan mengisi ruang-ruang kelas akibat 10 tahun tak ada rekrutmen guru.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id