REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*
Ojek online kembali menjadi perbincangan. Ini setelah beredar kabar besaran tarif batas atas dan bawah tersebut telah dipatok Rp 3.100-3.500 per kilometer.
Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawah ojek daring sebesar Rp 1.200 per kilometer, adapun Go-Jek memberikan Rp 1.600 untuk mitra pengemudi.
Jika kabar tersebut benar, artinya tarif ojek online naik hampir dua kali lipat. Mari membuat simulasi.
Ini pengalaman saya pribadi. Sehari-hari, setidaknya saya 4 kali naik ojek online untuk perjalanan ke kantor. Kalau pembayaran normal tanpa promo, setidaknya saya mengeluarkan Rp 32 ribu dalam satu hari hanya untuk ojek online.
Kalau naik dua kali lipat, saya harus mengeluarkan setidaknya Rp 64 ribu untuk perjalanan ke kantor, hanya untuk ojek online-nya saja. Secara pribadi saya tentu pikir-pikir.
Tidak memungkinkan uang sebanyak itu akan saya keluarkan setiap kali harus ke kantor. Bisa morat-marit urusan keuangan nanti. Saya akan memilih opsi kendaraan lain jika memungkinkan.
Konsekuensinya tentu saya harus menyiapkan waktu lebih banyak untuk perjalanan menggunakan moda kendaraan lain. Angkot, misalnya. Ya, ojek online saat ini masih menjadi solusi menghemat waktu.
Kementerian Perhubungan memang sedang menggodok aturan ojek daring yang ditargetkan selesai pada Maret 2019. Salah satu fokusnya adalah soal tarif yang diatur berdasarkan batas atas dan bawah agar mitra pengemudi memiliki pendapatan lebih baik lagi.
Urusan pengaturan tarif ojek daring memang persoalan dilematis. Ojek daring tidak termasuk sebagai angkutan umum. Secara hukum, skema tarifnya semestinya tidak bisa diatur pemerintah.
Namun, kepada siapa para mitra driver mengadu jika pendapatan mereka kecil lantaran tarif yang ditetapkan perusahaan aplikator (dirasa) terlalu kecil? Tentu mereka mengadu kepada pemerintah.
Harus ada win-win solution. Banyak pendapat mengatakan kenaikan tarif bisa mengakibatkan blunder. Driver bukannya bertambah pendapatan tapi justru mengalami penurunan pendapatan karena kehilangan konsumen. Pendapat yang sangat masuk akal.
Ini berkaca pada naiknya tiket pesawat terbang yang mengakibatkan turunnya penumpang yang cukup signifikan. Ribuan penerbangan dibatalkan karena kebijakan bagasi berbayar. Penumpang dari Bandara Husein Satranegara turun hampir 14 persen.
Membandingkan turunnya penumpang pesawat dengan penumpang ojek online mungkin tidak seratus persen tepat. Penumpang pesawat banyak untuk tujuan liburan yang sifatnya bisa ditunda, tapi ojek online kini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari.
Bagi sebagian orang transportasi menduduki pos tertentu yang besarannya sudah tidak bisa diotak-atik. Konsumen yang tidak mungkin menambah budget transportasi hingga dua kali lipat, acara yang paling masuk akal adalah beralih kepada transportasi lain.
Namun cerita bisa berbeda ketika aplikator kembali memberikan subsidi kepada driver melalui beragam promo diskon yang diberikan kepada konsumen. Seperti awal-awal ojek online dulu booming, konsumen hanya membayar setengah tarif. Sisanya dibayarkan oleh aplikator.
Konsumen tidak menjerit, mitra driver bisa meningkatkan pendapatan. Tapi secara logika bisnis, hal ini mungkin tidak bisa dilakukan terus-menerus. Kembali lagi, ini menjadi dilema.
Apapun keputusan Kementrian Perhubungan nanti, semoga bisa membuat semua pihak tersenyum. Driver bisa tersenyum dengan penghasilan yang layak, dan konsumen tak harus menjerit karena merogoh dompet lebih dalam untuk kebutuhan transportasi sehari-hari.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.d