REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Pekan lalu, saya berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta. Salah satu tempat yang saya datangi di gedung tempat berkantornya orang nomor satu di DKI Jakarta itu adalah TPA Negeri Bale Belajar. Ini adalah sebuah fasilitas tempat penitipan anak (TPA) yang diperuntukkan bagi karyawan yang berkantor di Balai Kota DKI itu.
Bale Belajar menempati salah satu ruangan di lantai dasar Gedung Balai Kota DKI Jakarta. Saat itu pukul 09.10 WIB, saya mendapati seorang ibu tengah menyuapi anak perempuannya. Mereka duduk di bangku kecil berwarna warni. Sembari menyuapi sang bocah, ada dua ibu paroh baya yang sesekali menimpali obrolan sambil bercanda dengan sang bocah.
Sekitar 20 menit kemudian, saya sempat kaget mendengar teriakan bocah tersebut. Dia menjerit dan berlari menuju pintu. Rupanya, sang bunda telah meninggalkannya dan naik menuju salah satu lantai di gedung itu untuk mulai bekerja.
Beberapa menit, kehebohan terjadi karena anak perempuan itu terus menjerit dan ingin menyusul ibunya. Para pengasuh atau guru di TPA itu pun berusaha mengalihkan perhatian anak tadi. Ada yang coba mengajaknya menonton, memberikan mainan, mengajaknya bernyanyi, atau memberinya buku. Tak lama, suara gaduh teriakan sang anak pun hilang. Dia mulai asyik dengan mainan di tangannya.
Melihat anak tadi, saya tiba-tiba teringat beberapa tahun silam saat usia anak saya sebaya dengan bocah perempuan itu. Jika tiba saat harus meninggalkan rumah, dengan mengendarai motor, saya selalu membawa anak untuk dititipkan ke rumah neneknya.
Meski hanya sehari, tapi membawa anak bayi keluar rumah, ibaratnya membawa satu isi lemari. Baju ganti, perlengkapan mandi, makanan, susu, pampers, mainan, itu semua satu paket dengan membawa bayinya. Rempong? Ya iyalah. Satu anak saja, sudah seperti rombongan sirkus. Bagaimana kalau dua atau tiga anak ya?
Namun, risiko ibu bekerja ya seperti itulah. Saya pun menjalaninya, menikmatinya, dan mensyukurinya karena itulah pilihan. Tapi saya tak sendiri. Lihatlah di luar sana, jutaan ibu bekerja tetap menjalankan kondratnya sebagai ibu juga istri, sembari berusaha tetap menjalankan tugas sebaik-baiknya.
Naluri seorang ibu tentu saja ingin selalu dekat dengan anaknya, terutama jika sang anak masih bayi dan bergantung pada ASI. Perempuan yang bekerja, hanya diberi hak cuti melahirkan selama tiga bulan. Di situlah perlunya orang kepercayaan yang bisa membantu menjaga dan mengasuh saang anak.
Kehadiran TPA di tempat kerja menjadi salah satu solusi yang bagus. Namun sayang, ini belum massif dilakukan. Kehadiran anak-anak di tempat kerja, adakalanya justru dianggap menjadi 'pengganggu' produktifitas kaum ibu. Padahal, pernahkan terbersit dalam pikiran atasan mereka, jika ibu bekerja dengan konsentrasi tak fokus, hanya akan menghasilkan pekerjaan 'sejadinya' saja?
Raga mereka mungkin ada di belakang meja kerja. Tapi jiwanya ada di rumah memikirkan si kecil apakah sudah makan, apakah sudah tidur, apakah tidak rewel, apakah sudah ganti popok dan sebagainya.
Beberapa perkantoran swasta, pelan-pelan mulai berempati pada ibu dan anak dengan menyediakan TPA di lingkungan perkantoran. Kehadiran TPA di perkantoran menjadi angin segar yang dinanti kalangan ibu bekerja.
Angin segar itu pun kini berhembus di Balai Kota DKI Jakarta. Kehadiran Bale Belajar Balai Kota yang merupakan salah satu program kerja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kini telah terwujud. Meski belum diresmikan oleh Gubernur DKI, namun TPA ini sudah mulai beroperasi sejak 3 September 2018 lalu.
"Ini merupakan TPA Negeri pertama yang ada di DKI. Sudah terdaftar di Kemendikbud dengan nomor NPSN 69979424," ujar Totok Amin Soefijanto, salah satu anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Murid yang sudah terdaftar saat ini sebanyak 50 anak. Adapun pengajar dan pegawai aktifnya berjumlah enam orang. Namun layaknya daycare lain, kehadiran anak-anak tersebut tak semuanya rutin. Terkadang sehari hanya dua sampai lima anak saja.
Totok menjelaskan, rencana ke depan akan ada TPA Negeri serupa di kantor-kantor wali kota, kecamatan, kelurahan dan hingga ke pasar-pasar di bawah PD Pasar Jaya (Pasar Tradisional). Survei internal yang dilakukan pemprov, untuk di gedung H, ada sebanylk 200 ibu bekerja yang membutuhkan layanan TPA ini.
Pada 2019 nanti, akan dibangun di lima wali kota, 20 kecamatan, tujuh pasar dan 24 TK Negeri di kecamatan-kecamatan. Sampai 2022 diharapkan akan ada 461 PAUD Negeri baru yakni TPA, TK, PAUD sejenis dengan status negeri. Dengan status negeri, artinya ini gratis untuk yang bersekolah di sana.
"Ini merupakan salah satu realisasi program Pak Anies Baswedan, sehingga ibu-ibu yang bekerja menjadi tenang dan bisa tetap dekat dengan anaknya. Jadi ibu bisa bekerja, anak aman dan nyaman," kata Totok.
Hadirnya TPA di Balai Kota DKI, diharapkan bisa jadi contoh bagi daerah-daerah lain. Setidaknya, harapan itu tercetus dari 4.175 mayoritas ibu bekerja, baik yang belum punya anak maupun sudah memiliki anak, yang membagikan ulang foto-foto Bale Belajar yang terunggah di akun Facebook saya.
Ada yang mengatakan: "Kapan ya kantorku bisa seperti di DKI?" ada yang men-share dengan caption: "Semoga gubernurku membaca ini," atau yang memuji: "Keren, ini baru daycare yang nyaman," dan banyak lagi.
Yang pasti, ini mengejutkan dan menjadi rekor share status Facebook terbanyak saya. Bayangkan, di hari pertama ada hampir 300 kali status itu dibagikan ke publik. Dan kini, memasuki hari kelima, sudah dibagikan 4.175 kali dengan 5.500 tanda jempol! Betapa ibu-ibu bekerja itu butuh TPA.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id