Selasa 05 Feb 2019 01:03 WIB

Yang (Mungkin) Dimaksud Jokowi Soal 'Propaganda Rusia'

Jokowi menilai lawan politiknya menggunakan 'propaganda Rusia' dalam berkampanye.

Calon Presiden petahana Joko Widodo menyampaikan sambutan saat menghadiri Deklarasi Sedulur Kayu dan Mebel Jokowi di The Tjolomadoe, Karanganyar, Jawa Tengah, Ahad (3/2/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Calon Presiden petahana Joko Widodo menyampaikan sambutan saat menghadiri Deklarasi Sedulur Kayu dan Mebel Jokowi di The Tjolomadoe, Karanganyar, Jawa Tengah, Ahad (3/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*

Dua bulan jelang hari pencoblosan Pilpres 2019, calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) mulai melancarkan 'serangan frontal' terhadap lawan politiknya. Jokowi seperti keluar dari pakem politik yang selama ini dianutnya. Figur pejawat yang selama ini dikenal tenang menjawab serangan dengan membeberkan capaiannya selama menjadi presiden, kini mulai tampil menyerang.

Selaku pejawat, setelah diumumkan menjadi calon presiden (capres) oleh PDIP melalui Twitter pada 23 Februari 2018, Jokowi awalnya mengambil gaya dan narasi berbeda dengan Prabowo Subianto dalam setiap kampanyenya. Kegiatan-kegiatan kekinian Jokowi seperti berlatih tinju, menonton bioskop, dan konvoi di beberapa daerah menggunakan chopper mengingatkan gaya kampanye Justin Trudeau yang menang di Pemilu Kanada pada 2015.

Apa yang dilakukan Trudeau pada 2015 sukses merebut hati kaum muda Kanada yang sebelumnya apatis terhadap politik. Tim kampanye Jokowi pun sadar akan potensi besar pemilih milenial pada Pilpres 2019, sehingga gaya Trudeau menjadi layak 'diadopsi' untuk memancing pemilih muda yang angkanya disebut mencapai kisaran 40 persen.

Namun, belakangan Jokowi seperti tak tahan juga atas serangan demi serangan yang dilancarkan oleh kubu Prabowo-Sandi dan pendukungnya. Jika sebelumnya serangan Jokowi sebatas jargon atau lemparan istilah semacam “politikus sontoloyo” atau “politik genderuwo”, sepekan terakhir Jokowi mulai berani menuduh kubu lawan menggunakan konsultan asing dan bahkan menerapkan apa yang disebutnya sebagai ‘propaganda Rusia’.

Jokowi menerangkan salah satu ciri utama propaganda Rusia adalah bersebarannya hoaks dan kebohongan kepada rakyat. Kampanye tersebut dilakukan dengan cara-cara menebar fitnah, dusta, dan hoaks. Menurut Jokowi, propaganda Rusia sengaja digunakan untuk membuat takut rakyat yang dikhawatirkan Jokowi berujung pada terpecah belahnya rakyat.

Dengan dipakainya konsultan asing oleh salah satu timses, Jokowi pun mempertanyakan siapa yang lebih pantas disebut 'antek asing'. Padahal, Jokowi merasa selama empat tahun menjabat presiden, sebutan antek asing seolah dilekatkan kepadanya.

Terlalu jauh jika kita merujuk propaganda Rusia yang dimaksud Jokowi adalah propaganda yang dilakukan Uni Soviet pada masa Perang Dunia II atau bahkan Kremlinologi. Teori yang paling kekinian dan pas dengan ciri-ciri yang dibeberkan Jokowi sepertinya adalah Firehose of Falsehood yang akan coba saya ulas dalam tulisan ini.

Awalnya adalah saat Donald Trump menang pemilu di Amerika Serikat (AS) pada 2016. Rand Corporation sampai menerbitkan sebuah analisis penelitian terhadap kemenangan fenomenal Trump dan kemiripian metode kampanye yang digunakan Vladimir Putin saat mencaplok Georgia pada 2008 dan Krimea pada 2014.

Publikasi Rand menjelaskan, bahwa rezim Putin mengunakan kebohongan tersurat (obvious lies) yang diproduksi secara masif dan simultan oleh media-media massa yang dikuasai oleh negara. Propaganda menjadi senjata yang menyerbu amygdala atau dalam ilmu saraf adalah bagian otak yang bertanggung jawab mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri pada situasi darurat.

Agar efektif, kebohongan diproduksi secara masif lalu disebarkan melalui berbagai platform media. Berita juga harus bergerak cepat, terus menerus, berulang dan tak memedulikan adanya upaya terhadap verifikasi (cek fakta). Tak perlu konsisten atau harus ada ralat, yang penting kebohongan atau berita pertama yang disebarkan sudah terdistribusikan secara masif.

Trump, dan kemudian diikuti Marine le Pen di Prancis (meski kalah) dan Jair Bolsonaro di Brazil diyakini menggunakan teknik Firehose of Falsehood ini. Amygdala calon pemilih yang terus menerus diserang kemudian menjadi bimbang dan pada akhirnya mempercayai hoaks yang beredar. Khusus Bolsonaro, lantaran menjadi calon yang tidak didukung oleh media arus utama di Brazil, dia menggunakan Whatsapp untuk menyebarkan hoaks menyerang lawan-lawan politiknya.

Di sini, terbongkarnya kebohongan Ratna Sarumpaet yang awalnya mengaku dirinya bonyok akibat dikeroyok tetapi ternyata baru menjalani operasi plastik, dinilai oleh sebagian pengamat dan peneliti komunikasi politik sebagai praktik Firehose of Falsehood yang gagal. Tepatnya, digagalkan oleh investigasi pihak kepolisian yang akhirnya memaksa Ratna mengakui dirinya adalah pencipta hoaks terbaik.

Sosok Ratna tidak bisa dilepaskan dari kubu Prabowo-Sandi, karena sebelum menjadi juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), Ratna adalah aktivis yang terkenal berseberangan dengan Jokowi. Prabowo bahkan sempat menggelar konferensi pers khusus segera setelah Ratna lapor dirinya dikeroyok. Dan untuk meyakinkan publik bahwa kebohongan yang diproduksi Ratna tidak ada kaitannya dengan dirinya, Prabowo juga membuat keterangan pers resmi lanjutan.

Soal tudingan jamaknya penggunaan Firehose of Falsehood pascakemenangan Trump, sudah dibantah keras oleh kubu Prabowo-Sandi. Partai Gerindra sebagai partai tempat Prabowo bernaung menegaskan tidak akan menggunakan gaya Trump, apalagi berkampanye dengan cara membohongi rakyat. Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon pun pernah membantah bahwa Prabowo menyewa jasa konsultan politik asing agar sukses seperti Trump.

Meski menyangkal meniru gaya Donald Trump, Prabowo faktanya ikut-ikutan membuat semboyan ala Trump, yakni “Make Indonesia great again”. Prabowo juga kerap menyerang elite berkuasa dengan menyebar hal-hal yang gawat berpotensi terjadi pada masa depan jika tidak ada pergantian kekuasaan. “99 persen rakyat hidup pas-pasan” kata Prabowo dalam suatu kampanyenya.

Sandiaga sebagai cawapres, juga mirip-mirip gayanya dengan Prabowo. Selain menjual program-program kerja jika mereka terpilih, mantan wagub DKI yang rajin berkeliling Indonesia masuk ke pasar-pasar tradisional dan berjumpa dengan emak-emak, juga menyelipkan gaya kampanye menyerang lawan meski terkesan lebih halus. “Tempe setipis kartu ATM”, “Chicken rice Singapura” di antara jargon Sandi yang sejauh ini paling diingat.

Dimulainya 'serangan frontal' Jokowi ke Prabowo menjadi menarik dalam konteks menuju debat kedua capres yang akan digelar KPU pada 17 Februari mendatang. Setelah debat pertama yang dinilai kurang greget dan membosankan, menjadi layak ditunggu apakah Jokowi dan Prabowo akan saling serang pada debat kedua nanti. Apalagi, KPU telah mengalokasikan satu sesi 'tarung bebas', sesi saling tanya dan menjawab antara dua capres yang diharapkan membuat debat menjadi 'panas' namun penuh substansi yang bermanfaat.

*penulis adalah wartawan Republika.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement