REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Andri Saubani*
Hampir dua bulan sudah masa kampanye Pilpres 2019 berlalu sejak resmi dimulai pada 23 Oktober 2018 lalu. Mulai menarik untuk menganalisis cara, gaya, dan narasi kampanye dua pasang calon yakni, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (02) dan Joko Widodo (Jokowi)-Kiai Ma’ruf Amin (01).
Prabowo dan Sandi sebagai penantang kubu pejawat sepertinya meniru apa yang dilakukan oleh kebanyakan kalangan konservatif kala bertarung dalam pemilu di beberapa negara. Prabowo bisa dibilang belum atau tidak mengubah gayanya yang berlatar belakang militer.
Pembawaannya yang tegas dan keras masih menjadi citra yang dijual kepada publik. Bahkan jauh sebelum masa kampanye dimulai, Prabowo sudah sering menebar narasi ‘mengerikan’ semacam “Indonesia bisa bubar pada 2030”.
Sejak Trump berjaya di Pilpres AS pada 2016, kemenangannya memang menginspirasi calon-calon lain di beberapa pemilu di negara lain. Di Prancis (meski kalah) ada Marine le Pen yang membuat semboyan “Make France great again” dan di Brasil ada Jair Bolsonaro dengan langgam kampanye “Make Brazil great again”. Ketiganya adalah calon dari kalangan konservatif yang berhasil merebut suara minoritas di negaranya masing-masing.
Meski menyangkal meniru gaya Donald Trump, Prabowo juga ikut membuat semboyan ala Trump, “Make Indonesia great again”. Prabowo juga kerap menyerang elite berkuasa dengan menyebar hal-hal yang gawat berpotensi terjadi pada masa depan jika tidak ada pergantian kekuasaan. “99 persen rakyat hidup pas-pasan” kata Prabowo dalam suatu kampanyenya.
Sandiaga sebagai cawapres, juga idem ditto dengan Prabowo. Selain menjual program-program kerja jika mereka terpilih, mantan wagub DKI yang rajin berkeliling Indonesia, masuk ke pasar-pasar tradisional, dan berjumpa dengan emak-emak, juga menggunakan gaya kampanye menyerang lawan meski terkesan lebih halus. “Tempe setipis kartu ATM”, “Chicken rice Singapura” di antara jargon Sandi yang sejauh ini paling diingat.
Teori Firehose of Falsehood
Kemenangan Trump di AS adalah sesuatu yang fenomenal. Rand Corporation sampai menerbitkan sebuah analisis penelitian terhadap kemenangan Trump dan kemiripian metode kampanye yang digunakan Vladimir Putin saat mencaplok Georgia pada 2008 dan Krimea pada 2014.
Publikasi Rand menjelaskan, bahwa rezim Putin mengunakan kebohongan tersurat (obvious lies) yang diproduksi secara masif dan simultan oleh media-media massa yang dikuasai oleh negara. Propaganda menjadi senjata yang menyerbu amygdala atau dalam ilmu saraf adalah bagian otak yang bertanggung jawab mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri pada situasi darurat.
Agar efektif, kebohongan diproduksi secara masif lalu disebarkan melalui berbagai platform media. Berita juga harus bergerak cepat, terus menerus, berulang dan tak memedulikan adanya upaya terhadap verifikasi (cek fakta). Tak perlu konsisten atau harus ada ralat, yang penting kebohongan atau berita pertama yang disebarkan sudah terdistribusikan secara masif.
Trump, dan kemudian diikuti Le Pen dan Bolsonaro diyakini menggunakan teknik Firehose of Falsehood ini. Amygdala calon pemilih yang terus menerus diserang menjadi bimbang dan pada akhirnya mempercayai hoaks yang beredar. Khusus Bolsonaro, lantaran dia menjadi calon yang tidak didukung oleh media arus utama di Brazil, dia menggunakan Whatsapp untuk menyebarkan hoaks menyerang lawan-lawan politiknya.
Di sini, terbongkarnya kebohongan Ratna Sarumpaet yang awalnya mengaku dirinya bonyok akibat dikeroyok tetapi ternyata baru menjalani operasi plastik, dinilai oleh banyak pengamat dan peneliti komunikasi politik sebagai praktik Firehose of Falsehood yang gagal. Tepatnya, digagalkan oleh investigasi pihak kepolisian yang akhirnya memaksa Ratna mengakui dirinya adalah pencipta hoaks terbaik.
Sosok Ratna tidak bisa dilepaskan dari kubu Prabowo-Sandi, karena sebelum menjadi juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), Ratna adalah aktivis yang terkenal berseberangan dengan Jokowi. Prabowo bahkan sempat menggelar konferensi pers khusus segera setelah Ratna lapor dirinya dikeroyok. Dan untuk meyakinkan publik bahwa kebohongan yang diproduksi Ratna tidak ada kaitannya dengan dirinya, Prabowo juga membuat keterangan pers resmi lanjutan.
Soal fenomena jamaknya penggunaan Firehose of Falsehood pascakemenangan Trump, pernah direspons oleh kubu Prabowo-Sandi. Partai Gerindra sebagai partai tempat Prabowo bernaung menegaskan tidak akan menggunakan gaya Trump apalagi berkampanye dengan cara membohongi rakyat. Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon pun pernah membantah bahwa Prabowo menyewa jasa konsultan politik agar sukses seperti Trump.
Kala Jokowi terpancing
Selaku pejawat, dan setelah diumumkan menjadi calon presiden (capres) oleh PDIP melalui Twitter pada 23 Februari, Jokowi awalnya mengambil gaya dan narasi berbeda dengan Prabowo untuk kampanyenya. Kegiatan-kegiatan kekinian Jokowi seperti berlatih tinju, menonton bioskop, dan konvoi di beberapa daerah menggunakan chopper mengingatkan gaya kampanye Justin Trudeau yang menang di Pemilu Kanada pada 2015.
Apa yang dilakukan Trudeau pada 2015 sukses merebut hati kaum muda Kanada yang sebelumnya apatis terhadap politik. Tim kampanye Jokowi pun sadar akan potensi besar pemilih milenial pada Pilpres 2019, sehingga gaya Trudeau menjadi layak diadaptasi untuk memancing pemilih muda yang angkanya disebut mencapai kisaran 40 persen.
Namun, belakangan Jokowi seperti tak tahan juga atas serangan demi serangan yang dilancarkan oleh kubu Prabowo-Sandi dan pendukungnya. Jokowi pun terpancing dan secara sadar ikut-ikutan melempar istilah atau kiasan yang berujung kontroversi, seperti “Politikus sontoloyo” dan yang terbaru “Politik genderuwo”.
Jokowi jadi seperti keluar dari pakem berpolitiknya selama ini. Figur mantan wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta yang selama ini dikenal tenang menjawab serangan dengan membeberkan capaiannya kala memimpin, akhirnya bersikap tak lazim. Jokowi pun mulai lantang melancarkan serangan balik.
Cawapres Jokowi, Ma'ruf Amin juga belakangan mulai ikut menyerang balik para lawan politik. Yang paling ramai di ruang publik saat ini adalah analogi 'buta dan budek' bagi orang-orang yang tidak bisa atau mengingkari prestasi Jokowi selama jadi presiden, yang kemudian menuai protes dari kalangan disabilitas.
Perang istilah, jargon, kiasan di ruang publik belakangan ini seperti menjadi lebih menarik bagi para pasangan calon ketimbang adu gagasan atau ide soal masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Masyarakat, khususnya calon pemilih tentunya dirugikan, karena fokus terhadap gagasan program dan arah kebijakan lima tahun ke depan menjadi luput dari perhatian.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai ‘wasit’ di luar gelanggang pilpres juga tidak atau belum terlihat perannya di tengah perang istilah tak substantif ini. Sudah saatnya KPU tampil dengan memperbaiki fase kampanye yang durasinya masih panjang hingga pertengahan tahun depan. Jangan biarkan masyarakat lebih ngeh terhadap ribut-ribut istilah kontroversial ketimbang visi-misi kedua pasangan calon.
*Penulis adalah jurnalis Republika