REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*
Komisi Pemberantasan Korupsi mencatatkan rekor baru pada tahun Sayangnya, rekor tersebut tidak membuat kita bangga, sebaliknya rekor yang dicatatkan KPK membuat prihatin. Bagaimana tidak, KPK mencatatkan rekor melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terbanyak sejak lembaga itu dibentuk pada 2002 silam.
Sedikit bangga bercampur banyak mirisnya, mungkin itu yang dirasakan saat melihat laporan kinerja KPK sepanjang tahun 2018. Karena KPK mampu memanfaatkan anggaran yang diberikan oleh negara dengan baik. Tercatat penyerapan anggaran KPK pada tahun 2018 mencapai Rp744,7 miliar atau sekitar 87,2 persen dari APBN. Namun, juga miris saat melihat semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK.
Yang paling membuat takjub adalah pada tahun 2018, KPK melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 29 kali (termasuk OTT pejabat Kemenpora). Jika dibagi, sama artinya dalam satu bulan, KPK melakukan OTT sebanyak dua hingga tiga kali. Pihak yang terjerat pun beragam, mulai dari anggota DPR RI, DPRD, kepala negara, hingga aparatur
penegak hukum. Meski yang tercatat paling banyak adalah kepala daerah.
Dari maraknya kepala daerah yang terjerat OTT, menarik dicermati bahwa seperti ada pergeseran fokus penangakan kasus korupsi di KPK. Jika pada era kepemimpinan sebelumnya KPK lebih mengincar penegak hukum dan politikus. Kini nampaknya KPK lebih memburu kepala daerah. Hal itu bisa dilihat, bukan hanya kepala daerah yang memimpin wilayah besar dan dekat dengan Jakarta, sebagai pusat pemerintahan saja yang terjerat OTT. Pada tahun ini, kepala dari wilayah barat Indonesia hingga timur, tak luput dari incaran KPK, dari 29 kali OTT, 21 di antaranya adalah kepala daerah.
Lalu apa penyebab makin maraknya kepala daerah terjerat OTT KPK?
Yang pertama mungkin belum berjalan sempurnanya reformasi birokrasi di seluruh wilayah Indonesia. Seharusnya, jika reformasi birokrasi sudah berjalan dengan baik, maka korupsi tidak akan marak, terlebih hingga menyeret pemimpin daerah. Hal lainnya adalah terkait sistem otonomi daerah. Seharusnya, prinsis desentralisasi yang diterapkan
pascareformasi, bisa membuat daerah-daerah berkembang dan tidak kalah bersaing dengan pusat. Namun, nampaknya desentralisasi tidak diiringi oleh manajemen pengawasan yang baik. Akibatnya, desentralisasi bukan membuat masyarakat semakin makmur, justru seolah menyuburkan 'raja-raja kecil' yang bisa mengeruk dan menghisap uang rakyat di daerah.
Lemahnya pengawasan, membuat kepala daerah semakin berani 'bermain-main' dengan jabatannya. Lihat saja kasus Bupati Bekasi yang terjerat kasus suap perizinan proyek Meikarta. Padahal, letak bekasi sangat dekat dengan pemerintah pusat dan proyek meikarta sejak digaungkan pertama kali sudah menjadi sorotan masyarakat. Namun,
karena pengawasan yang kurang, kepala daerah disana berani 'bermain-main'.
Dan penyebab yang paling banyak disebut-sebut setiap kali ada kepala daerah yang terkena OTT adalah mahalnya ongkos politik. Hal ini menjadi realitas sistem politik Indonesia saat ini, sejak pemilihan umum kepala daerah berubah dari sistem tidak langsung menjadi langsung. Mendagri pernah menyebut jika biaya seseorang untuk menjadi anggota caleg bisa mencapai 43 miliar rupiah, jadi bisa dibayangkan berapa biaya yang dikeluarkan jika seseorang ingin menjadi kepala daerah?.
Hal ini tentu menjadi pengoda paling besar bagi seseorang kepala daerah untuk mencuri uang rakyatnya. Sebab, mereka dihadapkan pada kondisi biaya politik yang mahal dan traksasional saat proses pilkada. Sehingga begitu terpilih, banyak dari mereka yang ingin 'balik modal' melalui korupsi, suap atau gratifikasi. Ada pendapat jika sebaiknya pemilihan kepala daerah dikembalikan ke sistem tidak langsung. Namun menurut saya, hal ini bukan solusi.
Sebab, selain mengambil hak rakyat untuk memilih sendiri pemimpinnya, hal ini juga tidak menjamin bersih dari korupsi. Bukan tidak mungkin, seseorang melakukan 'deal-deal' politik dengan parpol yang akan mendukungnya. Akibatnya, begitu terpilih mereka bisa hanya memikirkan bagaimana memperkaya parpol dan kelompok pendukung dibanding meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, ada juga usul jika sebaiknya biaya politik semaksimal mungkin ditanggung APBN. Usul ini sangat menarik, dalam arti dengan begitu setiap orang bisa maju sebagai kepala daerah. Namun, menurut saya juga kurang tepat jika dilihat dari aspek keadilan. Mengapa? seperti kita tahu di banyak daerah dinasti politik masih cukup kuat. Peluang kemenangan calon-calon dari dinasti politik tertentu pun akan lebih kuat dibanding calon lain atau bahasa anak zaman now newbie. Jika biaya politik ditangung APBN, maka tentu saja mereka bisa 'menang banyak'. Padahal, peluang terjadinya korupsi tetap tidak terjamin tertutup sama sekali.
Menghadapi semakin kronisnya penyakit korupsi, khususnya di tingkat kepala daerah, maka yang terpenting adalah perketat pengawasan. Seluruh pihak, utamanya masyarakat harus benar-benar mengawasi sepak terjang kepala daerah dan birokrasi pemeritahan daerahnya. Sejak hari pertama memimpin, segera tuntut dilakukannya transparansi di segala bidang. Sehingga masyarakat bisa tahu jika ada sedikit saja
penyimpangan.
Untuk mengatasi penyakit kronis, dibutuhkan obat yang paten. Jika saat ini korupsi masih merajalela, mungkin hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku masih ringan, atau sekelas obat generik saja. Hasilnya, terlihat masih banyak yang tidak takut untuk melawan hukum. Untuk itu, perberat hukuman bagi para pelaku korupsi. Memang tidak perlu sampai hukuman mati. Tetapi boleh dicoba hukuman bagi para koruptor khususnya yang berasal dari pejabat, kepala daerah, birokrat dan anggota DPR/DPRD dengan penjara seumur hidup. Hal lain yang perlu dilakukan selain pencabutan hak politik juga memiskinkan para koruptor.
Mungkin akan ada pendapat jika hukuma tersebut dilakukan akan melanggar hak asasi manusia. Namun sudah saatnya kita berpikir jika korupsi juga kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Kita tentu tidak ingin melihat anak-anak kita tidak mendapatkan pendidikan yang baik hanya karena anggaran pendidikan dicuri oleh segelintir orang. Atau melihat alam dan lingkungan hidup rusak, karena izin-izin proyek pembangunan dipermainkan demi mengisi kantong segelintir orang.
Terakhir, tentu saja sebagai lembaga KPK mungkin tidak sempurna. Untuk itu, kita perlu juga mendukung dan mengkritisi lembaga itu, dengan semangat agar pemberantasan korupsi semakin baik bukan malah melemah.
*) Penulis adalah Wartawan Republika