REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Menyebut kata defisit, pikiran kita pasti larinya ke masalah anggaran. Kalau uang yang kita punya sudah lebih banyak yang keluar daripada sumber pemasukannya, tunggu saja akan datangnya defisit. Atau sederhananya, pernah dengar istilah besar pasak daripada tiang? Nah, itu juga defisit namanya.
Lantas, pernah mendengar istilah defisit guru agama? Sebetulnya, istilah defisit yang disandingkan dengan guru agama ini mungkin kurang pas. Saya mengintip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), defisit itu artinya kekurangan, tapi terkait dalam hal anggaran belanja.
Pertengahan Januari ini, terlontar dari seorang pejabat di Kementerian Agama, dia menyebut, negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini sedang mengalami defisit guru agama Islam di sekolah-sekolah. Ada ruang guru yang harus diisi sebanyak 20 ribu dan kebutuhan itu tersebar di seluruh pelosok negeri.
Kalau melongok KBBI tadi, sepertinya pemerintah tidak kekurangan anggaran untuk para guru agama. Yang kurang adalah sosok yang mau mengabdikan diri, mewakafkan waktunya untuk mendidik anak-anak generasi penerus bangsa ini. Bukan hanya mengajarkan mereka untuk memahami Islam sebagai agama, melainkan mempraktikkan apa yang diajarkan itu dalam kehidupan sehari-hari.
Karena kurangnya tenaga guru pendidikan agama Islam (PAI), acap kali pembelajaran agama di sekolah diisi oleh guru yang bukan bidangnya yang tidak sesuai kompetensinya. Padahal, guru agama apalagi di level SD akan berpengaruh besar pada pembentukan karkater anak agar sesuai dengan norma agama.
Salah satu sekolah di Bogor, misalnya, guru PAI yang mengajar terakhir di sekolah itu hanya ada pada 2017 lalu. Kekosongam terjadi saat guru tersebut wafat. Karena tak ada yang menggantikan sampai saat ini, tugasnya pun diambil alih oleh kepala sekolah (kepsek). Padahal, sang kepsek memiliki latar belakang ilmu metematika. Belum lagi, jabatan kepsek membuatnya sering berkutat di luar lingkungan sekolah, sehingga anak didiknya pun terpaksa ditinggal.
Kekurangan puluhan ribu guru PAI, salah satu penyebabnya adalah banyak di antara mereka sudah pensiun. Di Jawa Timur saja, misalnya, Kemenag setempat menyebut ada seribu lebih guru agama yang pensiun pada 2018.
Perekrutan guru agama tentu menjadi hal yang penting dilakukan. Coba kita buka mata. Saat ini, murid sekolah atau pun mahasiswa bisa mendapatkan sumber ilmu keagamaan berasal dari media sosial. Masak iya harus membiarkan anak-anak kita belajar agama dari Youtube, Facebook, dan lainnya. Kalau tanpa dasar yang kuat, apalagi tanpa pendampingan, ini akan menjadi problem serius.
Ya, bagi saya ini serius. Guru agama tugasnya mengajarkan dengan baik dan tepat tentang Islam yang rahmatan lilalamin. Lantas di dunia yang saat ini ibaratnya bisa digenggam dalam sebuah gadget, tameng untuk mawas diri sangat diperlukan. Kita butuh filter yang harus selektif mencarinya. Apalagi, sampai sekarang, sudah bermunculan pemikiran radikal atau paham yang mengarah pada terorisme dan perpecahan persatuan, tapi sialnya sering dikait-kaitkan dengan agama.
Sebagai solusi makin kurangnya guru PAI, syukurlah kini Kemenag telah mendapatkan pos anggaran untuk merekrut guru agama di seluruh Indonesia. Kabarnya, perekrutan akan dibantu oleh sejumlah pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Artinya, guru agama di sekolah, tidak melulu dari Kemenag lagi yang akan melakukan perekrutannya. Sejumlah pemerintah daerah akan melakukan perekrutan dengan tes wawasan kebangsaan, baca, serta menulis Alquran.
Sekarang, tinggal menyorot seberapa besar minat orang-orang yang ingin berkarier di bidang ini. Andaikan ada survei, entah berapa persen yang bisa terjaring jika menanyakan mereka, apakah ada yang bercita-cita jadi guru agama?
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id