REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Nur Aminah*
10 September lalu, bertepatan dengan 1 Muharram 1440 H, gelombang jamaah umrah mulai berdatangan ke Tanah Suci. Ada yang masuk melalui Bandara Internasional King Abdulaziz di Jeddah dan Bandara Internasional Prince Muhammad Bin Abdulaziz di Madinah. Mereka ada berasal dari Pakistan, India, Sri Lanka. Ada juga yang datang melalui jalur darat seperti serombongan kecil jamaah dari Kuwait dan Yordania.
Rombongan jamaah umrah dari Indonesia pun termasuk di antaranya. Rombongan jamaah umrah dari Dewan Masjid Indonesia (DMI) dipimpin oleh Wakil Ketua DMI, Komjen Pol Syafruddin, termasuk yang beruntung bisa menjalankan ibadah umrah pertama di bulan Muharram.
Saat kedatangan mereka, boleh jadi sejumlah jamaah haji yang baru tuntas menunaikan ibadah masih berada di Tanah Suci. Karena kelompok terbang terakhir jamaah haji Indonesia saja, baru tiba di Tanah Air, Senin (24/9) malam.
Ini memang agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ya, tahun ini, Arab Saudi memajukan musim umrah satu bulan lebih cepat, yakni dimulai pada 1 Muharram. Biasanya, awal kedatangan jamaah umrah dimulai pada bulan Safar atau bulan kedua penanggalan Hijriyah.
Langkah ini, tentu menjadi salah satu kebijakan pemerintah Arab Saudi untuk menjalankan Visi Saudi 2030. Visi Saudi 2030 adalah rencana mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada sektor minyak bumi. Negara penghasil minyak ini mulai mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi, dengan mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata. Haji dan umrah, tentu saja termasuk di dalamnya.
Keberadaan Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah menjadi daya tarik terbesar negara ini, terkhusus bagi umat Muslim sedunia. Tanpa perlu jor-joran berpromosi, jutaan manusia akan pergi ke Saudi untuk menjalankan haji dan umrah.
Haji memang hanya berlangsung setahun sekali. Itupun, jumlahnya dibatasi. Namun bagi yang ingin melaksanakan umrah, kesempatan itu terbuka sepanjang tahun, selama 10 bulan.
Saya tak ingin berpanjang lebar mengulas betapa matangnya negara ini menyiapkan Visi Saudi 2030 tersebut. Dari satu sektor saja, yakni umrah, bisa dibayangkan berapa banyak devisa yang bisa diraup.
Wakil Menteri Haji dan Umrah untuk Urusan Umrah, Abdulaziz Wazzan mengatakan, bagian dari Visi Saudi 2030 bertujuan menarik 30 juta jamaah umrah dalam beberapa tahun mendatang. Wazzan menyebutkan, sebanyak 25 ribu visa umrah telah diterbitkan dalam lima hari belakangan. Sedikitnya 8,5 juta visa umrah akan diterbitkan selama sepuluh bulan mendatang. Kerajaan Saudi menargetkan, sebanyak 15 juta jamaah umrah per tahun bisa dicapai seturut Visi 2030 Kerajaan Saudi.
Tak hanya 'menjual' dua kota suci, Makkkah dan Madinah. Mulai tahun ini, kerajaan Arab Saudi pun secara resmi memperluas pemberlakuan visa umrah. Artinya, jika selama ini jamaah dengan visa umrah hanya mengunjungi Makkah dan Madinah dan sesekali ke Jeddah, maka tahun jamaah umrah bisa mengunjungi kota manapun di Arab Saudi.
Visa umrah yang diberikan selama ini berlaku 30 hari. Ibadah umrah jika dihitung-hitung, sudah sangat longgar dijalankan tuntas selama 15 hari. Artinya, masih ada waktu tersisa 15 hari untuk para peziarah mengunjungi tempat-tempat menarik dan bersejarah yang ada di Arab Saudi.
Strategi ini tentu saja sangat cerdas untuk meraih tambahan devisa. Agen umrah pun dipersilakan mengatur tur ke kota manapun di Arab Saudi dengan mengirimkan proposal ke Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Pengajuan itu tentu saja harus diselesaikan sebelum kedatangan jamaah umrah terkait.
Kabar perluasan visa umrah ini mungkin akan disambut antusias sejumlah biro perjalanan umrah di Indonesia. Namun di tengah kondisi
perekonomian Indonesia saat ini dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang cukup tinggi, dikhawatirkan kenaikan peminat umrah tidak terlalu signifikan. Apalagi dengan adanya ketentuan visa progresif yang diberlakukan oleh Arab Saudi terhadap jamaah umrah.
Celakanya, kabar terbaru, visa progresif ini kemudian direvisi oleh Arab Saudi yang tadinya berlaku dua tahun, kini menjadi hitungan progresif lima tahun. Ketentuan visa progresif ini mulai dikeluarkan pada 1438 H (2016). Artinya, mereka yang berumrah pada 2016, dan akan berumrah lagi tahun 2018 ini (1440 H), sudah dikenakan visa progresif. Namun dengan adanya revisi menjadi lima tahun, maka hitungan mereka yang terakhir umrah pada 2013, akan dikenakan visa progresif jika ingin melaksanakan umrah lagi tahun ini.
Adapun ketentuan visa progresif itu adalah penambahan biaya sekitar 2.000 riyal saudi atau sekitar Rp 8 juta per orang. Katakanlah jika biaya umrah saat ini Rp 20 juta, maka mereka yang terkena wajib visa progresif harus membayar Rp 28 juta!
Tambahan biaya dari pengenaan visa progresif ini saja tentu memberatkan jamaah. Apalagi jika memang perluasan visa diterapkan, dan travel umrah mengatur perjalanan ke beberapa tempat lagi. Artinya, lama tinggal dan kunjungan wisata bertambah, maka bertambah pulalah biaya yang akan dikeluarkan. Trik cerdas? Jawabannya ya.
Untuk mendukung rencana ini, berbagai sarana dan prasarana memang terus digarap oleh Saudi. Pembangunan hotel, bandara baru, pelebaran jalan, sarana transportasi kereta haramain yang segera beroperasi hingga pusat-pusat perbelanjaan dan lainnya. Kita tentu berharap, selama berada di Arab Saudi, jamaah tidak hanya diberlakukan secara komersial. Karena umrah bukan sekadar jalan-jalan biasa namun ini adalah ibadah.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id