REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)
Anthony Sinisuka Ginting sempat berlutut di lapangan. Wajahnya menyiratkan kesakitan. Kram di kakinya tak dapat lagi ditahan. Tapi ia masih bertahan memberikan dua poin untuk Indonesia.
Pada poin 20-21 untuk keunggulan Cina yang diwakili Shi Yuqi, Ginting menyatakan diri menyerah kepada wasit dalam babak final bulu tangkis regu putra Asian Games 2018. Perjuangan Ginting hingga titik akhir yang menyerah di poin penentuan menjadi momen patah hati sebagian besar orang.
Suasana di Istora Senayan Jakarta kala itu hening ketika Ginting dihampiri tim medis. Teriakan “Ginting, hebat!” lantas mengiringi saat Ginting ditandu meninggalkan arena pertandingan.
Tak lama setelah cedera di nomor beregu, beberapa hari kemudian Ginting masih sanggup tampil di nomor perorangan Asian Games 2018. Namun sekali lagi, kekecewaaan menghinggapinya, Ginting kalah dari pemain Cina Taipei Chou Tien Chen di semifinal dalam pertarungan tiga gim yang ketat.
Ginting pun seakan membuka jalan bagi sahabatnya, Jonatan 'Jojo' Christie untuk jadi jawara. Tien Chen yang kelelahan berhasil ditaklukkan Jojo di partai puncak Asian Games 2018.
Berbeda dengan Jojo yang mengalami grafik menurun usai Asian Games 2018, performa Ginting justru terus menanjak sejak Asian Games 2018 usai. Pengalaman kegagalan Ginting di Asian Games memberinya banyak pelajaran berharga.
Ginting mencoba lebih menikmati permainan di lapangan dan memperkuat kecepatan dan ketahanan fisiknya. Selepas Asian Games, pemain usia 21 tahun ini dikirim mengikuti Jepang Terbuka dan Cina Terbuka 2018. Di Jepang, langkahnya terhenti di perempat final setelah kalah dari pemain Denmark Viktor Axelsen.
Kegagalan itu tampaknya malah melecut motivasi Ginting di Cina Terbuka. Ia berhasil melewati undian "neraka". Ia menunjukkan kelasnya selama turnamen Cina Terbuka.
Sejak babak pertama hingga final kontra tunggal terkuat Jepang Kento Momota, Ginting rajin menumbangkan para juara dunia. Julukan Si Pembunuh Raksasa seperti di Asian Games 2018 pun kembali tersemat di raketnya.
Ekspresi Anthony Sinisuka Ginting setelah menaklukan pebulu tangkis Jepang Kento Momota pada laga final China Open 2018 di di Olympic Sports Center Xincheng Gymnasium, Changzhou, Cina, Minggu (23/9).
Dalam perjalanan meraih gelar juara Cina Terbuka, Ginting mengalahkan empat juara dunia, yaitu Lin Dan (2006, 2007, 2009, 2011, 2013), Viktor Axelsen (2017), Chen Long (2014, 2015), dan Kento Momota (2018). Chen Long dan Lin Dan juga pemegang medali emas Olimpiade.
Ginting juga berhasil mengalahkan Kento Momota dalam dua pertemuan secara beruntun. Sebelum menang di Cina Terbuka, ia juga menaklukkan Momota pada babak 16 besar Asian Games 2018. Ia pun berhasil melakukan revans atas Chou Tien Chen yang mengalahkannya di semifinal Asian Games 2018.
Ini adalah gelar pertama Ginting di level Super 1000. Pada 2018, ia berhasil meraih gelar di Indonesia Masters 2018 BWF World Tour Super 500. Pada 2017, Ginting juga meraih gelar juara di turnamen Korea Open Super Series 2017.
Tak salah bila kini pecinta bulu tangkis di Tanah Air berharap Ginting kelak bisa menjadi Si Super Ginting. Gelar ini mengacu pada legenda Cina Lin Dan yang meraih segala trofi, medali, dan predikat bergengsi di jagat bulu tangkis. Termasuk menjadi pemain yang berhasil back to back medali emas Olimpiade 2008 dan 2012. Merujuk gelar yang komplet itu, Lin Dan pun mendapatkan julukan Super Dan.
