REPUBLIKA.CO.ID,oleh Andri Saubani*
Kegagalan timnas senior Indonesia pada gelaran Piala AFF 2018 menjadi bab penutup perjuangan skuat Garuda di semua tingkatan umur pada tahun ini. Pelatih Bima Sakti Tukiman meminta maaf dan menginginkan semua pihak tidak saling menyalahkan.
Ada satu opini Bima yang bisa dibilang adalah pangkal persoalan yang menyebabkan terpuruknya prestasi timnas; Indonesia tertinggal di Asia Tenggara karena belum memiliki kompetisi usia muda yang terstruktur. Bima benar.
Kapan Indonesia terakhir menjadi juara di Asia Tenggara? Yakni, pada 1991 saat Indonesia meraih medali emas di SEA Games Manila. Setelah itu sampai sekarang, timnas senior praktis tak pernah lagi menorehkan prestasi yang bisa dibanggakan.
Jangankan untuk menyamai Thailand yang harus diakui sebagai raja sepak bola di Asia Tenggara, Indonesia malah sepertinya sudah tersaingi dan mulai tertinggal oleh negara seperti Vietnam atau Myanmar.
Piala AFF 2018 menjadi bukti bahwa Thailand sudah tak lagi menjadikan ajang dua tahunan ini menjadi target. Ada lima pemain inti Thailand termasuk Teerasil Dangda tak dipanggil masuk skuat. Pelatih Milovan Rajevac lebih memilih pemain-pemain muda ‘lapis kedua’ yang berhasil mengalahkan Indonesia 2-4 pada babak penyisihan Grup B.
Jika Indonesia masih berjuang untuk menjadi juara di level Asia Tenggara, Thailand sudah mulai menatap Piala Dunia. Berbekal target bermain di putaran final Piala Dunia 2026, Asosiasi Sepak Bola Thailand (FAT), sejak 2016 membangun liga usia muda bernama Liga Belia Thailand (Thailand Youth League), yang terdiri dari liga U-13 (untuk pemain di bawah 13 tahun), U-15, U-17, dan U-19.
Klub-klub profesional Thailand, seperti FC Bangkok, bahkan memiliki tim-tim belia mulai U-7 sampai U-17. Sementara juara Liga Thailand 2017, Buriram FC, mempunyai tim muda di berbagai level usia mulai U-11, U-13, U-15, U-17, sampai U-19.
Apa yang diprogramkan oleh FAT jelas lebih maju daripada PSSI. PSSI baru memulai kompetisi usia yunior sejak tahun ini. Itu pun baru sebatas liga U-16 dan liga U-19. Banyak klub di Indonesia yang masih mengalami keterbatasan membangun tim usia remaja kala subsidi dari PSSI juga ‘hanya’ Rp 2,5 miliar per musim.
Di tengah keterbatasan itu, Indonesia sebenarnya memiliki potensi luar biasa dari segi talenta. Langkah pelatih semacam Indra Sjafri dan dilanjutkan oleh Fakhri Husaini yang keliling Indonesia mencari pemain muda berbakat membuktikan bahwa negara ini memiliki banyak bibit pesepak bola dengan bakat alamiah yang menunggu untuk diasah.
Indra Sjafri telah sukses dengan gelar Piala AFF U-19 kala Evan Dimas dkk berhasil mengangkat trofi juara pada 2013. Yang terbaru pada tahun ini, timnas U-16 membuat bangga dengan menjadi juara di level Asia Tenggara dan nyaris saja ke Piala Dunia U-17 setelah kurang beruntung di turnamen Piala Asia U-16. Di Piala Asia, dua kembar Bagas-Bagus dan skuatnya bahkan bisa mengalahkan tim sekelas Iran.
Namun seperti biasa, sejatinya mereka masih pemain amatir yang tidak memiliki klub. Setelah suatu turnamen usai, timnas yunior biasanya langsung bubar jalan. Bakat hebat para pemain belia itu pun selanjutnya tersia-siakan karena tak ada lagi kompetisi lanjutan sebagai media penyaluran talenta mereka.
Suatu kompetisi atau liga adalah kawah candradimuka mengasah skill, menempa fisik dan mental pesepak bola, di mana para individu terbaik kemudian terseleksi memperkuat timnas suatu negara. Laga terakhir timnas U-19 pada partai perempat final Piala AFC U-19 melawan Jepang di GBK Jakarta belum lama ini menjadi salah satu contoh perbandingan dua tim yang bisa dibilang setara secara skill tapi berbeda dalam hal mentalitas.
Meski kalah 0-2 pada laga itu, bisa dibilang permainan Witan Sulaeman cs tidak kalah kelas. Secara statistik pertandingan timnas U-19 Indonesia melawan Jepang berjalan cukup imbang. Indonesia tercatat melepaskan tiga kali tembakan mengarah tepat ke gawang dan Jepang lima tendangan.
Total umpan yang dilepaskan Indonesia sebanyak 351 kali dan Jepang 373 kali. Dari sisi akurasi, umpan yang dilakukan Witan Sulaeman cs mencapai 74 persen sedangkan Jepang sebanyak 76 persen.
Pelatih Jepang U-19, Masanaga Kageyama pun mengakui kemampuan teknik tim lawannya. Ia menilai, para pemain muda Indonesia memiliki kemampuan menggiring bola yang baik dan punya kecepatan. Namun, yang membedakan adalah ketenangan di lapangan, yang membuat Jepang U-19 unggul dalam hal penguasaan bola.
Sebuah tim yang unggul dalam penguasaan bola dalam suatu pertandingan biasanya terdiri dari para pemain yang kuat secara mental dengan kepercayaan diri yang tinggi. Kualitas mental mempengaruhi bagaimana seorang atau beberapa pemain berani menguasai, menggiring, dan tidak terburu-buru mengoper atau melepaskan umpan.
Meski di bawah tekanan hebat para pendukung fanatik timnas Indonesia yang memenuhi Gelora Bung Karno, Takefusa Kubo dkk tetap terlihat tenang. Mereka tidak pernah panik ketika sedang ditekan lawan dan konsisten dengan gaya permainan operan bola cepat dari kaki ke kaki.
Sehari sebelum kick-off, kepada wartawan, Kageyama bilang bahwa para pemainnya sudah biasa dengan atmosfer semarak di Liga Jepang. Maka dari itu, dia justru senang jika mental pemainnya diuji oleh ‘teror’ puluhan ribu suporter skuat Garuda.
Masahiro Sugiyama, dalam Grassroots Football Development in Japan menerangkan, bahwa pembangunan sepak bola Jepang sudah dimulai sejak 1960-an. Namun, baru pada 1979, Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) membuat rencana serius dengan menginventarisasi nama seluruh pesepak bola di Negeri Sakura mulai umur di bawah 12 tahun sampai usia 40 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.
Data masif itu menjadi dasar penyusunan program pembinaan sepak bola khususnya level usia muda. Kejuaraan sepak bola usia muda U-18 mulai digelar pada 1978 disusul kejuaraan U-15 pada 1986. Selain itu, ada pula berbagai kejuaraan untuk pemain di level U-12 dan U-13 yang semuanya di bawah koordinasi JFA.
Pemain-pemain terbaik dari kejuraan di tiap tingkatan umur kemudian diikutkan dalam Program Elite dan Akademi JFA. Di akademi elite ini, para pemain itu kembali diseleksi untuk mengisi timnas Jepang U-15, U-16, U-17, U-18, U-19, dan U-21.
Pada era 1980-an, kartun Captain Tsubasa ikut berperan dalam mempopulerkan olahraga sepak bola di kalangan anak-anak Jepang. Maklum, pada saat itu sepak bola masih kalah tenar dengan olahraga nomor satu di Jepang, yakni bisbol.
Tontonan skill 'gokil' dan aksi-aksi heroik Tsubasa Oozora memicu demam sepak bola di Jepang. Sepak bola menjadi permainan favorit banyak bocah dan tidak sedikit yang kemudian memilih menjadi pemain profesional. Di antara anak-anak itu ada yang kemudian menjadi bintang tim Samurai Biru. Atas jasanya, Tsubasa menjadi ikon dan monumen sang kapten didirikan di beberapa kota di Jepang.
Pembentukan liga profesional Jepang, J-League pada 1992 dan berhasil lolosnya Jepang ke Piala Dunia 1998 untuk kali pertama juga menjadi loncatan besar popularitas sepak bola di Jepang. Sejak saat itu, sepak bola mulai dimainkan di sekolah dasar dan sekolah menengah. Setiap anak yang telah berusia 10 tahun dan memiliki minat terhadap sepak bola, boleh memilih klub untuk ikut berlatih dan bertanding di kompetisi usia muda.
Pada 2005, JFA menginisiasi ikrar demi Jepang menjadi juara Piala Dunia pada masa depan. Ikrar itu berbunyi, “The JFA Pledge for 2050”. Pada 2050, JFA lewat berbagai programnya, menargetkan Jepang menjadi tuan rumah dan juara Piala Dunia.
Seusai timnya takluk dari Jepang U-19, pelatih Indra Sjafri menilai, kepengurusan PSSI saat ini lebih mendingan dalam hal upaya pembinaan di level usia muda. Namun, Indra menekankan perlunya komitmen keberlangsungan kompetisi dan evaluasi berulang terhadap program yang sudah dijalankan.
Di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi, PSSI mulai menggelar Liga 1 U-16, yang pertama sejak PSSI berdiri ada kompetisi untuk pemain berusia di bawah 16 tahun. Kemudian, mulai 2017, PSSI menggulirkan lagi Liga U-21 yang kini diganti menjadi Liga U-19 (Persib U-19 menjadi juara). Selain itu, turnamen Piala Soeratin, tidak lagi hanya untuk pemain U-17, tetapi punya kompetisi di tiga kategori umur, yakni U-13, U-15, dan U-17.
Semoga program-program PSSI itu tidak menjadi program mubazir di antara isu semacam 'match fixing', 'liga setting-an', 'rangkap jabatan ketum PSSI', dan isu-isu negatif lainnya. Atau, nasib prestasi sepak bola Indonesia ya masih seperti ini saja nantinya kala Jepang pada 2050 berhasil mewujudkan mimpinya menjadi juara Piala Dunia. Wallahu a'lam.
*penulis adalah jurnalis Republika