REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Spanyol merupakan negeri yang eksotis. Kekayaan budaya dan keindahan alamnya begitu mempesona. Tak heran, begitu banyak wisatawan dunia yang mendatangi Spanyol.
Saat ini ada fenomena unik bahwa wisatawan Muslim, baik asal Timur Tengah dan Afrika Utara, memilih Spanyol sebagai destinasi wisata. Menariknya lagi, sejak itu munculnya kebutuhan akan fasilitas penunjang wisatawan Muslim. Misalnya, informasi soal jejak Islam di negeri Spanyol tersebut
Crescent Rating, lembaga yang memberi peringkat hotel dan restoran sesuai dengan kepatuhan mereka pada ajaran Islam, menyebutkan jumlah pengunjung Muslim ke Spanyol terus bertambah. Ada peningkatan 85 persen dalam kedatangan turis asal Saudi pada 2013 dibanding tahun sebelumnya (42 ribu turis). Jumlah pengunjung Aljazair naik 30 persen untuk periode yang sama. Kemudian ada 182 ribu orang Turki mendatangi Spanyol. Angka wisatawan ke sana pun meningkat 57 persen.
Wisatawan Muslim banyak memilih Cordoba dan Granada untuk menghabiskan liburan selama Ramadhan. Beberapa lembaga seperti Casa Arabe, Dewan Kota Cordoba, dan Institut Halal, menyelenggarakan kegiatan seperti keramaian pada bulan puasa bernama Noches de Ramadan di Cordoba. Ini adalah program khusus yang mencakup film, lokakarya, pembicaraan, pameran, dan konser. Apa yang wisatawan Muslim cari di sana?
Jauh sebelum menjadi negara modern, Spanyol merupakan bagian dari kemajuan peradaban Islam. Selama lima abad lamanya, Islam memberikan warna dan pencerahan pada Spanyol. Efek dari perubahan itu adalah masuknya Eropa menuju masa pencerahan. Pengaruh itu memang hilang kini, tapi tidak dengan jejak sejarahnya. Masih cukup banyak artefak dan bangunan bekas peninggalan kejayaan Islam yang tetap terawat baik. Jejak inilah menjadi saksi atas kejayaan Islam, tapi juga tempat terakhir yang melepaskan kepergian kaum Muslimin dari Semenajung Iberia.
Karena itu ada semacam nostalgia di kalangan wisatawan Muslim ketika melihat Spanyol. Laifdaili dan Jellal misalnya, keduanya wisatawan asal Maroko. Pasangan ini adalah representasi generasi milenial Muslim dari negara-negara dengan ekonomi yang tumbuh cepat. Mereka ingin melihat bagian lain dari Spanyol. Wajah Spanyol dengan banyak jejak sejarah kekuasaan pemerintahan Islam.
Kebutuhan itu ditangkap dengan baik oleh Spanyol. Mereka mengejar ketinggalan dengan cepat. Dua tahun lalu, jika pelancong menelepon hotel menanyakan apakah sudah bersertifikat halal, manajemen akan menjelaskan tidak tahu apa yang dibicarakan. Saat ini ada lebih banyak kesadaran sertifikasi halal. Banyak pelaku industri pariwisata menyadari potensi pasar Muslim. Pemilik restoran Al Fresco di Granada, Francisco Perez Segoviano, mengatakan pengunjung Muslim telah membantunya mengatasi krisis. Omzet restoran meningkat secara perlahan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, juga ragam sejarah kehadiran Islam, idealnya wisata halal di Indonesia jauh lebih menggeliat. Persoalan sertifikasi tak kunjung beres. Paket wisata religi pun kalah mentereng dengan destinasi wisata luar negeri. Belum lagi persoalan teknis yang menjadi penghambat.
Laporan Global Islamic Economy 2018-2019 menyebut lima negara mayoritas Muslim dengan belanja terbesar untuk melancong, yakni Saudi (21 miliar dolar AS), Uni Emirat Arab (16 miliar dolar AS), Qatar (13 miliar dolar AS), Kuwait (10 miliar dolar AS), dan Indonesia (10 miliar dolar AS).
Pada 2018, Indonesia berhasil menempati posisi kedua sebagai destinasi wisata halal terbaik, serta pasar wisata muslim terbesar di dunia dari 130 destinasi. Lombok, Nusa Tenggara Barat, telah menjadi destinasi wisata halal. Bahkan Lombok meraih predikat sebagai destinasi wisata paling top sedunia pada 2015 dan 2016 dari World Halal Travel Awards.
Ini artinya, sudah waktunya menghadirkan kemasan cantik dari paket wisata religi. Pemerintah perlu gerak cepat melakukan perubahan. Pemerintah harus menggandeng para stakeholder, menggencarkan kebijakan sertifikasi di sektor wisata (termasuk hotel, restoran, akomodasi transportasi).
Biarkann rupiah mengalir ke negeri sendiri. Syukur-syukur ikut menarik wisatawan asing, sehingga akan mengeliatkan roda ekonomi masyarakat. Penulis optimistis, kalau memang sektor ini menjadi prioritas ke depan, maka banyak manfaat yang akan datang.
Salah satunya, nostalgia datangnya cahaya Islam ke nusantara. Perlu dicatat begitu indah Islam di Nusantara. Ini terlihat ketika waktu Subuh tiba, Azan berkumandang lantang di wilayah Papua. Selesai saudara-saudara kita di Papua shalat Shubuh, bergantian saudara-saudara di Makassar dan wilayah Indonesia tengah lainnya melaksanakan shalat Shubuh. Lalu menyusul wilayah Indonesia Barat. wallahualam bis shawab
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id