Bukan sesuatu yang aneh bila menjuluki Ginting sebagai Super Ginting. Ia memiliki modal untuk itu. Salah satunya ia bisa bermain sabar, punya teknik bermain mumpuni, dan mental yang tangguh. Modal inilah yang bisa membuatnya berada di level yang lebih tinggi.
Cheng Long yang tahun ini sudah empat kali ditekuk Ginting pun mengakui kelebihan itu. Ginting dinilainya memiliki gaya simpel, mengontrol permainan net, dan memaksa lawan untuk mengangkat bola, kemudian di-smash. Mirip gaya permainan legenda bulu tangkis tunggal putra Indonesia, Taufik Hidayat.
Dengan menjadi juara di turnamen kelas Super 1000 ini, Ginting diperkirakan akan melonjak enam peringkat masuk ke dalam jajaran 10 besar dunia, yaitu peringkat 7 dunia. Gelar juara Ginting ini juga menghapus dahaga gelar juara tunggal putra di turnamen ini selama 15 tahun. Tiga pemain Indonesia yang menjuarai turnamen Cina Terbuka sebelumnya adalah Alan Budikusuma pada 1991, Hermawan Susanto pada 1992, dan Joko Suprianto pada 1993.
Performa Ginting dan sebelumnya Jojo memunculkan harapan baru terkait kiprah nomor tunggal putra sejak mundurnya Taufik Hidayat pada 2013. Setelah era 1990-an berakhir, sektor tunggal putra Indonesia tidak lagi melahirkan pemain-pemain dengan prestasi mendunia. Taufik Hidayat adalah pengecualiannya.
Taufik Hidayat
Pecinta bulu tangkis di Tanah Air tentu mengingat nama-nama seperti Joko Suprianto, Hariyanto Arbi, Alan Budikusuma, Ardy B Wiranata, Hermawan Susanto, Hendrawan, hingga Marleve Mainaky. Pada awal hingga akhir era 1990-an itu, Indonesia seperti tinggal memilih siapa yang harus menguasai tunggal putra di sebuah turnamen. Lawan terberat bukan dari negara lain tetapi dari rekan satu pelatnas.
Di era tersebut, para tunggal putra Indonesia mampu merebut tiga gelar All England (Ardy B Wiranata, 1991 dan Hariyanto 1993, 1994), emas Olimpiade (Alan, 1992), dua juara dunia (Joko, 1993 dan Hariyanto, 1995), emas Asian Games (Hariyanto, 1994). Kehebatan tunggal putra Indonesia saat itu juga membuat tim Merah Putih mampu merebut lima Piala Thomas secara beruntun pada 1994, 1996, 1998, 2000, dan 2002.
Namun, Indonesia seperti kehilangan figur sekitar 2004 hingga 2013. Selain Taufik, Indonesia masih memiliki tunggal putra, seperti Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, Dionysius Hayom Rumbaka, hingga Tommy Sugiarto. Kecuali Taufik, performa tunggal putra lainnya cenderung naik-turun. Buntutnya, generasi ini gagal memboyong Piala Thomas (terakhir 2002). Juara dunia (2005), emas Olimpiade (2004), dan emas Asian Games (2006) pun hanya mampu direbut Taufik.
Ginting dan Jojo serta rekan akrab keduanya, Ihsan Maulana Mustofa yang baru saja menjuarai Indonesia Masters 2018, mungkin sudah kian mendekati harapan akan generasi emas nomor tunggal putra. Namun mereka masih harus menimba teknik dan pengalaman yang salah satunya bisa diraih dengan menjuarai berbagai turnamen bergengsi.
Emas Asian Games dari Jojo dan juara Cina Terbuka milik Ginting, paling tidak memunculkan secercah harapan, Indonesia bakal kembali memiliki sederet tunggal putra kelas dunia seperti era 1990-an.
*) Jurnalis Republika Online