REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nasrullah
Entah apa yang ada di benak dan nurani sebagian dari saudara kita yang mengatakan segenap bencana alam yang menimpa bumi pertiwi beberapa bulan terakhir, mulai dari gempa Lombok Nusa Tenggara Barat, tsunami dan Palu Sulawesi Tengah, dan yang terbaru tsunami Selat Sunda, adalah akibat kezaliman rezim penguasa, Presiden Joko Widodo dalam hal ini, dan akibat pilihan politik seseorang, dalam konteks ini, yang saya maksud adalah mantan gubernur NTB TGB Zainul Majid.
Seakan membuang rasa empati terhadap korban, mereka mencari legitimasi klaim dengan rententan dalil Alquran dan hadis. Di antara teks Alquran yang kerap mereka kutip adalah surah al-Isra’ ayat ke-16 yang berbunyi: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” Padahal jika ditelusuri, pembacaan teks tidak sesederhana kebencian dan ketidaksukaan mereka terhadap sosok Jokowi ataupun TGB.
Belum lagi dipandang dari segi etika dan dan afeksi, di tengah suasana duka dan keprihatinan yang tengah melanda, tentu sangat tidak etis melancarkan aneka tuduhan dan prasangka miring. Bukannya malah berpikir bagaimana membantu dan berempati terhadap korban, kita justru sibuk mencari kambing hitam, yang besar kemungkinan masuk dalam ranah fitnah dan ghibah. Bukankah kita sama-sama paham bahaya dan risiko kedua maksiat itu? Atau jangan-jangan hati kita sudah ternoktah, sehingga mata hati kita tak lagi mampu membaca dan menangkap dengan baik nasehat agung Rasulullah?
Mencari legitimasi bencana akibat ‘kezaliman’ Jokowi dan pilihan politik TGB berbekal satu ayat: surah al-Isra’ ayat ke-16 bukan hanya mencederai akal pikiran, melainkan sebuah bentuk ‘pemerkosaan’ terhadap teks yang sakral. Simplifikasi ayat terhadap satu kasus, Jokowi dan TGB, adalah sebuah penyerdahanaan yang menabrak kaedah-kaedah tafsir. Demi apa? Ya kebencian dan ketidaksukaan terhadap sesama saudara sebangsa.
Dalam bacaan Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan Grand Syekh al-Azhar, seperti tertuang dalam kitab tafsirnya al-Wasith, mengutip pendapat Abu Hayyan, ayat ini sebagai penegasan tentang pentingnya memeluk hidayah, setelah Allah SWT mengutus seorang rasul kepada suatu kaum. Korelasi (munasabah) ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya menguatkan hal tersebut.
Ayat ke-15 surah al-Isra’ menyatakan, ”Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Membacanya dengan kerangka munasabah, ayat ke-15 berbicara Allah menegaskan tidak akan turun azab kepada suatu kaum, sampai Dia mengutus seorang rasul yang menunjukkan jalan yang hak dan batil. Apabila seorang rasul telah diutus, (di sinilah korelasi ayat 15 dan 16) lalu para pembesar dan kaumnya melakukan kefasikan berupa mengingkari risalah, itulah faktor pemicu datangnya azab yang meluluhlantahkan peradaban. Allah tidak main-main dengan janji-Nya dengan bukti hancurnya peradaban kaum yang datang setelah Nabi Nuh AS, sebagaimana dijelaskan dalam ayat ke-17, masih di surah yang sama. “Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”
Di sinilah letak korelasi ketiga ayat tersebut dalam kerangka tafsir, bukan berangkat dari pembacaan sporadis dan parsial, berbekal terjemahan Alquran bahasa Indonesia. Dalam konteks ini, tak heran jika sebagaian ulama berpendapat ayat ini hanya berlaku secara khusus, bagi umat-umat terdahulu. Sehingga membaca gempa, tsunami, bukanlah bentuk ‘siksa’ terhadap umat Muhammad SAW.
Seorang ulama Mesir, Syekh Abd Shabur as-Syahin, bahkan membaca kejadian-kejadian alam yang terjadi akhir-akhir ini tak lebih dari sekadar fenomena alam biasa. Akal manusia tak akan mampu menangkap maksud mengapa Allah mendatangkan gempa dan tsunami di negara-negara berpenduduk Muslim, di saat yang sama, negara-negara yang tak memeluk Islam, aman-aman saja dari terpaan bencana.
Menurut pembacaan Syekh Syahin, beragam azab mulai dari angin topan, gempa bumi, banjir bandang, hujan batu, dan lain sebagainya, yang menimpa kaum Tsamud, ‘Ad, Syua’ib, Luth, terjadi dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas. Azab tersebut turun akibat maksiat berupa pengingkaran mereka atas risalah tauhid, pada awal peradaban Islam mengemuka.
Tentu tak aple to aple membandingkan peradaban masa lalu dan masa kini yang sudah dihuni miliaran Muslim dengan azab berupa fenomena alam. Meminjam istilah ushul fiqh, komparasi bencana di dua peradaban yang berbeda tersebut dengan ragam anasirnya adalah qiyas ma’ al fariq, sebuah analogi yang cacat!
Di satu sisi, taruhlah seandainya kita berkeyakinan jika tiada satu apapun di dunia ini tanpa ada hikmah dan pesan ilahiyah, termasuk datangnya bencana yang bertubi-tubi adalah sebab kemaksiatan dan kesalahan, tentunya bencana-bencana yang ada adalah buah kolektif bersama, akibat dosa yang kita perbuat bersama, bukan ulah satu orang saja, baik Jokowi atau TGB.
Dalam tafsirnya, Adhwa’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran Syekh as-Syanqithi, justru secara tegas menyebutkan, makna kata muthraf (para pembesar, elite) dalam ayat ke-16 surah itu sejatinya kesalahan tak hanya bertumpu pada elite, tetapi juga mencakup keseluruhan kaum yang kerap bermaksiat. Mengapa hanya elite yang disebutkan dalam ayat tersebut, karena biasanya dalam konteks sejarah peradaban masa lalu, akar rumput akan mengikuti para elitenya dalam hal bermaksiat, karenanya cukup disebutkan muthraf. Dalam sebuah hadis sahih, riwayat Zainab binti Jahsy, Rasulullah pernah ditanya sahabat apakah segenap umat yang salih akan terimbas kebinasaan akibat Ya’juj dan Ma’juj? Rasul menjawab, ”Ya jika kemaksiatan merajalela.”
Menurut Syekh Zahglul an-Najjar, dalam konteks masa sekarang, sebagai pembacaan atas pesan sebuah bencana, pada dasarnya bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan topan adalah ‘tentara’ Allah yang diutus sebagai peringatan bagi mereka yang selamat, bagi orang yang salih ia adalah ujian, sementara bagi mereka yang bermaksiat, bencana adalah sebagai sebuah ganjaran.
Dengan demikian, masihkah kita akan melimpahkan kesalahan bencana yang melanda negeri ini, kepada Jokowi ataupun TGB? Bukankah justru, kejadian demi kejadian adala sebuah peringatan yang mengajak kita sama-sama duduk dan bersimpuh di hadapan-Nya, untuk kembali membuka catatan perjalanan kita sendiri lalu menyibukkan diri untuk menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Lalu apakah kita berani menanyakan kepada diri kita sendiri dengan pernyataan radikal: jangan-jangan kepicikan dan prasangka buruk kita turut menyumbang datangnya bencana ini? Meminjam ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib, tak satupun sebuah azab, apapun bentuknya, yang datang tanpa sebuah dosa yang kita lakukan bukan karena ulah orang lain, dan azab hanya akan terangkat dengan permintan ampunan yang sungguh-sungguh. Masihkah kita akan menyalahkan Jokowi dan TGB atas bencana di negeri ini?
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id*