Sabtu 09 Feb 2019 05:47 WIB

Kemauan Politik di Keuangan Syariah

Di Inggris, sistem keuangan syariah berkembang cukup pesat. Mengapa kita lambat?

Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Ekonomi Syariah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Ekonomi Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku masih mengemban pekerjaan rumah besar untuk membangun industri keuangan syariah nasional. Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain yang lebih dulu mengembangkan industri keuangan syariah.

Negara kita masih kalah jauh jika dibandingkan Malaysia yang mampu mengeruk pangsa pasar keuangan syariah hingga 23 persen, Arab Saudi 51 persen lebih, dan Uni Emirat Arab dengan pangsa pasar keuangan syariah hingga 19 persen.

Pernyataan Presiden Jokowi yang juga menjabat sebagai ketua Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), Kamis (8/2) tersebut, di satu sisi sesungguhnya cukup menggembirakan. Pengakuan tersebut sejatinya adalah menggambarkan pemerintah yang memiliki keinginan untuk mengembangkan ekonomi syariah di negeri tercinta ini. Walaupun demikian, sekadar keinginan tentu tidak cukup.

Sejak sistem keuangan syariah mulai berkembang di Tanah Air pada 2000-an, dukungan dari otoritas di negeri ini memang belum dirasakan maksimal oleh para pelakunya. Dukungan dari parlemen juga dirasakan belum seperti yang diharapkan. Bahkan, tidak sedikit anggota parlemen lebih ingin sistem keuangan konvensional yang berkembang. Itu pula yang menyebabkan pangsa pasar keuangan syariah secara nasional masih berkutat di angka delapan persen.