REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Kurang lebih lima bulan lagi, rakyat Indonesia akan memutuskan siapa yang akan diberikan kepercayaan untuk memimpin negara. Dua kubu pasangan calon presiden (capres) dan cawapres pun harus meningkatkan kewaspadaan, jangan sampai terpeleset, yang membuat elektabilitas mereka turun dan dimanfaatkan oleh lawan.
Beberapa waktu terakhir, panggung kompetisi Pilpres 2019, semakin ramai menjurus ke arah gaduh. Namun sayangnya, keramaian itu bukan karena masing-masing kubu capres-cawapres saling sengit menawarkan dan menjelaskan program-program yang dimilikinya ke masyarakat, tetapi hiruk-pikuk persaingan pilpres cenderung diisi dengan hal-hal yang kontraproduktif. Mulai dari aksi saling lapor melapor ke Bawaslu dan pihak kepolisian, hingga saling sindir menyindir. Kondisi ini tentu membuat persaingan pilpres ramai tanpa faedah.
Tentu jika ini merupakan strategi kampanye, sah-sah saja dilakukan. Namun, kubu pasangan capres-cawapres manapun harus juga ingat, strategi ini selain tidak membuat dan mendidik masyarakat untuk cerdas memilih calon pemimpin, juga sangan beresiko menjadi 'senjata makan tuan' bagi kubu capres manapun. Kita ambil contoh saja dugaan pelanggaran dua menteri dalam pertemuan IMF-World Bank untuk kubu Jokowi-Ma'ruf Amin, serta 'tampang Boyolali' untuk kubu prabowo-sandi.
Mungkin, jika dilihat kasus ini seperti 'receh' ibarat bahasa anak 'jaman now'. Tapi efek yang ditimbulkan dari dua kasus tentu akan merepotkan bagi dua kubu pasangan capres-cawapres. Sebab ada kemungkinan mereka akan bolak-balik memenuhi panggilan Bawaslu dan kepolisian. akhirnya, bukan tidak mungkin energi dua kubu pasangan capres-cawapres akan terbuang percuma menyelesaikan kasus-kasus 'receh'.
Hal-hal semacam ini, tentu saja bisa dihindari jika kedua pasangan capres-cawapres serta tim kampanyenya, bisa mengontrol diri, kecuali jika membuat kegaduhan yang tidak penting adalah bagian dari strategi kampanye mereka. Harus diingat, satu kata negatif atau buruk yang dilemparkan oleh kubu pasangan capres-cawapres, akan mempunyai pengaruh besar ke publik, khususnya di era media sosial yang semakin pesat saat ini. Hal negatif tersebut bisa ditransformasikan menjadi kampanye hitam atau bahkan hoaks di medsos.
Sebaliknya, saya pribadi maupun juga sebagian besar publik justru kurang mendapatkan kampanye yang mensosialisasikan program-program yang ditawarkan. Jika capres atau cawapres hanya berbicara normatif, seperti ingin memperbaiki kondisi ekonomi bangsa dan sejenisnya, ekonomi Indonesia akan makin buruk di tahun-tahun mendatang...lalu apa?. Bagi saya itu kurang cukup. Hal itu tidak bedanya dengan iklan kecap yang menawarkan produk mereka. Publik tentu ingin tahu, bagaimana secara detail pasangan capres mewujudkan hal tersebut. Itu baru kampanye yang berbobot.
Kedua kubu pasangan capres-cawapres harus ingat, berdasarkan survei terbaru dari beberapa lembaga survei maupun media massa, masih ada kurang lebih 14 persen pemilih yang belum memutuskan pilihannya atau swing voters. Angka ini cukup besar untuk diperebutkan. Jika salah satu pasangan capres-cawapres bisa merebut minimal 10 persen saja dari angka tersebut, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap kemenangan di pilpres. Belum lagi kemungkinan pemilih yang berpindah di waktu-waktu terakhir.
Suara-suara tersebut tentu tidak bisa didapat dengan hanya 'berbalas pantun', saling serang, saling sindir dan semacamnya. Tentu ada alasan mengapa kurang lebih 14 persen pemilih belum memutuskan pilihannya, bukan tidak mungkin mereka enggan memilih karena lelah melihat kedua pasangan capres hanya bisa membuat kegaduhan saja. Faktanya bisa dilihat dari hasil survei terbaru yang menyatakan jumlah swing voters semakin naik dari pemilu ke pemilu lainnya.
Sehingga pasangan capres-cawapres harus benar-benar bisa meyakinkan jika visi misi, program-program mereka layak untuk dipilih. Ingat, strategi kampanye saling sindir dan serang bisa berdampak pada elektabilitas kedua pasangan capres. Begitupun dengan banyaknya laporan yang harus dihadapi oleh dua kubu pasangan capres-cawapres ke Bawaslu atau pihak kepolisian.
Tentu kita tidak ingin mengulang pengalaman Pilpres 2014 lalu, dimana persaingan saat itu seolah membagi masyarakat Indonesia menjadi dua kubu. Tentu kita semua ingin 'luka-luka' bekas persaingan di 2014 hilang dan jangan dibuka lagi. Model-model kampanye saling serang sudah selayaknya dihentikan. Kita tentu ingin kontestasi pilpres kali ini berjalan damai dan sejuk.
Saya membayangkan, Pilpres 2019 diisi dengan adu gagasan yang cemerlang dari dua kubu pasangan capres. Secara pribadi saya ingin di halaman-halam media sosial antar pendukung capres berdiskusi dan berdebat tentang program-program capres-cawapres yang mereka usung, bukan dengan kata-kata cebong, kampret, sontoloyo atau tampang kaum miskin. Mengkritisi pasangan capres-cawapres tentu boleh saja, namun sebaiknya diikuti dengan solusi.
Untuk itu, di sisa waktu kurang lebih lima bulan lagi, kedua kubu pasangan capres-cawapres bisa mengubah gaya komunikasi politik dan strategi kampanye mereka. Khususnya bagi pasangan capres-cawapres penantang, mereka harus bisa memastikan jika visi misi dan program-program mereka bukan hanya retorika belaka, namun sesuatu yang bisa diwujudkan dan dicapai. Sementara untuk kubu pejawat mereka harus bisa mengakui kekurangan pemerintahan saat ini dan berjanji serta memastikan jika mereka bisa lebih baik jika diberi mandat kembali.
Kedua kubu pasangan capres pun harus semakin waspada dan berhati-hati dalam melontarkan pernyataan atau menyikapi sesuatu hal. Jangan sampai tergelincir dalam kasus-kasus 'receh' yang berlarut-larut dan justru mengikis elektabilitas mereka. Selain itu, mereka juga harus bisa mengajak para pendukungnya untuk tidak membuat blunder yang bisa dimanfaatkan lawan untuk menjadi kampanye negatif. Satu peribahasa yang harus selalu diingat oleh kedua kubu adalah 'mulut mu harimau mu’
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id