REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*
Awal tahun ini, saya merencanakan perjalanan untuk kembali ke kampung halaman. Namun, perjalanan itu saya urungkan melihat tiket pesawat yang harganya naik hampir dua kali lipat.
Saya ternyata bukan satu-satunya calon penumpang yang shock dengan kenaikan harga ini. Jutaan orang di negeri ini mengeluhkan kenaikan harga tiket pesawat yang naik /gila-gilaan/. Bahkan, harga tiket domestik melebihi harga tiket ke negeri jiran seputaran ASEAN.
Keluhan itu dituangkan dalam sebuah petisi untuk pemerintah. Warganet meminta pemerintah menurunkan harga tiket pesawat. Petisi ini direspons oleh pemerintah yang meminta asosiasi maskapai nasional alias National Air Carrier Association (Inaca) menurunkan harga tarif perjalanan mereka.
Garuda Indonesia menyatakan sudah menurunkan tarif yang bervariasi bergantung rute perjalanan. Ada yang turun sedikit, ada yang turun hingga setengahnya. Namun, penurunan ini dinilai masyarakat tidak cukup.
Kinerja maskapai beberapa tahun terakhir memang sedang sakit. Beberapa mencatat kerugian yang berlanjut dari tahun ke tahun. Banyak hal yang menyebabkan ini, bisa karena penjualan tiket atau beban operasional seperti harga avtur yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu pemicu maskapai menaikkan tarif. Tak hanya itu, ada maskapai yang juga menerapkan tarif bagasi penumpangnya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, tingginya harga tiket ini dipicu juga oleh perang tarif yang selama ini dilakukan maskapai. Akibat perang tarif tersebut, kondisi keuangan maskapai berdarah-darah dan terpaksa gali lobang-tutup lobang.
Pada semester pertama 2018, Garuda Indonesia mencatatkan rugi bersih. Padahal, pendapatan perseroan mengalami kenaikan 5,9 persen. Rugi bersih ini untungnya turun signifikan dari 284 juta dolar AS menjadi 114 juta dolllar AS.
Kondisi serupa juga dialami Lion Air Grup. Pada 2017 lalu, perseroan mengaku mengalami kerugian usaha. Kerugian tersebut melanjutkan catatan minus pada 2016.
Tarif memang sedikit banyak berpengaruh pada pendapatan maskapai. Lion mengungkapkan, saat menaikkan harga tiket di wilayah tertentu pada 2017 kemarin, penjualan turun signifikan. Ketika harga kembali diturunkan, penjualan turut meningkat.
Lion Air pastilah bukan satu-satunya maskapai yang mengalami hal tersebut. Meskipun ada rute-rute gemuk yang biar bagaimanapun naiknya harga tiket tetap diburu, tetapi ada juga rute-rute yang akan berkurang penumpangnya saat harga naik.
Di Jawa, masyarakatnya punya pilihan lain: jalur darat. Jika harga tiket pesawat mahal, warga di Pulau Jawa bisa memilih menggunakan kendaraan umum. Apalagi, pemerintah baru saja menyelesaikan jalur Trans Jawa yang menghubungkan Merak, Banten menuju Surabaya, jawa Timur (meskipun masih dikeluhkan juga karena tarif tolnya mahal).
Bagaimana dengan warga yang tinggal di luar Pulau Jawa? Bagaimana dengan mereka yang satu-satunya kendaraan untuk mobilisasi adalah pesawat udara?
Pemerintah sebagai regulator punya kewenangan dan kewajiban untuk mengendalikan harga. Pada saat yang sama, pemerintah juga bertanggung jawab menjaga kesehatan maskapai. Solusinya? Regulasi yang sama-sama untung. Maskapai tak menjerit rugi melulu, masyarakat tak menjerit tiket mahal.
Masyarakat tentu menutup mata dengan apa yang terjadi di dapurnya maskapai. Yang mereka (termasuk saya) inginkan adalah bagaimana mendapatkan transportasi yang murah meriah, all in, tidak perlu bayar-bayar tambahan, cepat sampainya dan pastinya aman.
Dengan kondisi ini, banyak akhirnya yang membuat paspor demi tiket perjalanan yang lebih murah meskipun harus transit dulu di negara tetangga. Yaa hitung-hitung hemat uang sekaligus bisa pamer kalau sudah pernah ke luar negeri meski cuma transit di bandara.
Saya termasuk yang mempertimbangkan membuat paspor demi berburu tiket murah untuk mudik. Selama jam transit bisa jalan-jalan dulu, siapa tahu dapat belanjaan yang oke buat oleh-oleh, camilan manis buat teman perjalanan, baju lucu-lucu... Eh, tapi kok jadi lebih mahal?
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id