REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya*
Rencana pemerintah untuk membentuk perusahaan induk (holding) BUMN sektor migas ibaratnya mengawinkan seorang anak gadis dengan perjaka lewat jalur perjodohan. Dalam banyak kasus, perkawinan melalui jalur perjodohan tidak selalu berjalan mulus.
Dibandingkan dengan holding BUMN sektor pertambangan, jalan menuju pembentukan holding BUMN sektor migas memang terbilang terjal dan banyak hambatan. Meski tanggal pernikahan sudah ditetapkan, namun masih ada penolakan terhadap rencana tersebut.
Untuk memuluskan rencana pembentukan holding BUMN migas, pada 11 April 2018 Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno resmi menandatangani akta pengalihan saham seri B milik negara sebesar 56,96 persen di PT Perusahaan Gas Negara, Tbk (PGN) kepada PT Pertamina (Persero). Proses selanjutnya yang harus ditempuh adalah peralihan kepemilikan saham PT Pertamina Gas (Pertagas) ke PGN.
Kementerian BUMN meminta proses akuisisi Pertagas oleh PGN selesai paling lambat Agustus 2018. Penyatuan Pertagas dan PGN tersebut mengundang protes dari Serikat Pekerja (SP) Pertagas. Alasannya, akuisisi Pertagas hanya akan merugikan Pertamina dan negara.
Sebelum pemerintah memutuskan Pertagas diakuisisi oleh PGN, sempat terbuka dua opsi lainnya terkait konsolidasi dua perusahaan ini. Dua opsi lainnya adalah merger dan inbreng (penyertaan atas saham) Pertamina di Pertagas ke PGN.
Opsi akusisi dipilih pemerintah karena prosesnya lebih cepat. Sementara kalau lewat merger prosesnya bisa lebih dari setahun.
Meski prosesnya lebih cepat, akuisisi memerlukan dana dalam jumlah besar dibandingkan opsi merger. Tetapi, dari segi otoritas, opsi akuisisi ini memberikan otoritas absolut pada pihak pembeli.
Hingga kini PGN masih melakukan valuasi aset Pertagas, dan ditargetkan dapat selesai sebelum akhir Juni 2018. Valuasi ini sebagai bahan untuk mengakuisisi perusahaan tersebut.
Bonus terbaik dari pemerintah
Bagi kalangan pengusaha, pembentukan holding BUMN migas sudah dinanti-nanti. Pembentukkan holding BUMN migas ini dinilai pelaku industri nasional sebagai bonus terbaik dari pemerintah untuk dunia usaha.
Menurut Wakil Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia Achmad Widjaya, pembentukan holding migas akan sangat positif bagi sektor industri. Alasannya, dengan satu regulasi dalam holding, maka efisiensi bisa ditingkatkan dan harga gas untuk industri akan bisa ditekan sehingga menjadi lebih murah. Selain itu, pasokan gas ke konsumen industri akan terpelihara dengan baik.
Soal keandalan pasokan dan harga gas yang murah ke konsumen ini, lembaga riset Wood Mackenzie pernah menyebutkan, ada sejumlah keuntungan yang akan didapat oleh Pertamina bila pembentukan holding migas terealisasi. Pertamina bisa memanfaatkan basis pelanggan PGN untuk memperluas jangkauan pemasaran perusahaan. Sekaligus diharapkan bisa menghindarkan Pertamina dari risiko kelebihan kontrak gas alam cair atau Liquid Nature Gas (LNG).
Diketahui, Pertamina sejak 2014 menandatangani kontrak impor LNG sebesar 1,5 juta ton per tahun dari Cheniere Corpus Christi, perusahaan asal Amerika Serikat. Kontrak pembelian LNG ini dibuat karena diperkirakan Indonesia butuh gas impor mulai 2019.
Dalam neraca gas bumi yang disusun Kementerian ESDM disebutkan, Indonesia butuh impor gas sebanyak 1.777 miliar BTU per hari (bbtud) pada 2019, 2.263 bbtud pada 2020, 2.226 bbtud di 2021. Kemudian butuh impor sebanyak 1.902 bbtud pada 2022, 1.920 bbtud di 2023, 2.374 bbtud pada tahun 2024, dan 2.304 bbtud di 2025.
Namun, infrastruktur penerima gas yang dimiliki Pertamina saat ini masih belum cukup untuk menampung dan mendistribusikan gas tersebut. Menurut hasil riset Wood Mackenzie, penggabungan usaha ini akan memberikan akses Pertamina terhadap pelanggan industri utama PGN yang bisa meringankan risiko kelebihan pasokan.
Pertagas memiliki jaringan pipa transmisi yang telah open accesss yang bisa bebas digunakan siapapun. Sementara PGN mempunyai jaringan pipa distribusi.
Dilihat dari sisi panjang, jaringan pipa yang dimiliki PGN lebih panjang, namun secara volume gas yang diangkut lebih kecil dan berada di kota-kota tertentu. Sedangkan jaringan pipa milik Pertagas mampu menjangkau konsumen antarkota antarprovinsi.
Per akhir 2017, total panjang pipa yang dibangun dan dioperasikan PGN sudah mencapai 7.435 kilo meter (km), yang terdiri dari pipa distribusi 5.151 km dan pipa transmisi sebesar 2.284 km. Saat ini PGN menguasai 76 persen dari seluruh infrastruktur gas nasional.
Seperti halnya sepasang kekasih yang akan menikah, melalui akuisisi ini diharapkan PGN dan Pertagas bisa saling mengisi kekurangan yang dimiliki satu sama lain. Sehingga tujuan akhir kehadiran holding BUMN migas ini bisa menurunkan harga jual gas di pasar domestik bisa terwujud.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id