REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Masalah defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) telah lama menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa diselesaikan pemerintah hingga saat ini. Dalam dua tahun terakhir (2016-2017), CAD Indonesia mencapai sekitar 17 miliar dolar AS.
Sementara pada tahun ini, selama semester I 2018, posisi CAD telah mencapai 13,7 miliar dolar AS. Banyak pihak memprediksi defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun ini bisa mencapai 25 miliar dolar AS.
Salah satu sektor yang dinilai berkontribusi besar terhadap meningkatnya angka CAD adalah sektor migas. Penyebabnya adalah kebutuhan impor bahan bakar minyak (BBM) yang terus meningkat.
Kebutuhan impor BBM yang terus meningkat ini tentunya ikut menggerus cadangan devisa negara. Besarnya devisa untuk impor BBM terus bertambah sejalan dengan jatuhnya nilai rupiah.
Bisa dikatakan Indonesia saat ini dalam kondisi darurat energi. Produksi minyak mentah di dalam negeri terus menurun, sementara konsumsi BBM nasional terus meningkat.
Mengacu pada data 2017, kebutuhan BBM dalam negeri sebesar 1,3 juta barel per hari (bph). Sementara kemampuan kilang di dalam negeri untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM hanya sebesar 680 ribu bph. Artinya, setiap tahunnya Indonesia masih harus mengimpor BBM sebanyak 620 ribu bph.
Untuk menekan angka impor BBM, telah menerbitkan kebijakan penggunaan bahan bakar biodiesel sebesar 20 persen (B20). Biodiesel B20 adalah bahan bakar campuran minyak nabati kelapa sawit sebesar 20 persen dan minyak solar 80 persen.
Bank Indonesia menyebutkan kebijakan menggunakan 20 persen biodiesel untuk bahan bakar solar akan menurunkan volume impor minyak. Diperkirakan ini bisa menghemat nilai impor hingga sekitar 6 miliar dolar AS per tahun, sehingga dapat menekan defisit transaksi berjalan.
Mengapa pemerintah memilih kelapa sawit? Alasannya, produksi sawit Indonesia melimpah. Sementara itu, negara-negara yang selama ini menjadi pasar produk sawit Indonesia memberlakukan larangan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) berbasis kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Uni Eropa, misalnya, memutuskan untuk memperpanjang larangan penggunaan biofuel berbasis CPO hingga 2030. Keputusan tersebut secara resmi merevisi rencana sebelumnya yang melarang penggunaan CPO sebagai bahan dasar biofuel mulai 2021. Revisi larangan tersebut tertuang dalam pertemuan tripartit antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa yang digelar pada 14 Juni 2018 lalu.
Larangan penggunaan berbasis minyak kelapa sawit tersebut akan berdampak kepada Indonesia. Sebab, sawit merupakan salah satu komoditas ekspor terbesar bagi Indonesia.
Sepanjang Semester I 2018, Indonesia mengekspor minyak sawit sebanyak 15,30 juta ton. Jumlah tersebut turun 2 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang mencapai 15,62 juta ton.
Sementara dari sisi produksi, pada semester pertama tahun ini produksi minyak sawit Indonesia mencapai 22,32 juta ton. Angka ini menunjukkan peningkatan 23 persen dibandingkan dengan produksi tahun lalu pada periode yang sama sebesar 18,15 juta ton.
Dari sisa produksi minyak sawit sebesar 7,02 juta ton yang terdapat di dalam negeri, hanya sebagian kecil saja yang kemudian dimanfaatkan untuk bahan bakar nabati. Berdasarkan data Asosia Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), sepanjang Januari-Juni 2018, produksi biodiesel Indonesia mencapai 3,42 juta kl.
Beban berat
Kebijakan pemerintah terkait pencampuran CPO ke solar sebesar 20 persen (B20) diharapkan tidak hanya demi kepentingan industri sawit dalam negeri. Kebijakan ini juga harus memperhatikan soal ketahanan energi nasional yang juga menjadi masalah serius ke depan.
Salah satu beban berat ada di pundak Pertamina. Sebagai satu-satunya badan usaha milik pemerintah yang bertugas mendistribusikan BBM di dalam negeri, Pertamina diharapkan mampu menyukseskan penggunaan bahan bakar biodiesel B20 di seluruh wilayah Indonesia.
Pertamina mengklaim, saat ini 112 terminal BBM miliknya telah siap mengolah minyak sawit atau Fatty Acid Methyl Esters (FAME) untuk dicampur ke BBM bersubsidi atau Public Service Obligations (PSO) dan BBM non-PSO. Namun, saat ini baru 69 terminak BBM yang sudah menerima penyaluran FAME.
Sebagian besar daerah yang belum tersalurkan FAME berada di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi. Total kebutuhan FAME Pertamina untuk dicampurkan ke solar subsidi dan non subsidi yaitu sekitar 5,8 juta kl per tahun.
Di sisi lain, Pertamina juga akan menerapkan digitalisasi pada 5.518 SPBU atau 75 ribu nozzle di seluruh Indonesia. Digitalisasi ini untuk mengoptimalkan pemantauan ketersediaan bahan bakar B20 di tiap SPBU Pertamina.
Menilik kesiapan infrastruktur Pertamina di hulu hingga hilir dalam mendukung program mandatori B20 sepertinya tidak perlu diragukan lagi. Namun, kendalanya justru ada pada kondisi geografis Indonesia.
Menurut Aprobi, faktor keterjangkauan lokasi dan kebutuhan yang tidak banyak membuat produsen biofuel tidak bisa memasok langsung kebutuhan FAME ke terminal BBM Pertamina. Sehingga kebutuhan B20 untuk terminal BBM skala kecil akan dipasok dari terminal BBM yang lebih besar dalam bentuk sudah berupa campuran B20.
Untuk menyukseskan pemakaian bahan bakar B20, Pertamina gencar mensosialisasikan penggunaan B20 kepada masyarakat. Sosialisasi yang gencar ini untuk menampik anggapan bahwa penggunaan B20 bisa mengakibatkan mesin rusak.
Mengenai dampak penggunaan B20 terhadap mesin, kalangan akademisi menilai jika kualitas bahan bakar nabati yang digunakan bagus tidak ada masalah untuk mesin diesel modern yang banyak beredar saat ini. Konsumen bisa langsung menggunakan bahan bakar biodiesel B20 tanpa perlu melakukan mofidikasi pada mesin. Bisa dikatakan B20 merupakan bahan bakar yang ramah terhadap mesin karena lebih bersih dan tidak menyebabkan mesin cepat panas.
Sosialisasi yang dilakukan Pertamina tak hanya sebatas mengenai dampak pemakaian B20 terhadap kualitas mesin, namun juga penghematan yang bisa diperoleh konsumen jika menggunakan bahan bakar biodiesel B20 ini. Para pelanggan yang selama ini sudah menggunakan produk biosolar Pertamina mengakui bahwa B20 jauh lebih irit dibandingkan dengan solar biasa.
Bahkan, Pertamina menjamin harga bahan bakar biodiesel B20 yang dipatok Pertamina kepada konsumen tidak berubah. Terutama harga yang memang dipatok oleh Pertamina untuk solar subsidi.
Dengan berbagai keunggulan tersebut, maka tidak salah jika bahan bakar berbasis minyak kelapa sawit ini dijadikan sebagai sumber energi masa depan bagi Indonesia. Terlebih lagi, produksi sawit sangat melimpah di Indonesia.
Sejarah mencatat Indonesia pernah menjadi salah satu penguasa bahan bakar fosil di dunia. Di masa mendatang, tidak mustahil predikat sebagai penguasa bahan bakar bisa kembali disandang Indonesia. Namun bukan sebagai penguasa bahan bakar fosil, melainkan penguasa bahan bakar nabati.
Apalagi saat ini, Indonesia berkontribusi sebesar 48 persen dari produksi CPO dunia dan menguasai 52 persen pasar ekspor minyak sawit. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang menjadi pusat industri pengolahan sawit global untuk keperluan bahan bakar terbarukan.
Jadi, selamat tinggal era bahan bakar fosil!
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id