REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endro Yuwanto *)
"Omong kosong Industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (2016, in USD): 1.US 511B, 2.Cina 451B, 3.Jepang 165B, 4.Jerman 118B, 5.Korea 91B, 11.Taiwan 33B, 14.Australia 23B, 24.Malaysia 10B, 25.Singapura 10B, 43.Indonesia 2B. Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin."
Cuitan pendiri sekaligus CEO Bukalapak Achmad Zaky di Twitter soal bujet minim anggaran riset dan pengembangan (Research and Development/R&D) negara kita tengah pekan ini sempat viral di antara warganet. Mungkin karena ada kalimat 'presiden baru' di situ. Padahal soal R&D yang disampaikan Zaky, menurut saya, sebenarnya sangat perlu meski bukanlah barang baru.
Dari data yang saya catat, untuk anggaran R&D yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 hanya sekitar 0,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini. Anggaran Dana Riset Nasional yang ditetapkan pada APBD 2018 sebesar Rp 24,9 triliun. Untuk APBN 2019, anggaran R&D kurang lebih masih sama.
Selintas, angka ini terlihat besar. Tapi sayangnya, angka itu kecil karena tersebar di berbagai kementerian.
Khusus Kemenristekdikti, ada alokasi sebesar Rp 41,3 triliun yang diperuntukan bagi keseluruhan aktivitas kementerian. Kemenristekdikti menganggarkan biaya riset dan inovasi ‘hanya’ sebesar Rp 1,7 triliun atau sekitar 4,2 persen dari total anggaran yang diterima.
Anggaran 0,2 persen dari PDB tersebut tentu terbilang minim dan sangat kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk di Asia. Seperti Malaysia yang kini sudah mencapai 1,25 persen, Singapura (2,20 persen), Cina (2,0 persen), Jepang (3,60 persen), dan Korea Selatan (4,0 persen).
Anggaran minim R&D sudah berlangsung bertahun-tahun. Sepertinya, persentase anggaran kian mengecil sejak masa reformasi.
Keberpihakan pemerintah bisa menjadi kata kunci pembeda dan penentu R&D. Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, saat menjadi menristek 1978-1998 dan lalu menjadi presiden 1998-1999, terlihat jelas keberpihakannya. Sehingga, banyak industri strategis yang bermunculan dan mempunyai kualitas yang bagus.
Namun keberpihakan itu kurang ditopang undang-undang sebagai landasan. Sebab, jika sebuah program hanya bertumpu pada orang, maka program itu berisiko hilang seiring berakhirnya masa kekuasaan seseorang. Dan itulah yang terjadi dengan sektor R&D kita.
Persoalan ini sebenarnya sudah banyak dikeluhkan oleh para peneliti Tanah Air. Sudah menjadi rahasia umum. Hampir sebagian besar peneliti mengeluhkan minimnya dana riset sampai nasib hasil karya mereka yang hanya mentok pada purwarupa dan temuan mereka tak bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Dengan kata lain, daya serap hasil R&D kita juga sangat rendah.
Penelitian-penelitian dari berbagai institusi riset pun menumpuk di ruang sunyi. Padahal, jika diaplikasikan, tentu akan sangat bermanfaat. Ini terjadi salah satunya karena industri masih berorientasi pada hasil penelitian asing atau yang lebih memprihatinkan adalah jika industri kita hanya menjalankan lisensi pihak luar.
Tak heran bila beberapa para peneliti kita memilih 'kabur' ke luar negeri atau malah mengejar-ngejar dana hibah penelitian dari asing. Tentu, masih banyak pula penelti yang mencoba bertahan dengan dana minim. Misalnya sejumlah peneliti di lembaga riset negara, semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka tetap berjuang di tengah keterbatasan dan selalu berharap pemerintah lebih concern pada lembaga penelitian milik sendiri.
Sering saya jumpai peneliti di Indonesia yang masih militan memegang kata-kata atau pesan Habibie, "Sekecil apa pun hasil riset kita, itu milik anak bangsa sendiri, daripada beli paten ke negara lain, tetap punya orang lain, bukan milik kita sendiri."
Selain anggaran yang minim, sektor riset di Indonesia juga masih menghadapi persoalan lain. Negara kita memiliki rapor yang cukup buruk dalam bidang R&D. Tercatat dalam laporan Global Innovation Index 2017, dari 127 negara Indonesia menempati posisi ke-82. Singapura menduduki posisi tujuh besar, sementara Jepang di posisi ke-14, dan Korea Selatan berada di posisi ke-11.
Laporan ini lebih mengungkapkan tendensi sebuah negara dalam melakukan riset dan pengembangan. Dari sini terlihat, minat Indonesia dalam melakukan R&D memang sangat kecil. Walaupun anggaran dan dana memang selalu menjadi polemik, tetapi ada faktor lain yang semestinya diperhatikan. Yaitu minat terhadap riset dan pengembangan, serta budaya berinovasi yang sepertinya kurang.
Peran pemerintah
Jelas, seperti cuitan Zaky, peran pemerintah sangat diperlukan dalam bidang R&D, tak melulu soal dana juga. Pemerintah agaknya perlu menggariskan R&D agar produk yang dihasilkan bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dengan lebih fokus pada sejumlah faktor tertentu yang dianggap strategis, tentu akan bisa meningkatkan daya saing riset Indonesia.
Sejumlah negara saat ini sudah menentukan fokus sektor yang akan digarap lebih serius. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, pada masa awal pemerintahan Presiden Bill Clinton, ia mengumpulkan puluhan pakar di lintas bidang. Mereka berdiskusi untuk menentukan sektor yang perlu digarap lebih serius agar AS tetap memimpin dunia di masa depan.
Akhirnya, pada saat itu AS menentukan tiga hal, yaitu teknologi informasi (TI), bioteknologi, dan energi. Tiga hal ini menjadi garapan paling serius dibanding bidang-bidang lainnya. Tak heran jika saat ini semua perusahaan besar TI yang ada dunia berada di AS. Ini bukan terwujud begitu saja.
Langkah yang dilakukan Pemerintah AS, tak ada salahnya dilakukan di Indonesia. Para peneliti dan pemerintah bila perlu mengidentifikasi sektor apa yang bisa digarap lebih serius agar kita mempunyai keunggulan atau spesialiasi yang tak dimiliki negara lain. Sebab, tidak mungkin satu negara unggul di semua bidang.
Kembali ke cuitan Zaky, pemilik salah satu marketplace terbesar di Indonesia, itu pun mengungkapkan, tujuan dari tweetnya adalah menyampaikan fakta bahwa dalam 20 sampai 50 tahun ke depan, Indonesia perlu berinvestasi di riset dan SDM kelas tinggi. Jangan sampai kalah dengan negara-negara lain. Sebab, R&D adalah titik pembeda antara negara maju dan negara miskin.
Ini agaknya bukan harapan Zaky seorang. Tapi juga harapan saya, para peneliti, Habibie, dan tentu saja harapan seluruh rakyat Indonesia.
*) Penulis adalah Jurnalis Republika.co.id
Blog penulis: www.menulisindonesia.id