Rabu 27 Mar 2019 04:38 WIB

MRT dan Momentum Beralih ke Transportasi Massal

Sekalipun sarana sudah memadai tapi maukah kita beralih ke transportasi massal?

Dwi Murdaningsih
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Transportasi di Jakarta memasuki 'peradaban baru'. Moda Raya Terpadu (MRT) yang direncanakan bertahun-tahun lalu akhirnya kini sudah bisa bisa digunakan. Pada Ahad (25/3) Presiden Joko Widodo meresmikan MRT Jakarta rute Bundaran HI-Lebak Bulus.

Perjalanan dengan MRT pada rute tersebut membutuhkan waktu 30 menit. Waktu yang terbilang sangat singkat dibandingkan menggunakan moda kendaraan lain. Katakanlah mobil pribadi atau motor.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memastikan pembangunan MRT tahap kedua akan dimulai akhir Maret 2019.  MRT tahap pertama yang baru diresmikan kemarin memiliki panjang 13 kilometer. Sementara mebangunan fase kedua Bundaran HI-Stasiun Jakarta Kota sepanjang delapan kilometer.

Selanjutnya, kata dia akan dibangun kendaraan berbasis rel MRT tahap ketiga Cikarang-Balaraja dengan panjang lintasan 78 Km. Total, akan ada lintasan sepanjang 100 Km. Lintasan ini diharapkan membuat Jakarta tak lagi macet pada 2024 atau 2026.

Persoalan kemacetan Jakarta adalah hal yang pelik. Satu tahapan transportasi umum sudah selesai dibangun. Untuk mengatasi masalah kemacetan selanjutnya diperlukan adanya kemauan untuk berlaih dari transportasi peribadi menuju transportasi umum.

Tentu masyarakat boleh memilih menggunakan kendaraan pribadi atau umum. Banyak pula alasan rasional mengapa warga masih menggunakan kendaraan pribadi. Mobilitas misalnya. Banyak yang merasa lebih praktis menggunakan kendaraan pribadi karena harus berpindah-pindah.

Menggunakan transportasi umum boleh jadi membuat mobilitas menjadi tidak praktis atau pengeluaran menjadi lebih besar. Namun, setidaknya pemerintah sudah menyediakan banyak pilihan untuk beralih dengan kendaraan umum.

MRT yang kalau dilihat stasiunnya dan armadanya begitu 'wow', cukup memuaskan espektasi bagi penggunanya. Jakarta juga sudah memiliki TransJakarta yang armadanya kian bertambah. Selain itu, jangan lupakan di Jakarta juga masih tersedia kereta commuter (KRL) yang bisa menampung penumpang dalam skala massal.

Yang masih menjadi pekerjaan rumah selanjutnya adalah integrasi transportasi di Jakarta, bagaimana warga bisa berpindah dengan mudah (dan murah) dari MRT menuju halte Transjakarta atau menuju stasiun KRL. Pekerjaan ini sudah mulai dikerjakan oleh Gubernur Anies Baswedan dengan program Jak Lingko. Jak Lingko mengintegrasikan pembayaran moda angkutan di Jakarta, yang mencakup bus TransJakarta, MRT, KRL, RoyalTrans, MetroTrans, MiniTrans, dan MikroTrans.

Pertanyaan selanjutnya, maukah kita beralih ke transportasi massal? Sejatinya kemacetan Jakarta tidak akan berakhir jika jumlah kendaraan pribadi tetap memenuhi jalanan ibu kota. Kalau bukan dimulai dari sekarang, kapan lagi kita akan ikut berupaya mengurangi kemacetan Jakarta?

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement