REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Mohammad Akbar (@akbar_akb2909)
Redaktur Republika
'Mumpung masih dalam semangat tahun baru, niat membersihkan sepak bola dari para begundal pengatur skor itu harus didukung.'
Sebuah aib olahraga terumbar di pengujung tahun. Tepatnya aib tentang adanya dugaan pengaturan skor dari cabang olahraga sepak bola. Dan, aib itu juga yang sampai kini masih menghiasi pemberitaan pada pembuka tahun 2019. Memalukan!
Tapi, masih adakah rasa malu itu pada diri kita semua? Itulah pertanyaan besar yang kerap hadir secara spontan. Jika kita benar-benar memiliki budaya malu — sebagaimana halnya Jepang atau negara maju di Eropa — tentunya skandal match fixing alias pengaturan skor ini tak perlu lagi terumbar ke ranah publik.
Mengapa? Bukankah skandal itu sudah menjadi aroma busuk yang sempat menjadi dalih ketika PSSI dibekukan oleh pemerintah pada 2015? Lalu, mengapa aroma busuk itu kembali menyeruak di saat negeri ini mulai memasuki periode krusial jelang suksesi Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan dihajat pada 17 April nanti?
Lagi-lagi, pertanyaan besar pun mengemuka; apakah kita sungguh-sungguh ingin memberangus skandal pengaturan skor yang menjadi aib memalukan itu? Ataukah…. Ah, sudahlah! Sebagai pecinta sepak bola, tentunya harapan kita masih sangat besar.
Semoga, gaduh soal pengaturan skor ini bukan hanya bersifat sementara saja. Sebagai olahraga yang paling digemari di negeri ini, kita semua sangat menginginkan hadirnya tontonan pertandingan sepak bola yang bersih dan fair.
Rasanya, kita sudah cukup jengah mendengar gosip jalanan bahwa untuk meraih kemenangan maka tinggal sawer saja duit dari bandar-bandar judi atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengaturan skor tersebut kepada perangkat pertandingan maupun pemain di lapangan.
Lalu, apakah edisi bersih-bersih sepak bola dari para pelaku pengatur skor kali ini sudah dengan niat bulat dilakukan? Rasanya sangat tidak elok untuk menyurutkan ‘niat’ para pihak yang ingin membersihkan sepak bola dari para begundal. Tapi, kami sungguh tak akan sudi jika ‘niat’ mulia itu justru hanya menjadi pepesan kosong sebagaimana drama-drama yang telah berlalu di masa lalu.
Bukankah kita semua ingin jika di suatu hari kelak negeri ini bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia? Tentunya, untuk menjadi tuan rumah pesta sepak bola terakbar di planet bumi ini, ikhtiar membersihkan sepak bola domestik dari perilaku tipu-tipu skor itu menjadi salah satu cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas mutu sepak bola negeri ini.
Inilah yang kita butuhkan sekarang. Mumpung masih dalam semangat tahun baru, tentunya niat membersihkan sepak bola dari para begundal pengatur skor itu harus kita dukung. Tentunya, dukungan publik akan semakin maksimal jika para pihak yang membersihkan melakukannya dengan bersungguh-sungguh, bukan setengah sungguh apalagi demi pencitraan.
Setidaknya, saya percaya, hanya dari olahraga saja semua penduduk negeri ini akan tetap bersatu. Perbedaan pandangan politik yang telah melahirkan polarisasi dalam interaksi sosial negeri ini, hanya akan bisa dicairkan lewat olahraga.
Sudah saatnya kita belajar dari kesuksesan Asian Games tahun lalu. Bayangkan, belum pernah ada event di negeri ini yang bisa merekatkan dua pimpinan dari kubu yang saling berseteru itu dapat saling berangkulan dalam balutan bendera Merah Putih. Dan, momen itu sudah diwujudkan saat Joko Widodo dan Prabowo Subianto menghadiri partai final cabang olahraga pencak silat Asian Games 2018 di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Jakarta.
Sekali lagi, saya percaya, olahraga merupakan medium paling netral yang bisa menyatukan bangsa ini dari beragam perbedaan yang ada. Tahun ini, kita juga menginginkan semoga saja atlet-atlet Indonesia bisa tampil baik di SEA Games yang akan digelar di Filipina pada November mendatang. Begitu juga harapan yang besar disematkan kepada atlet-atlet terbaik negeri ini supaya dilapangkan usahanya saat menjalani kualifikasi menuju Olimpiade 2020.
Inilah harapan besar dari negeri yang dihuni oleh 265 juta jiwa ini. Rasanya, olahraga yang seabrek prestasi membanggakan sudah begitu lama menghilang dari negeri ini -- khususnya sepak bola. Jika negeri ini tak ingin bubar atau hilang sebagaimana kisah novel ‘Ghost Fleet', maka salah satu caranya adalah membenahi tata kelola olahraganya.
Semoga ungkapan “mens sana in corpore sano” itu bisa benar-benar tercermin melalui olahraga. Ya, olahraga yang sehat sekaligus menyehatkan bangsanya yang kini tengah mengalami gejala penyakit berupa ancaman konflik.
Yuk saatnya kita berolahraga, bukan olahraga dengan menggulirkan bola pencitraan!