REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Publik geger ketika seorang tentara dikeroyok oleh tukang parkir. Berikutnya sekelompok orang tak dikenal merusak markas kepolisian sektor Cimanggis.
Semakin geger lagi, ketika oknum tentara menembak mati tentara lainnya. Belum lagi, kasus kejahatan lainnya. Seperti satu keluarga di Bekasi tewas dibunuh oleh keluarganya sendiri.
Dapat dibayangkan, masyarakat disuguhi tindak kejahatan luar biasa. Seolah tidak ada lagi, rambu yang ditaati. Ibarat seperti dunia koboi, yang menyelesaikan satu perkara dengan letusan senjata api.
Data yang dirilis Mabes Polri menyebutkan jumlah kejahatan pada 2017 berada di angka 291.748 kasus. Jumlah ini menurut data Mabes Polri dinyatakan menurun ketimbang tahun 2016 yakni 380.826 kasus. Sementara, jumlah kasus yang diselesaikan hanya 181.448 kasus,
Dari sekian banyak kasus kejahatan ini, masih disebutkan Mabes Polri, Polri mengategorikan kasus kejahatan menjadi empat golongan, yakni kejahatan konvensional, transnasional, kekayaan negara, dan implikasi kontijensi (ketidakpastian).
Bagaimana dengan proyeksi tahun ini?
Data yang dirilis Indonesia Police Watch (IPW), kejahatan jalanan (street crime) masih mendominasi selama tahun 2018, seperti pembunuhan dan pengeroyokan. Tren itu diprediksi juga akan terus meningkat di tahun 2019.
Kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar menilai Kejahatan jalanan menjadi dominasi dari sekian jenis tindak kriminal karena pelemahan ekonomi sangat berdampak pada masyarakat kelas bawah.
Kejahatan jalanan atau blue color crime disebut Bambang memang erat kaitannya dengan masyarkat kelas bawah. Apalagi, pelemahan ekonomi saat ini juga sangat dirasakan oleh para masyarakat menengah kelas bawah.
Sangat dimungkinkan, kondisi ini lahir dari ketidakadilan. Bisa dari segi hukum atau ekonomi. Apalagi, kondisi ekonomi seperti sekarang belum bisa dinikmati masyarakat banyak. Harga bahan bakar melonjak yang selanjutnya dibarengi dengan melonjaknya harga lainnya. Masyarakat kecil terhimpit. Mereka teriak. Akhirya muncul untuk motif kejahatan.
Belum lagi yang terlihat di tayangan televisi. Banyak koruptor leluasa keluar penjara. Kamar tahanan mereka mewah seperti hotel berbintang. Sementara, napi kelas teri harus menikmati kamar tahanan yang sempit.
Karenanya, prediksi ini perlu dicermati seksama. Artinya, kewaspadaan terhadap aksi kejahatan juga mutlak diperlukan. Kesadaran akan hadirnya hukum juga harus diperkuat. Tren mencatat, tahun 2016 ke 2017 dari data yang dirilis Mabes Polri mengalami penurunan.
Di sinilah, tantangan Mabes Polri sebagai korps yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban mampu menekan angka kriminalitas di masyarakat. Polri juga harus menjaga profesionalitasnya sebagai aparat penegak hukum. Misalnya, dengan meningkatkan angka penyelesaian kasus.
Beban ini tak semata milik Polri saja. Lingkungan juga harus membantu mengurangi beban Polri guna menekan angka kejahatan. Mulai dari memperkuat kembali nuansa keagamaan di masyarakat.
Misalnya, mengaktifkan kembali majelis taklim yang mungkin terbengkalai. Kembali memakmurkan masjid. Atau mulai lagi, dengan mengaji di rumah. Antar tetangga juga harus saling kenal dan senyum. Dari sisi keamanan, siskamling juga perlu diperkuat lagi.
Dari sisi pemerintah, juga perlu diperbanyak ruang publik untuk kegiatan positif. Dengan adanya hari bebas kendaraan misalnya, ini merupakan salah satu contoh di mana masyarakat dapat aktif dengan beragam kegiatan pula. Perlu juga diperbanyak, taman-taman kota sehingga warga dapat terhindar dari stres karena rutinitas yang padat.
Pemerintah pun harus terus menambah pasokan lapangan kerja. Dengan meningkatnya lapangan kerja akan membuat pengangguran menurun. Pengangguran menurun akan berefek pada turunnya tingkat kriminalitas.
*) Penulis adalah redaktur republika