REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku masih mengemban pekerjaan rumah besar untuk membangun industri keuangan syariah nasional. Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain yang lebih dulu mengembangkan industri keuangan syariah.
Negara kita masih kalah jauh jika dibandingkan Malaysia yang mampu mengeruk pangsa pasar keuangan syariah hingga 23 persen, Arab Saudi 51 persen lebih, dan Uni Emirat Arab dengan pangsa pasar keuangan syariah hingga 19 persen.
Pernyataan Presiden Jokowi yang juga menjabat sebagai ketua Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), Kamis (8/2) tersebut, di satu sisi sesungguhnya cukup menggembirakan. Pengakuan tersebut sejatinya adalah menggambarkan pemerintah yang memiliki keinginan untuk mengembangkan ekonomi syariah di negeri tercinta ini. Walaupun demikian, sekadar keinginan tentu tidak cukup.
Sejak sistem keuangan syariah mulai berkembang di Tanah Air pada 2000-an, dukungan dari otoritas di negeri ini memang belum dirasakan maksimal oleh para pelakunya. Dukungan dari parlemen juga dirasakan belum seperti yang diharapkan. Bahkan, tidak sedikit anggota parlemen lebih ingin sistem keuangan konvensional yang berkembang. Itu pula yang menyebabkan pangsa pasar keuangan syariah secara nasional masih berkutat di angka delapan persen.
Cengkeraman sistem keuangan konvensional yang sudah mendarah daging sejak dulu dalam perekonomian nasional, membuat perkembangan keuangan syariah memiliki tantangan yang cukup besar. Dana-dana seperti milik calon jamaah haji yang seharusnya dikelola berdasarkan sistem syariah baru beberapa tahun terakhir dipindahkan ke perbankan syariah. Sebelumnya, mengendap di perbankan konvesional.
Semua itu karena memang kemauan politik dari aparat di negeri ini untuk bersungguh-sungguh menjadikan sistem keuangan syariah maju masih lebih banyak dalam bentuk lisan. Dari ucapan-ucapan saja dan belum bertindak secara maksimal. Padahal, kita sama-sama tahu sistem keuangan syariah sangat tahan banting dalam menghadapi gejolak krisis keuangan, baik itu keuangan global maupun krisis keuangan di dalam negeri.
Itulah mengapa di negeri seperti Inggris, sistem keuangan syariah berkembang cukup pesat. Bahkan, nasabah sistem keuangan syariah tersebut bukan hanya Muslim, melainkan juga sebagian non-Muslim yang selama ini merasakan manfaat yang besar dari keuangan syariah. Sistem keuangan syariah di London bahkan menjadi acuan di sejumlah negara.
Nantinya, kita berharap, pemerintah benar-benar mewujudkan komitmennya untuk mengembangkan sistem keuangan syariah. Pemerintah dan otoritas keuangan harus memberi perhatian yang besar terhadap sistem keuangan syariah. Bentuk komitmen tersebut, di antaranya memberikan regulasi yang memudahkan sistem keuangan syariah untuk mengembangkan diri.
Masyarakat di Indonesia yang mayoritas Muslim sesungguhnya sangat merindukan sistem keuangan syariah yang maju seperti sistem keuangan konvensional. Karena itu, dukungan yang besar dari otoritas keuangan dan pemerintah menjadi modal bagi pelaku ekonomi syariah untuk terus berbenah.
Semakin banyaknya kampus yang membuka jurusan ekonomi syariah seharusnya juga menjadi modal bagi pelaku sistem keuangan syariah untuk terus mengembangkan diri. Sepuluh tahun lalu, sumber daya manusia (SDM) di bidang syariah memang masih terbatas. Tapi kini, jumlah SDM sudah cukup banyak sehingga tidak ada lagi alasan lembaga keuangan syariah sulit berkreasi akibat SDM yang belum memadai.
Para pelaku keuangan syariah harus terus melakukan terobosan dalam mengembangkan pangsa pasarnya. Karena tantangan sistem keuangan syariah jauh lebih besar dibandingkan sistem keuangan konvensional, sudah semestinya perjuangan untuk membesarkan pangsa pasar pun dilakukan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Jangan cepat menyerah ketika mendapat halangan. Dan para petinggi sistem keuangan syariah jangan mengembangkan sistem keuangan syariah dengan pola pikir membesarkan sistem keuangan konvensional.
Tajuk Koran Republika