REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Teguh Firmansyah*
Sudah lebih dari dua bulan, kasus pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, belum jelas arahnya. Kasus itu seolah dibiarkan menguap. Saudi yang mengaku telah mehanan para tersangka belum secara transparan membuka kasus tersebut ke publik. Pernyataan resmi terakhir Saudi terkait perkembangan kasus tersebut adalah pada pertengahan November lalu. Saat itu Jaksa Saudi akan mendakwa 11 tersangka, lima di antaranya dengan hukuman mati.
Setelah itu, pernyataan-pernyataan lebih bersifat normatif dan defensif dengan penyangkalan keterlibatan putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) dalam pembunuhan itu. Salah satu pertanyaan utama yang tak kunjung terjawab adalah siapa dalang di balik pembunuhan tersebut? Namun pertanyaan ini sepertinya bakal sulit diungkap.
Karena masalahnya, Saudi menganggap pembunuhan ini adalah ulah 'oknum nakal' yang tak mengikuti prosedur. Seorang pejabat kejaksaan Saudi pernah menyebut, orang yang memerintahkan pembunuhan Khashoggi adalah ketua dari tim negosiasi yang dikirim Wakil Kepala Intelijen Saudi Jenderal Ahmed al-Assiri ke Istanbul, Turki. Khashoggi yang kerap mengkritik Kerajaan Saudi dan Pangeran MBS dibunuh karena tak mau di ajak pulang ke negara asalnya.
Berbeda dengan Turki yang meyakini bahwa ini merupakan pembunuhan berencana. Logika Turki sederhana. Tak mungkin jika 15 orang Saudi yang datang untuk Khashoggi tidak ada yang menggerakkan. Apalagi di antara mereka datang dengan pesawat pribadi dan di antaranya ada ahli forensik. Bukti rekamnan ikut menguatkan dugaan pembunuhan terorganisir itu.
Salah seorang pelaku diyakini menghubungi 'bos' di Saudi dan menyatakan misi telah berhasil. CNN mengutip sumber yang mendengar rekaman tersebut mengungkap ucapan terakhir Khashoggi sebelum tewas. "Saya tak bisa napas," kata Khashoggi sebanyak tiga kali.
Keyakinan Turki senada dengan pemikiran sejumlah anggota Kongres termasuk dari partai Republik yang meyakini ada dalang utama di balik pembunuhan tersebut.
Senator Marco Rubio dari Partai Republik, tempat Donald Trump bernaung, secara tegas yakin Pangeran MBS tahu akan pembunuhan tersebut. Badan Intelijen AS (CIA) dalam kesimpulannya seperti dilansir the Guardian juga meyakini Pangeran MBS terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Tapi kesimpulan CIA ini tampaknya tak diyakini Presiden Donald Trump yang mengaku tak melihat ada bukti langsung Pangeran MBS terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Sikap Trump 'lembek' dalam kasus pembununuh Khashoggi dapat diprediksi. Trump 'tersandera' oleh kontrak pembelian senjata oleh Saudi yang totalnya mencapai 110 miliar dolar AS selama 10 tahun ke depan. Saudi juga berencana untuk berinvestasi hingga 450 miliar dolar AS.
Trump tak mau kontrak itu batal karena dianggapnya bisa memukul perekonomian AS. Selain itu, kalau kontrak ini gagal, maka yang paling diuntungkan adalah Rusia dan Cina, dua negara seteru Paman Sam. Hal lain yang perlu dilihat mengapa Trump seperti tak tegas adalah peran Jared Kusher. Ia adalah penasehat yang juga menantu sang presiden.
New York Times baru-baru ini melaporkan hubungan intensif Kusher dan Pangeran MBS. Kusher disebut memberi saran kepada MBS soal bagaimana menghadapi tekanan yang sedang dihadapinya.
Kusher yang memiliki hubungan personal dengan Pangeran MBS juga berperan penting atas keputusan Trump mengunjungi Saudi pada 2017 lalu. Trump memutuskan Saudi sebagai negara pertama yang dikunjunginya setelah terpilih sebagai presiden AS.
Di sisi lain, Pangeran MBS mencoba bersikap tenang. Ia tak membatalkan kegiatan internasionalnya. Ia tetap hadir dalam konferensi ekonomi di Riyadh. MBS yang disalahkan atas perannnya dalam Perang Yaman juga mengunjungi negara-negara tetangga seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir dan Tunisia
Baru-baru ini MBS tetap hadir dalam pertemuan KTT G20 di Argentia. Ia menggelar pertemuan bilateral dengan sejumlah pemimpin negara, seperti Presiden Prancis Macron. Ia menjawab sejumlah pertanyaan sensitif, termasuk soal Khashoggi.
Isu bahwa ia akan dilengserkan atau diganti tak membuatnya lemah. Ia justru bertahan dan seakan meyakinkan ke dunia internasional bahwa dirinya tak bersalah.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id