Senin 15 Oct 2018 11:28 WIB

'Moslem', Kekinian atau Kekunoan?

Kata-kata moslem dengan ejaan o dan e sudah usang di negara-negara penutur Inggris

Fitriyan Zamzami
Foto: Republika/Daan Yahya
Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika

Kita paham, kemunculan kelas menengah Muslim di Indonesia kian kentara belakangan. Ia bukan isapan jempol. Mulai dari pengajian modern, di bidang finansial, fesyen, hingga pariwisata, bahkan politik, demografi itu kian kentara.

Nah, yang namanya kelas menengah Indonesia tak sedikit kiranya punya tendensi “keminggris”, kata orang Jawa. Menamai gelaran ke-Islaman dengan Bahasa Inggris. Niat baiknya, barangkali, memadupadankan Islam dengan modernisme agar terlihat lebih trendi.

Muncul kemudian semacam gairah menaruh kata “moslem” di depan macam-macam hal. “Moslem Fashion Show”, “Moslem Travelling”, “Moslem Run”, dan sebagainya dan semacamnya.

Ironisnya, kata-kata “moslem” dengan ejaan dengan “o” dan “e” tersebut sudah usang di negara-negara penutur Bahasa Inggris. Tak ada satu pun media bermartabat di Amerika Serikat dan Inggris atau tulisan ilmiah saat ini menggunakan ejaan tersebut. Seluruhnya menuliskan golongan tersebut sebagai “muslim” dengan “u” dan “i”. Apa yang terjadi?

Sejak abad pertengahan, orang-orang Eropa sedianya lebih kerap menggunakan kata “Mohammedan” dan “Musulman” untuk menyebut pemeluk agama Islam. Konotasinya saat itu tentunya antagonistik sehubungan kenangan Perang Salib.

Menjelang Renaisans pada abad ke-15 dan seterusnya, setelah banyak orang Eropa belajar ke wilayah Islam, mereka akhirnya mafhum bahwa bukan dengan kata itu pengikut Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut diri mereka. Setidaknya mulai abad ke-19, kata “moslem” kemudian jadi lumrah digunakan penutur dan penulis Bahasa Inggris. Meski di sejumlah bahasa Eropa lainnya, kata “musulman” masih bertahan.

Namun, pada 11 September 2001, ada kejadian mengerikan di New York dan Washington, Amerika Serikat. Sejumlah pembajak menabrakkan pesawat ke gedung-gedung dan menimbulkan banyak sekali korban jiwa. Islam, yang diklaim sebagai agama para pembajak, kemudian kian kerap muncul di media-media.

Sejumlah peneliti dari Universitas Cambridge menuliskan dalam laporan mereka “Discourse Analysis and Media Attitudes: The Representation of Islam in the British Press (2013)”, menemukan selepas kejadian itu kata-kata “muslim” mulai menggantikan “moslem” di media-media barat.

Hal itu, menurut para peneliti, sehubungan kian kerapnya media-media barat harus melakukan transliterasi atas kata-kata dan konsep dalam Bahasa Arab. Setelah paham akar kata untuk menyebut umat Islam, kebanyakan memutuskan menggunakan “muslim” yang lebih dekat dengan tulisan, makna, dan pelafalan Arab ketimbang “moslem”.

Menurut Komite Media Majelis Muslim Inggris, seperti dikutip laporan Universitas Cambridge tersebut, pelafalan “mazlem” oleh penutur Bahasa Inggris untuk ejaan “moslem” punya makna yang sangat berbeda dari “muslim”. Bukannya “orang yang menundukkan diri” seperti arti kata “muslim”, pelafalan “mazlem” lebih dekat dengan kata Bahasa Arab “mazhlum” yang artinya “orang yang dizalimi”.

Dilansir Washington Post, United Kingdom’s Society of Editors juga mengibaratkan penulisan kata “moslem” untuk orang Islam serupa dengan memanggil orang keturunan Afrika dengan kata “negroes”. Penelitian Universitas Cambridge di atas mencatat, pada rentang 1998 hingga 2003, jumlah kata “muslim” yang muncul di media-media Inggris sebanyak 200 ribu kali sementara kata “moslem” hanya 7.000 kali. Yang masih kukuh menggunakan “moslem” menurut laporan itu, kebanyakan media konservatif sayap kanan serta pihak-pihak yang punya tendensi islamofobik.

Di antaranya, koran Daily Mail yang masih menggunakan kata itu setidaknya pada 2004. Artinya, menurut penelitian Universitas Cambridge, penggunaan kata “moslem” oleh sebagian kecil media-media Inggris saat itu merupakan bentuk “permusuhan yang subtil”. Pada akhirnya, seturut protes dari Komite Media Majelis Muslim Inggris, Daily Mail menyerah dan kini menggunakan ejaan “muslim”.

Yang ingin penulis katakan, tentu absah mencoba membawa Islam kepada sentimen-sentimen kekinian. Kendati demikian, bagi yang paham konteksnya, khusus untuk penggunaan ejaan “moslem” dalam Bahasa Inggris, ia justru menunjukkan kekunoan dan, naudzubillahimindzalik, pelecehan terhadap diri sendiri.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement