REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah*
Kesal dan marah adalah hal pertama yang terjadi begitu membaca kasus Audrey. Sebuah kasus yang sedang ramai di media sosial dengan tagar #JusticeforAudrey. Tidak apa-apa, sebagai kakak, adik ataupun orang tua terlebih sebagai manusia hal yang wajar marah terhadap pelaku penganiayaan Audrey.
Siswi SMP bernama Audrey, berdasarkan laporan awal dari sang ibu, dicegat di tengah jalan, ditendang, dipukul, diseret dan kepalanya dibenturkan ke aspal. Bahkan disebutkan kemaluannya ditusuk hingga menimbulkan pembengkakan.
Keterangan polisi berikutnya, juga hampir sama hanya saja kasus ini mulai terang benderang. Pengeroyokan terhadap korban disebutkan terjadi pada 29 Maret 2019 di dua tempat berbeda, yakni di Jalan Sulawesi, Kecamatan Pontianak Kota dan Taman Akcaya, Jalan Sutan Syahrir Pontianak, Kalimantan Barat.
Audrey yang baru saja pulang sekolah dijemput seorang temannya untuk pergi ke rumah saudara sepupunya. Kemudian korban bersama temannya itu pergi keluar dengan menggunakan sepeda motor. Korban selanjutnya dikuntit dan kemudian dicegat pelaku dengan menggunakan dua sepeda motor.
Aksi kekerasan terjadi dimana pelaku disiram dan kemudian rambutnya ditarik hingga jatuh ke aspal. Salah seorang pelaku langsung menyiramkan air ke wajah korban. Rambutnya ditarik dari belakang hingga terjatuh ke aspal. Setelah terbaring di jalan, pelaku lain menginjak perut korban dan membenturkan kepalanya ke aspal.
Korban berhasil melarikan diri menuju Taman Akcaya. Para pelaku lantas mengejar korban lagi dan setelah berhasil mencegat kembali pelaku menendang perut korban. Aksi penyiksaan tersebut menarik perhatian orang dewasa yang kemudian melerainya.
Di sini kemudian terjawab, bahwa kasus ini dipicu saling balas komentar di media sosial. Korban ternyata pernah mengomentari ujaran salah satu pelaku di media sosial. Pelaku dan gerombolannya pun naik pitam dan beramai-ramai menyelesaikan masalah mereka di dunia nyata dengan cara mereka sendiri.
Tentu, sebagai seseorang yang waras kita mengutuk dan bersumpah serapah. Apalagi media ramai-ramai membeberkan wajah pelaku dan aksinya di kantor polisi. Seakan-akan tidak ada penyesalan terhadap aksi kejahatan yang mereka lakukan. Apalagi, bila meminjam kata seorang kawan,"melihat aksinya selfie dan bikin boomerang di kantor polisi bikin eneg campur murka,"
Namun sesungguhnya aksi kekerasan ini bagaikan puncak gunung es terhadap hal serupa. Bila kita bolak-balik membaca di laman google aksi hampir mirip-mirip banyak terjadi.
Ragam lakunya sama, perempuan, lebih dewasa, mencegat beramai-ramai dan kemudian melakukan aksi kekerasan. Lalu apa yang berbeda dari kasus Audrey?
Lambang Kesucian
Aksi Audrey berbeda karena berdasarkan keterangan awal pengakuan Ibu Audrey bahwa pelaku menusukkan jari ke kemaluan. Beragam akun media sosial, seperti @Zianazafura, @syarifahmelinda dan akun instagram @its.chelsy mengabarkan aksi pelaku.
Murka dunia maya pun bermunculan melihat aksi keji ini, apalagi selama ini keperawanan seseorang dianggap lambang kesucian. Entah dari mana ide pelaku ini muncul bila memang aksi tersebut benar dilakukan. Namun penulis teringat pada kasus gerombolan Hello Kitty. Kasus yang terjadi di 2015 ini bahkan lebih keji dimana pelaku memasukkan botol ke dalam kemaluan korban.
Belum lagi kasus amat kejam lainnya dimana Enno Parinah, yang sebenarnya terhitung perempuan dewasa, dimasukkan cangkul ke dalam kemaluan pelaku.
Lalu pantaskah bila kekerasan tiga anak ini layak dimasukkan ke kategori orang dewasa, sementara ada ratusan kasus serupa? Sebenarnya yang lebih layak menjawab itu adalah para pakar hukum. Apalagi bila membandingkan dengan hukum di Amerika Serikat yang 'menghukum' remaja walau prosesnya amat panjang dan hati-hati.
Penulis hanya bisa katakan apa yang dilakukan tiga remaja itu, bersama dengan aksi-aksi serupa, adalah kegagalan orang dewasa gagal mendidik anak-anak ini. Peran orang dewasa khususnya orang tua patut dipertanyakan ketika mereka melakukan aksi ini.
Bentuk kegagalan ini bisa dilihat juga dari kepanikan para orang dewasa melihat kasus ini. Seperti Pemerintah Kota Pontianak menerjunkan tim untuk menyelidiki kasus pengeroyokan ini. Orang dewasa berperilaku seperti pemadam kebakaran alih-alih sedari awal melakukan tindakan preventif.
Pun dengan aksi merundung para pelaku di media sosial, lewat penyebaran foto dan akun pelaku. Pelaku bukannya jera malah berasyik-asyikkan berswafoto ria.
Artinya ramai-ramai menghakimi di media sosial tak bisa menjadikan efek jera pelaku. Bila harus seperti itu apakah masyarakat tak lagi percaya dengan penanganan pihak kepolisian? Saking geramnya sampai seakan-akan kita tak percaya dengan polisi. Lalu bagaimana membuat efek jera?
Bisa dengan hukuman, namun layakkah mereka disamakan dengan orang dewasa? Bila iya, maka publik tak boleh berpikir pendek. Hukum bersifat tetap dan berlaku untuk semua, meski tergantung ringan beratnya berdasar keputusan hakim.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id