REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Cirebon menjadi OTT yang ke-100 yang dilakukan oleh KPK sejak lembaga itu berdiri pada 2004 lalu. Dan, seluruh OTT itu terjadi karena adanya transaksi suap yang dilakukan oleh penyelenggara negara (pejabat negara, anggota DPR/DPRD, kepala daerah, hingga ASN/PNS yang digaji oleh negara) dan pihak swasta.
Berdasarkan data acchpk.go.id, sejak 2004 hingga Oktober 2018, KPK sudah menangani 781 kasus. Berdasarkan jenis perkaranya, kasus suap menjadi penyumbang kasus terbanyak yaitu mencapai 474 kasus. Kasus lainnya, pengadaan barang dan jasa (180 kasus), perizinan (22), pungutan (21), penyalahgunaan anggaran (46), TPPU (29), menghalangi proses penyidikan KPK (9).
Ini artinya, kasus suap-menyuap masih sangat banyak dilakukan di negeri ini. Yang jadi pertanyaan penulis, kenapa para pejabat itu sangat suka disuap? Apakah mereka tidak tahu bahwa suap itu adalah bagian dari tindak pidana korupsi?
Jangan-jangan, para penyelengara negara itu hanya memahami korupsi sebagai sebuah tindakan 'mencuri' uang negara. Padahal, suap itu termasuk perbuatan korupsi. Karena, suap bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan dari seorang pejabat dan menguntungkan pihak yang memberi suap yang bisa merugikan negara.
Kecurigaan penulis soal tidak tahunya para pejabat itu bahwa suap adalah bentuk tindakan korupsi bisa dilihat dari pengakuan mantan wakil ketua Komisi Energi di DPR, Eni Maulani Saragih, yang kena OTT KPK karena kasus suap PLTU I Riau.
Berdasarkan pengakuan dia, suap itu adalah bagian dari rezeki halal yang didapat dari pihak swasta. Dia menilai bahwa uang suap bukan kegiatan mencuri uang negara. "Sehingga, kalau ada rezeki yang saya dapat dari proses ini menjadi halal dan saya niatkan untuk orang-orang yang berhak menerima," kata Eni waktu itu.
Nah, itu salah satu contohnya, para penerima suap itu menganggap uang suap itu adalah halal. Padahal jika dikaji secara hukum, penulis memiliki dua dasar bahwa suap itu sangat dilarang, melanggar hukum, dan bagian dari tindak pidana korupsi.
Pertama, berdasarkan hukum positif negara. Setidaknya, ada tiga Undang-Undang yang menyebut suap adalah sebuah tindak pidana korupsi. Yaitu, KUHP, UU No 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Selain itu, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kita ambil satu saja pengertiannya dari UU Pemberantasan Tipikor. Pada pasal 11 Berbunyi hukuman bagi penerima suap: "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya."
Sedangkan dari sisi hukum agama Islam, bisa dilihat dari kisah bagaimana ada seorang pemungut zakat pada zaman Nabi Muhammad SAW. Di mana, suatu ketika Nabi Muhammad mengaudit hasil zakat yang dikumpulkan oleh petugas pemungut zakat tersebut. Kemudian, pemungut zakat tersebut melaporkan kepada nabi bahwa ia menyerahkan zakat yang diperuntukkan untuk kepentingan umat Islam dan hadiah yang diberikan oleh pemberi zakat kepada dirinya selaku pemungut zakat. Kemudian, Nabi berkata: "Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?"
Artinya, hadiah itu tidak akan datang jika dia tidak mendapat jabatan sebagai pemungut pajak. Kisah ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sangat melarang pemberian hadiah, fee, ataupun suap kepada orang yang diberi jabatan.
Mudah-mudahan, para pejabat, kepala daerah, PNS/ASN, semakin sadar dan mengetahui bahwa pemberian hadiah atau suap terutama yang pemberian itu terkait jabatannya, merupakan sebuah tindakan yang berujung korupsi. Sebagaimana yang diatur oleh hukum negara maupun yang diajarkan oleh ajaran Islam.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id