REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*
"Abang kaki dua pacarnya satu? Aku aja kaki satu pacarnya dua!"
Bit yang disampaikan Anggi Wahyuda, pria asal Kota Binjai, Sumatra Utara, ini memancing tawa para penonton dan juri sebuah ajang kompetisi pencarian bakat komika di salah satu tv swasta nasional.
Anggi adalah komedian tunggal difabel. Ia kehilangan kaki kanan akibat kecelakaan motor. Anggi sempat depresi selama dua tahun sebelum akhirnya bangkit dan kini mampu menghibur banyak orang. Ia mengaku terinspirasi dari komika difabel lainnya yang tetap dapat menjalani hidup dengan tenang walaupun hanya bisa duduk di kursi roda.
Anggi sudah menerima garis tangan kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Sekarang, ia malah piawai membuat lelucoan dari bentuk tubuhnya dan mampu membuat orang lain tertawa atas humor yang ia sampaikan, bukan menertawakan kondisi fisiknya yang tak normal.
Dalam joke yang lain, Anggi mengaku menyenangi banyak olahraga, salah satunya futsal. "Aku mau nantang Bang David (salah satu juri) main futsal sama aku. Tapi kita nggak main cetak gol ya Bang, kita main kolong-kolongan," kata Anggi yang disambut tawa pecah oleh penonton.
Kolong-kolongan atau nutmeg adalah gerakan meloloskan bola dari kedua kaki lawan yang lazim dilakukan pesepak bola. Hal yang mustahil dilakukan kepada Anggi yang hanya punya satu kaki.
Insipirasi dari para difabel
Seperti candaan Anggi, menyandingkan olahraga dengan para difabel masih sulit dibayangkan banyak orang. Tapi, sepekan ke belakang, mata banyak rakyat Indonesia sudah terbuka lebar. Kita menyaksikan sosok-sosok seperti Anggi yang berjibaku di gelanggang olahraga Asian Para Games (APG) 2018.
Mereka yang menderita kekurangan fisik, baik bawaan lahir maupun kecelakaan, namun punya kekuatan mental luar biasa untuk menjalani hidup senormal mungkin sekaligus menebar inspirasi. Ada juga yang kecerdasannya di bawah rata-rata, tapi berbuat sesuatu yang bahkan kebanyakan orang dengan IQ normal pun sulit melakukannya: mengharumkan nama bangsa.
Dua para atlet putri asal Riau yang punya nilai IQ di bawah rata-rata, Suparni Yati dan Syuci Indriani, melakukan itu di APG 2018 yang ditutup secara resmi oleh Wapres Jusuf Kalla pada Sabtu (13/10) di Jakarta. Suparni menyumbang emas dari tolak peluru, sementara Syuci berjaya dengan dua emas dari kolam renang. Keduanya kini mengantongi uang miliaran dari pemerintah buah prestasi mereka.
Menpora Imam Nahrawi mengungkapkan Suparni selalu tak bisa menyebutkan nama lengkapnya dengan benar. "Imam Nahwari," begitu Menpora menirukan Suparni dalam memanggil namanya, tanpa bermaksud merendahkannya. Pria asal Madura itu justru mengaku sangat bangga sosok yang memiliki kekurangan seperti Suparni mampu menghadirkan prestasi untuk Indonesia pada ajang pesta olahraga difabel se-Asia ini.
Untuk para atlet yang mirip Anggi di dunia komedi, kita bisa menengok ke Muhammad Fadli Imamuddin. Fadli sebelumnya menekuni balap motor. Ia terakhir menjadi juara Asia Road Racing Championship (ARRC) 2015 race 2 kelas 600cc supersport di Sirkuit Sentul, Jawa Barat pada 7 Juni 2015 itu. Tapi hari itulah dia mengalami kecelakaan parah setelah ditabrak oleh pembalap Thailand Jakkrit Sawangswat seusai merayakan kemenangan. Kaki kirinya diamputasi.
Fadli mengaku sempat depresi. Tapi anaknya yang masih kecil menjadi motivasi. Ia mulai berlatih fisik mengembalikan kebugaran. Setelah pensiun sebagai pembalap motor dan hanya menjadi isntruktur, Fadli alih kemudi menjadi pembalap sepeda. Ia tampil mewakili Indonesia pada Kejuaraan Para-Cycling Asia 2017 di Bahrain, 24 Februari hingga 3 Maret 2017. Di APG lalu, ia menyumbang satu perak dan satu emas dari belakang kemudi sepeda. Kayuhan satu kaki palsunya cukup kuat untuk mengatasi pembalap unggulan.
Mereka yang tak mendapatkan medali juga tak bisa diabaikan begitu saja. Perjuangan para atlet difabel ini layak diacungi jempol walau mereka mungkin tak jadi yang terbaik atau tercepat di arena. Para penonton yang menyaksikan pertandingan basket kursi roda paham ini. Ada kekaguman yang muncul menyaksikan semangat para atlet yang kehilangan sebagian atau kedua kaki jatuh bangun dari kursi roda untuk mengejar bola dan terus bertarung walau telah tertinggal jauh. Kursi roda yang terjungkal saat berebut bola jadi sesuatu yang biasa buat mereka.
Fasilitas untuk para difabel
Bagi saya pribadi, penyelenggaraan APG kemarin membuka mata tentang eksistensi dan energi besar saudara-saudara kita penyandang disabilitas. Mereka mengingatkan saya bahwa kekurangan fisik ataupun kecerdasan bukan halangan untuk menjalani hidup senormal mungkin. Sebab, mereka bahkan bisa berbuat lebih dibandingkan orang-orang kebanyakan.
Pengajar dan peneliti di Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah pada 2016 menyebutkan estimasi difabel di Indonesia sekitar 12,5 persen dari jumlah penduduk. Jika penduduk Indonesia sebanyak 260 juta jiwa, ada sekitar 32,5 juta difabel yang perlu diakomodasi dan diakui eksistensinya. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dakhiri pada 2017 menyebutkan angkanya 21 juta jiwa.
Pemerintah punya tanggung jawab untuk memberikan fasilitas dan memenuhi hak asasi mereka sebagai manusia. Sebab, mayoritas mereka sebenarnya tak butuh dikasihani. Mereka hanya memerlukan aksesibilitas sebesar-besarnya dari pemerintah untuk menjalani hidup dengan normal.
Sementara kita yang normal fisik dan kecerdasan dapat memberikan mereka hormat dan penerimaan yang wajar, bukan pandangan sebelah mata atau rasa iba. Ingatlah bahwa dari sudut pandang berbeda, justru kita yang agaknya pantas dikasihani karena tak setangguh mereka yang tetap tegar menjalani hidup dalam segala keterbatasan.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id