REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Saya tak pernah menyadari betapa dahsyatnya dampak ucapan terima kasih di pidato-pidato kenegaraan. Bahkan saya jarang sekali menuliskan ucapan terima kasih itu dalam bentuk berita. Saya menganggapnya sebagai bagian dari pembukaan pidato yang tak lebih dari sekadar basa basi tak berisi.
Ini mungkin terjadi ketika saya selama tiga tahun berturut-turut meliput kegiatan Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir setiap hari dan hampir di setiap pidato kenegaraan, ucapan terima kasih jadi ritual yang tak ketinggalan. Saya sampai hafal betul pola pidato SBY waktu itu. Setelah diawali dengan salam, SBY akan mengkhususkan satu-dua paragraf untuk berterima kasih secara khusus pada pihak-pihak yang jadi objek pidatonya. Selalu seperti itu, baik pidato dengan teks maupun tanpa teks.
Jika tamu yang diundang adalah guru, ia akan berterima kasih mulai dari Menteri Pendidikan sampai guru-guru honorer yang bahkan tak hadir dalam acara kepresidenan. Jika acara yang dihadirinya adalah pengusaha, ia juga akan melakukan hal yang sama dan berterima kasih pada mereka. Begitu pula ketika kunjungan kerja ke daerah, ia berterima kasih kepada kepala desa, petani, nelayan, dan warga yang hadir saat itu. Tak jarang, ia menyebutkan nama-nama tertentu dan secara khusus berterima kasih pada mereka.
Tapi seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ucapan terima kasih itu hampir tak pernah saya tuliskan dalam bentuk berita. Hingga suatu hari, di istana negera, SBY berpidato yang dalam pembukaannya ia berterima kasih pada wartawan yang meliputnya selama ini. Ucapan terima kasih itu membekas hingga sekarang. Senang rasanya ketika kerja keras diapresiasi dan dihargai meski hanya dalam bentuk ucapan terima kasih. Setidaknya waktu itu saya merasa dimanusiakan dan bukan dianggap pelengkap apalagi robot yang beredar dari pagi hingga malam di kawasan istana kepresidenan. Mungkin ini alasannya terima kasih SBY menjadi ‘template’ yang selalu muncul dalam pidatonya karena ternyata kata terima kasih punya dan mengalirkan rasa.
Lalu, saya pun kembali diajarkan tentang makna terima kasih dan dampaknya yang luar biasa ketika Moda Raya Terpadu (MRT) diresmikan pada Maret lalu. Sedikit pengingat, ada beberapa drama yang mewarnai babak baru transportasi Jakarta itu mulai dari drama teknis pengoperasian hingga upaya-upaya tunjuk jari siapa yang paling berjasa dalam proses pembangunan MRT.
Di tengah kebisingan itu, saya harus angkat topi dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang mengambil jalan tengah yang bisa menyenangkan banyak pihak. Bagi saya, senjata ampuh yang dikeluarkan Anies adalah ucapan terima kasihnya. Dengan sangat rinci dan detail, Anies mengucapkan terima kasih kepada pejabat baik ditingkat pusat hingga provinsi. Ia pun mempertajam ucapan terima kasihnya itu dengan menyebut satu per satu nama Gubernur DKI Jakarta yang pernah menjabat dan terlibat proses pembangunan MRT. Yang tak kalah penting, Anies juga berterima kasih kepada para pekerja pembangunan MRT.
…. Saya sudah meminta kepada Direksi PT. MRT agar mencatat setiap nama yang terlibat, sekecil apapun termasuk para pekerja paling operasional. Dokumentasikan semua, dan izinkan kami, bangsa Indonesia, mengenal orang-orang yg bekerja keras dalam sunyi….. Ribuan bertepuk-tangan. Izinkan saya menegaskan bahwa tepuk tangan itu sesungguhnya untuk Anda, untuk tiap jiwa yg bekerja dalam senyap.
…. Kami yg berdiri di atas panggung, gelintiran jumlahnya, tak sebanding dengan Ibu-Bapak yg ratusan ribu jumlahnya yg bekerja tak tampak, jauh dari sorotan publik. Atas nama rakyat Jakarta, saya mengirimkan rasa terima kasih dan rasa hormat pada Ibu, Bapak dan Saudara semua. Semoga tiap butir keringat itu akan dicatat sebagai amal shaleh, dan setiap kemudahan yang dirasakan oleh pengguna MRT akan dicatat sebagai amal jariyah bagi Anda semua.
Di satu sisi, mungkin para pekerja pembangunan MRT itu merasakan hal yang sama seperti saya ketika pejabat publik secara khusus berterima kasih atas kerja keras yang dilakukan selama ini. Tapi di sisi lain, ucapan terima kasih itu punya makna dan dampak lain. Ucapan terima kasih tak lagi sekadar apresiasi tetapi telah menjadi senjata paling ampuh untuk mengatasi drama dalam bernegara.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id