REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*
Tanggal 5 Oktober diperingati sebagai hari guru sedunia. Sayangnya, peringatan hari guru sedunia diwarnai oleh air mata bagi sebagian guru honorer di Indonesia.
Huru honorer merasa belum mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Di beberapa daerah, guru honorer hanya diberi honor ratusan ribu, katakanlah Rp.300 ribu sebulan. Yang artinya, jika dijadikan rata-rata, guru honorer hanya mendapatkan penghasilan Rp 10 ribu setiap hari dari mengajar.
Tidak heran, di beberapa daerah, orang menyebut aktivitas guru honorer sebagai ‘ngabdi'. Mengabdi karena memang imbalannya ‘tidak seberapa’. Dengan gaji rendah, banyak guru yang nyambi menjadi tukang ojek, pedagang, buruh bangunan dan lain-lain untuk menutupi kebutuhan keluarganya.
Jika ada yang bertanya, sudah tahu penghasilan kecil kenapa masih mau menjadi honorer? Jawabannya adalah sebuah pengharapan. Selalu ada harapan bahwa mengabdi akan berbuah manis.
Ada keyakinan bahwa suatu hari mereka akan diangkat menjadi PNS. Entah karena penghargaan karena masa bakti yang sudah lama atau memang mengikuti tes CPNS seperti biasa. Di sinilah, pengharapan kadang menjadi sesuatu yang menyakitkan karena tidak sesuai dengan realita.
Sekitar sepekan atau dua pekan terakir, ribuan guru honorer mogok mengajar. Mereka menggelar aksi memperjuangkan nasib karena terancam tidak bisa mengikuti penerimaan CPNS. Mereka kecewa lantaran salah satu harapan untuk mengubah nasib nyaris pupus.
Aksi dan mogok mengajar itu dipicu aturan penerimaan CPNS yang akan digelar. Pegawai honorer K-2 guru tidak bisa ikut seleksi mengusung adanya persyaratan usia maksimal 35 tahun dan masa pengabdian minimal 10 tahun. Banyak sekali guru honorer yang berusia di atas 40 tahun, bahkan 50 tahun, mengabdi puluhan tahun dengan kesejahteraan yang jauh dari layak. Prasyarat ini membuat para guru honorer merasa ‘gagal’ sebelum bisa ikut berjuang.
Terhadap aksi mogok ini, dinas pendidikan mengimbau agar aksi tidak berlangsung lama agar kegiatan belajar mengajar tidak terganggu. Imbauan ini sekaligus pertanda bahwa meski honorer, peran mereka tetap krusial karena ketika tidak ada, kegiatan belajar mengajar bisa terganggu.
Saat ini jumlah guru honorer di sekolah negeri sebanyak 735.806 orang. Sementara penerimaan guru PNS melalui ujian CPNS sebanyak 112 ribu orang. Peluangnya 1:6, tapi ini belum termasuk persaingan dengan calon guru yang fresh graduate dan belum pernah mengajar.
Saat ini, pemerintah merancang skenario lain jika pun seandainya guru honorer tidak bisa diangkat menjadi CPNS seandainya tidak bisa ikut seleksi atau tidak bisa lolos rekrutmen CPNS, para guru honorer masih punya kesempatan untuk ikut seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Saat ini rancangan Peraturan Pemerintah tentang P3K sedang disiapkan.
Namun belum clear rencana ini, para guru honorer pun menyambut dengan dingin. Mereka bersikukuh, solusi untuk honorer K2 bukan dengan PPPK ataupun kesejahteraan lainnya tetapi dengan mengangkat mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab, PPPK tidak mendapatkan pensiun.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun akan mengkaji peraturan-peraturan terkait guru. Kepala sekolah dan pemerintah daerah diminta agar menyetop perekrutan guru honorer. .
Adalah sebuah ironi, sang pahlawan tanpa tanda jasa merasa belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bukankah mereka yang kini duduk di pemerintahan dulunya juga diajar oleh seorang guru? Kepada para guru, semoga seluruh ilmu yang telah kalian berikan menjadi amal jariyah. Jangan menyerah.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id