REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*
Akhir-akhir ini ada pertanyaan yang amat sering ditanyakan kepada penulis. Pertanyaan yang sebenarnya hanya polisi dan pelaku saja yang tahu.
Pertanyaan tersebut tak jauh-jauh dari berita paling populer dua pekan ini, yaitu soal prostitusi online. "Bro itu inisial lima artis siapa aja sih bro," tutur seorang teman dalam sebuah pertemuan di akhir pekan.
Hingga kemudian, setelah mereka mengetahui kelima artis tersebut berlanjut menanyakan 45 artis yang ikut dalam lingkaran prostitusi online. Tidak hanya pertanyaan, pernyataan pun juga menyeruak di tengah obrolan.
"Dari awal gw udah yakin pasti si itu begitu, glamor banget gaya hidupnya di instagram," ucap dia.
Mengulik kisah tentang artis memang tiada akhir karena mereka adalah kelompok dalam masyarakat yang menjadi trendsetter atau acuan dan figur publik. Apalagi terakhir, kasus VA mulai memasuki cerita baru dengan sebuah pernyataan yang menyebutkan dia di jemput mobil pelat merah.
Akan tetapi apapun ceritanya, kemudian muncul pertanyaan kenapa disebut dan harus prostitusi online? Apa yang membedakannya dengan prostitusi biasa?
Kisah prostitusi disebut sudah ada sejak manusia lahir dan berkelompok. Cuma, jangan lupa dengan apa yang pernah disebut pakar bisnis Rhenald Kasali, bahwa saat ini adalah era disrupsi. Semua tercerabut dari manual ke era digital, semua-semua online termasuk prostitusi.
Akan tetapi balik lagi ke pertanyaan semula, kenapa harus online? Toh prostitusi pada umumnya masih tumbuh subur di Indonesia, berbeda dengan industri lain yang berjatuhan akibat peralihan ke online.
Ingin tahu bedanya, penulis pun kemudian ingat pernah berbicara dengan salah satu muncikari yang beroperasi di beberapa apartemen Ibu Kota beberapa tahun lalu. Sebut saja Jack karena memang ia tak pernah menunjukkan nama asli di KTP kepada penulis. Pria bertato ini menyebut prostitusi online 'memotong' aturan yang selama ini berlaku di dunia prostitusi. "Gue nggak perlu keluar duit buat bayar ini itu, nggak ada yang 'datang' tiap minggu, bisa buka 'usaha' dimana aja," ucap dia.
Mereka yang datang, ucap dia, biasanya amat banyak kalau usaha prostitusi biasa. Mulai dari oknum aparat kepolisian, TNI, pemerintah, RT/RW hingga ormas. "Belum lagi oknum preman, sampai minta sumbangan," ucapnya.
Prostitusi online juga menurut dia targetnya lebih luas, namun rata-rata adalah kalangan usia muda alias milenial. Makanya jangan heran saat Polisi mengungkap kasus prostitusi online di Apartemen Kalibata City Agustus 2018, mereka juga mengamankan dua bocah laki-laki di bawah umur. Mereka ternyata calon pelanggan dari bisnis esek-esek online tersebut.
Akan tetapi, ucap dia, mereka terpaksa harus kucing-kucingan dalam menjalankan usaha. Namanya online, tentu bisa dilakukan di mana saja. "Ya kalau yang biasa deg-degan-nya awal bulan atau akhir bulan, kalau kita tiap hari," ucap dia sambil tertawa.
Ia juga mengisahkan, anak buah yang dijajakannya, ada yang dari kalangan biasa hingga model. Terkhusus model, bila sudah masuk majalah harganya akan semakin meningkat. Artinya bila model biasa tarifnya takkan setinggi mereka yang sudah pernah tampil di majalah dewasa.
Lalu ketika penulis menanyakan alasan mereka masih mau dijajakan, ia memilih tidak mau menjawab. Ia mengatakan hal itu urusan sang PSK, karena yang Jack tahu hanya mencari pelanggan.
Cuma yang pasti mereka yang berstatus model tak mungkin 'berjualan' di tempat biasa. Mereka, ucap dia, butuh privasi dan kerahasiaan. Makanya, mereka lebih memilih dijajakan secara online.
Selepas membaca catatan wawancara tersebut, penulis pun menarik kesimpulan. Bahwa usaha online ini sebenarnya sulit-tidak sulit untuk diungkap. Sulit karena mereka berhubungan melalui dunia maya. Tidak sulit karena dunia maya, khususnya media sosial memiliki spektrum luas dan digunakan siapa saja.
Artinya pelanggan bisa berasal dari mana saja. Sehingga dengan mudah bisa disusupi siapa saja, termasuk tim dari kepolisian.
Kita pun juga bisa melaporkan bila mengetahui praktik prostitusi semacam ini. Apalagi hingga kini belum diketahui seberapa besar dampak merusaknya prostitusi online di negeri. Bisa jadi karena praktik dilakukan secara terselubung, Kejahatan Tanpa Korban (Gabriel Tarde, 1978) ini justru membawa'korban lebih banyak lagi. Dimana penyakit, perdagangan manusia dan tindak pidana pencucian uang lebih besar dari yang konvensional.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id