REPUBLIKA.CO.ID,oleh Andri Saubani*
Saya tengah bersiap berangkat ke kantor saat mengetahui kabar adanya peristiwa bencana di Anyer pada Sabtu (22/12) malam. Malam itu adalah jadwal giliran saya piket. Salah satu rekan kerja saya yang juga adalah redaktur di Republika memberi kabar lewat grup WA bahwa dirinya bersama keluarga sedang berada di Anyer saat air laut menerjang pantai dan terus melaju kemudian menghantam hotel tempat dia menginap.
Sesampainya di kantor, dua reporter yang menemani saya piket malam itu segera mencari informasi soal apa yang telah terjadi di Anyer. Di media sosial seperti Twitter, riuh-rendah spekulasi menyebut bahwa telah terjadi tsunami. Namun, Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) lewat akun resminya @infoBMKG menyatakan, tidak mencatat terjadinya gempa yang bisa menyebabkan tsunami.
Menurut BMKG, apa yang dialami teman saya di Anyer adalah fenomena gelombang tinggi. Saya sempat menengok ke luar jendela kantor dan melihat terangnya langit bertabur bintang dengan bulan bulat utuh menjadi pusat sinar memancar. Bulan purnama memicu pasang air laut.
Saat saya ingin menyunting berita bahwa tak ada tsunami di Anyer, BMKG menghapus cicitannya di Twitter. Salah seorang reporter memberi tahu, dia mendapatkan pesan undangan konferensi pers BMKG. Pada pesan itu tertulis jadwal konferensi pers Ahad (23/12) pukul 00.30 WIB dan saya pun menugaskannya untuk berangkat menuju kantor BMKG di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan pers di kantornya menyatakan, bahwa gelombang tinggi yang terjadi di Anyer adalah tsunami. Akun @infoBMKG pun kemudian memperbarui informasinya dan menambahkan bahwa tsunami yang menghantam Anyer diduga disebabkan oleh aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau. Tsunami tanpa didahului peringatan dini.
Bisa dibilang, BMKG sebagai leading sector terkait sistem peringatan dini bencana sudah dua kali 'offside' belakangan ini. Yang pertama adalah pada 28 September lalu ketika BMKG mengakhiri peringatan dini, namun tak lama kemudian tsunami kemudian sampai di pesisir Palu, Sulawesi Tengah. Kali ini lebih mengerikan, tsunami datang menerjang pesisir yang bersinggungan dengan Selat Sunda tanpa ada peringatan.
Di medsos, BMKG dikecam. Netizen yang terkenal kejam mencaci-maki akun @infoBMKG yang memiliki lebih dari tiga juta pengikut dan menjadi andalan dalam hal informasi kebencanaan terkini. Awak media seperti saya pun sempat dibuat bingung dalam memberitakan, lantaran telah memberitakan tidak ada tsunami di Selat Sunda sebelum BMKG meralat pernyataan.
Dwikorita mengakui, BMKG tidak memiliki alat deteksi tsunami yang disebabkan oleh erupsi vulkanis gunung api. Selama ini, BMKG hanya bisa melacak tanda-tanda kegempaan yang berpotensi memicu tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas seismik atau tektonik akibat pergesaran lempeng bawah laut. Yang terjadi di Selat Sunda, kata Dwikorita, adalah tsunami yang dipicu oleh longsoran dari reruntuhan (deformasi) lereng Gunung Anak Krakatau.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui beberapa penelitinya juga mengakui, bahwa tsunami Selat Sunda adalah fenomena baru di Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga satu suara dengan menyebut flank failure atau kolapsnya sebagian sisi Gunung Anak Krakatau sebagai penyebab tsunami.
Celakanya, Gunung Anak Krakatau saat ini berada dalam level waspada atau sedang aktif erupsi. Deformasi gunung yang induknya pernah meletus dahsyat pada 1883 itu bisa kembali terjadi kapan pun dan memicu tsunami kapan pun juga tanpa terdekteksi oleh BMKG.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat kunjungannya ke lokasi bencana di Pandeglang, Banten, pada Senin (24/12) menginstruksikan BMKG untuk segera membeli alat-alat sistem deteksi dini tsunami. Berbicara sistem pencegahan dini bencana, instruksi Presiden itu berarti perlunya anggaran yang sangat besar. Anggaran tidak hanya untuk membeli tapi juga merawat sistem deteksi dini tsunami.
Kepala Pusat data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho pada Oktober lalu atau sebulan setelah bencana tsunami Palu, Sigi, dan Donggala pernah mengungkapkan fakta bahwa, buoy-buoy yang dimiliki Indonesia sudah rusak sejak 2012. Adapun, BPPT menyebut Indonesia sudah tidak lagi memiliki buoy sejak 2015.
Buoy adalah sistem pelampung yang diletakkan di tengah laut untuk mendeteksi gelombang pasang dan tsunami. Buoy masuk ke dalam grand design Indonesia Tsunami Early Warning System yang dirancang sejak tsunami Aceh pada 2004 silam. Sebanyak 22 buoy dipasang di samudra lepas dari Samudra Hindia sampai Sumatra, Selatan Jawa dan seterusnya, namun kini telah tiada.
Banyak buoy hilang atau rusak akibat ulah manusia yang bisa jadi nasibnya menjadi korban tsunami itu sendiri. Ada yang diambil, tertarik jangkar, diseret dengan kapal ada juga yang dikanibal alias dibongkar-bongkar oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Oleh karena itu, tidak hanya mahal harganya, perawatan dan pengawasan buoy juga menjadi masalah besar lainnya.
BPPT sebenarnya tengah mengembangkan alat pendeteksi tsunami yang dinamakan cable based tsunamimeter (CBT). Pengembangan ini dilakukan BPPT mengingat biaya perawatan buoy yang mencapai Rp 150 juta per hari. CBT telah sukses dikembangkan di beberapa negara seperti Kanada, Jepang, Oman, dan Amerika Serikat.
Menurut Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT, Hammam Riza pada Oktober lalu, CBT masih dalam tahap pembuatan proposal untuk pemasangan sensor deteksi dini gempa dan tsunami berbasis kabel bawah laut. Teknologi ini sebelumnya pernah dikembangkan menjadi purwarupa oleh BPPT dan berfungsi baik, meskipun hanya dalam jarak 2 kilometer dari bibir pantai.
Alat canggih deteksi dini tsunami apa pun yang dipilih oleh BMKG nantinya semoga adalah yang terbaik dan tepat guna. Fenomena tsunami Selat Sunda harus menyadarkan para pemangku kepentingan arti penting teknologi yang mampu mengurangi dampak tragis kebencanaan. Sebagai negara yang rawan bencana alam harus diakui, saat ini kita masih melulu disibukkan dengan upaya penanganan pascabencana, sementara minim antisipasi prabencana.
*penulis adalah Redaktur Republika.