Ahad 09 Dec 2018 17:17 WIB

Telur Oh Telur

Telur menjadi ujung tombak pengisi perut dan gizi masyarakat bawah.

Ichsan Emrald Alamsyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emerald Alamsyah*

"Duuuh naik lagi," ujar ibu pedagang warung di gang-gang kecil Kelurahan Kranji, Bekasi. Dengan nada khas daerah Sumatra Utaranya ia mengeluh soal harga telur ayam yang makin meninggi.

Penulis sebagai pembeli pun heran, kok bisa-bisanya pedagang bingung. Sepatutnya pedagang eceran berbahagia ketika telur naik karena pasti menanggok untung banyak.

Ketika penulis mencoba menanyakan hal tersebut, ia malah menjabarkand dengan panjang lebar. Narasinya pun seakan-akan membuka tabir lingkaran setan perdagangan di Indonesia.

"Saya tuh pusing bang kalau harga naik terus, karena jadi bingung mau ngasih harga berapa ke pembeli. Kemarin Rp 26 ribu, eh pagi-pagi jadi Rp 27 ribu, mau bilang apa sama pembeli. Bukan masalah untung rugi, kalo harga naik nanti banyak yang nggak jadi beli, yang rugi siapa, saya lah sebage yang dagang."

Sepanjang 2018, sudah beberapa kali harga telur mengalami kenaikan. Tercatat sejak November harga sempat naik meski stabil. Kenaikan harga telur paling fenomenal terjadi ketika gelaran Piala Dunia Juli lalu.

Bayangkan ketika itu, Kementerian Perdagangan menyebut Piala Dunia menjadi salah satu penyebab harga telur melambung tinggi. Alasannya kebiasaan makan nasi goreng dan mie instan menjadi meningkat akibat orang begadang menonton 'bola'.

Jawaban ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat yang lebih banyak mencibir atau geleng-geleng kepala. Hanya saja bagi penulis jawaban ini mungkin ada benarnya.

Ada benarnya bukan berarti penulis setuju bahwa harga telur di pasaran naik karena orang berbondong-bondong mengonsumsi mie dan telur. Akan tetapi bagi masyarakat kelas menengah bawah atau berpenghasilan rendah (MBR) tidak ada menu lain yang bisa diandalkan sebagai pendamping mie atau nasi selain telur.

Sehingga tak salah telur adalah ujung tombak pelengkap makanan dan protein bagi si miskin. Itu pun bila melihat perbandingan dengan negara lain, tetangga sajalah tak perlu jauh-jauh, konsumsi telur di Indonesia masih rendah.

Vice Presidenty Feed Tech PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) Tbk Desianto B Utomo MSc PhD menyebut konsumsi telur di Indonesia baru sekitar 125 butir per kapita per tahun. Sementara Malaysia mencapai 340 butir per kapita per tahun.

Meski nggak ada setengahnya dibandingkan Malaysia, coba bayangkan ketika tidak ada ayam atau daging di rumah, maka mau tak mau, kita akan mencari telur sebagai tambahan konsumsi nasi dan sayur-mayur. Lalu bayangkan bagaimana jadinya jika harga telur terus merangkak naik?

Soal harga naik saat ini, Kementerian Perdagangan memiliki jawaban. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan, kenaikan harga telur ayam disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya yakni kenaikan harga pakan ternak yang berujung pada kenaikan harga jual.

"Terjadi kenaikan harga pakan yang diakibatkan oleh kenaikan harga jagung yang sebelumnya Rp 4.600 sampai Rp 4.800 per kilogram naik menjadi Rp 5.800 sampai Rp 6.000 per kilogram," kata Tjahya pekan lalu. Sebagai informasi, pakan ternak memiliki kontribusi sekitar 70 persen terhadap biaya produksi. Sementara, 50 persen dari harga pakan  disumbang oleh jagung.

Meski begitu, dia mengatakan, pada periode September hingga Oktober 2018 sempat terjadi penurunan permintaan hingga menyebabkan kerugian pada peternak. Harga telur di tingkat peternak pada beberapa daerah sempat berada di bawah Rp 18 ribu per kilogram atau berada di bawah harga batas acuan.

Fakta lain diungkap Presiden Peternak Layer Ki Musbar Mesdi. Ia mengatakan, kenaikan harga telur ayam di tingkat konsumen menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) itu wajar. Namun seharusnya tidak terlalu tinggi karena harga di farm gate masih wajar.

Menurut Ki Musbar, tren kenaikan harga pangan termasuk telur ayam memang selalu terjadi setiap menyambut Hari Raya Natal dan Tahun Baru, biasanya sekitar 10 persen yang disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan.

Namun ia menyebut seakan-akan harga (Farm Gate) di tingkat peternak meningkat. "Padahal dalam fakta yang sebenarnya mereka menekan peternak dengan harga serendah-rendahnya, dengan cara membatalkan order rutin yang biasa sudah disepakati bersama peternak,” kata  Ki Musbar.

Ki Musbar menekankan, berdasarkan fakta harga Farm Gate pada Sabtu (8/12) sudah mulai terkoreksi Rp 1.000 per kg, yaitu di kisaran Rp 21 ribu – 22 ribu per kg. "Herannya harga di tingkat konsumen malah tetap manteng dan cenderung naik di level Rp 26 ribu - Rp 28 ribu per kg,” ujarnya.

Ki Musbar, modus praktek seperti ini pernah terjadi pada Juli 2018. Harga di tingkat konsumen Rp 28 ribu – 30 ribu per kg, padahal harga di Farm Gate di level Rp 20 ribu - Rp 22 ribu per kg.

Dengan melihat kondisi ini, Ki Musbar meminta kepada seluruh pemangku kepentingan pembisnis telur konsumsi, mulai dari peternak sampai dengan ke pedagang untuk menjaga kerjasama yang sudah terjalin baik selama ini.

"Kita jaga bersama stabilitas harga telur di tingkat konsumen, kalaupun mengambil untung ya yang sewajarnya saja sesuai dengan harga acuan yang sudah ditetapkan Pemerintah, yaitu Permendag Nomor 96 Tahun 2018,” pungkasnya.

Melihat kondisi ini pemerintah memang harus turun tangan segera membenahi meningkatnya harga telur. Impor menjadi cara terbaik menahan melonjak harga pakan ternak yang terbuat dari jagung ini.

Sementara di lapangan, mereka yang 'nakal' baik oknum peternak dan pedagang harus ditindak. Tentu saja tindakan ini perlu agar tidak terjadi kegaduhan di publik.

Apalagi saat ini soal harga telur yang naik ini sudah masuk dalam ranah politik. Soal telur jadi peluru bagi kubu oposisi untuk memberondong kubu pejawat Presiden Joko Widodo.

Padahal kita tak boleh lupa, harga pangan sebenarnya cukup stabil semenjak 2017 hingga 2018. Bahkan di kala menjelang Idul Fitri dan mudik Lebaran.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement