REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Suatu hari, saya menyempatkan diri untuk bertemu seorang kawan lama. Selama beberapa tahun belakangan, dia cukup aktif membuka usaha. Termasuk menjajakan dagangannya setiap Ahad di Car Free Day, Thamrin, Jakarta. Pertemuan singkat itu diisi dengan curhatannya tentang pungutan liar alias pungli.
Indah, sebut saja begitu, mulai berjualan di CFD area Thamrin sejak November 2017. Awalnya, ia hanya iseng mau mencoba peruntungan. Kopi-kopi buatannya disimpan di lokasi kosong tetapi ternyata lokasi itu sudah menjadi lapak orang lain.
“Eh ada pedagang yang bilang itu lapaknya orang lain. Bingung kan, emangnya di sini pakai bayar sewa? Gak lama datanglah orang ngaku-ngaku pembina tapi saya yakin itu cuma preman,” katanya.
Waktu itu, ia langsung ditawari (atau ditodong?) untuk membayar sejumlah uang. Jika hanya mau berjualan satu atau dua hari, harganya berbeda dengan yang mau jualan tahunan. Tarif untuk satu tahun dipatok Rp 400 ribu. Uang itu katanya untuk keamanan, kebersihan, sumbangan ke masjid dan lain-lain.
“Saya tanya pedagang kanan kiri: emang bayar ya? Mereka mengiyakan. Gitu deh kalau mau lapaknya gak diganggu. Mau gak mau, saya ikutan. Akhirnya sampai setahun lebih jualan di sana,” katanya.
Beberapa bulan kemudian, lapaknya didatangi lagi. Kali ini orang yang mengaku dari RW setempat dan meminta uang Rp 5 ribu kepada setiap pedagang. Merasa sudah membayar tahunan, Indah protes dan tak mau mengeluarkan uang lagi untuk alasan yang tidak jelas. Tapi yang didapatnya adalah ancaman. Hal itu juga dialami para pedagang lainnya.
“Jadi, dengan mengatasnamakan RW setempat, dia meminta uang Rp 5 ribu ke semua pedagang dari CFD Thamrin UOB sampai lampu merah menara BCA,” katanya.
Kekesalannya terhadap ulah para preman ini membuat Indah ingin membuat laporan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kanal-kanal aduan seperti fanpage DKI Jakarta di Facebook, Twitter @DKIJakarta, email [email protected], Balai Warga Jakarta.go.id, Lapor 1708, SMS 08111272206, dan Qlue sudah dicobanya. Tetapi hingga hari ini belum ada respons yang memuaskan dari Pemprov DKI Jakarta dan pungli ‘recehan’ itu pun terus terjadi setiap minggu.
Saya mencoba mampir ke kanal-kanal tersebut. Memang, sampai sekarang kanal tersebut masih aktif memberikan informasi. Beberapa keluhan juga ditindaklanjuti terutama keluhan berbau infrastruktur atau pekerjaan-pekerjaan fisik seperti perbaikan jalan berlubang atau lampu lalu lintas yang mati. Itu pun kalau perbaikannya tidak salah tempat atau dimanipulasi agar terlihat sudah dikerjakan. Dari penelusuran itu pun saya juga menemukan banyak keluhan tak ditanggapi terutama keluhan-keluhan yang sifatnya nonfisik seperti pungli. Ah, jangankan ditindaklanjuti, dibalas saja tidak.
Pengaduan warga secara offline pun dilakukan. Tak hanya lewat dunia maya, upaya menampung keluhan warga secara langsung pun masih dilakukan. Hanya saja, jika sebelumnya pengaduan bisa disampaikan secara langsung di Balai Kota DKI Jakarta, sekarang pengaduan ditampung ditingkat kelurahan. Pemprov membuka posko pengaduan di kelurahan masing-masing di setiap jam kerja dengan durasi tiga jam yakni dari pukul 08.00-11.00 WIB. Pemda memberikan kesempatan kepada warga DKI yang tak sempat melaporkan di hari kerja bisa mengadu pada Sabtu pagi di kecamatan dengan syarat membawa identitas.
Saya hanya berpikir, dengan banyaknya kanal dan jalur yang dibuka oleh pemerintah untuk menampung keluhan warga, tetapi kok respons dan output yang dihasilkan tak benar-benar menyelesaikan masalah. Dalam kasus pungli, misalnya, saya ragu meski ada sejuta keluhan yang ditampung, persoalan itu tak akan ditindaklanjuti apalagi diselesaikan hingga ke akar-akarnya.
Dari cerita teman saya tadi, satu hal yang membuat miris adalah sosialisasi tentang pungli masif dilakukan ketika CFD digelar. Tetapi justru pungli itu bertebaran di depan mata.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id