Ahad 14 Apr 2019 08:27 WIB

Memutus Siklus Perundungan

Pelaku pun menjadi korban bullying yang baru.

Dwi Murdaningsih
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Sepekan terakhir, publik dihebohkan dengan kasus pengeroyokan seorang siswi SMP berinisial AU di Pontianak. Netizen geram atas kasus ini. Mereka pun menyuarakan tagar #justiceForAudrey sebagai dukungan.

Siswa AU dikeroyok oleh segerombolan siswa-siswa SMA. Hingga Rabu (10/4) siang, sudah lebih dari 2,4 juta menandatangani petisi meminta keadilan untuk para pelaku penganiayaan ini. Proses hukum kini sedang berjalan.

Kasus ini mengingatkan betapa perundungan atau bullying masih menjadi hal yang dekat dengah kehidupan. Bullying pun beragam bentuknya. Yang teranyar menimpa AU adalah perundungan secara fisik.

Netizen memberikan dukungan kepada AU supaya bisa segera pulih. Di sisi lain, tak sedikit netizen juga penulis anggap sudah ikut melakukan perundungan kepada terduga pelaku. Perundungan verbal dan cyberbullying.  Akun milik beberapa anak yang diduga merupakan pelaku diretas.

Si pelaku pun 'dibully' oleh netizen  yang geram dengan aksi tersebut dengan kata-kata kasar.  Perundungan pun seakan menjadi siklus, berputar. Si A mem-bully B, B lalu di-bully oleh C dan seterusnya.

Data UNICEF tahun 2014 menyatakan delapan dari 10 anak mengalami bullying. Kasus bullying di Indonesia menempati urutan atau posisi keempat dalam kasus kekerasan anak.

Urutan pertama kasus kekerasan pada anak ditempati oleh kasus anak berhadapan dengan hukum, kedua terkait dengan keluarga atau pengasuhan alternatif, ketiga cyber pornografi dan keempat perundungan di dunia pendidikan.

Saat mengobrol atau membaca komentar dengan orang-orang di sekitar penulis, banyak yang setelah kasus ini terungkap kemudian mereka bercerita: "Dulu aku dipermalukan kakak kelas di depan umum saat ada acara di sekolah, sampai trauma, itu bullying bukan ya?"

Psikolog Tika Bisono mengatakan kita perlu memahami perbedaan bullying atau perundungan dengan perseteruan. Merundung ada intensi menghancurkan, dilakukan secara terus menerus. Jadi sifatnya destruktif. Sementara, perseteruan jelas, misalnya berkelahi.

Semua pihak harus berperan aktif dalam mencegah perundungan. Perundungan sungguh memiliki sampak psikologis yang besar.  Korban sangat perlu pendampingan untuk memulihkan semangat dan energi positifnya. Pelaku perundungan juga butuh pendampingan agar tidak mengulang kembali kesalahan yang diperbuat.

Kita, bisa mencoba memulai memutus siklus perundungan ini dengan tidak ikut mem-bully pelaku perundungan. Akan sulit mengatakan setop bullying, tapi kita masih ikut mem-bully pelaku. Saat kita ikut mem-bully pelaku, jangan-jangan sifat ‘merundung’ masih ada di dalam diri kita. Ini yang perlu kita buang jauh-jauh.

Kasus ini juga mengingatkan saya betapa tidak mudah membesarkan anak. Sebagai orang tua kita harus mampu mengajarkan anak harus bisa melakukan proteksi dari kemungkinan bullying

Anak harus dicegah supaya tidak di-bully atau menjadi pem-bully. Anak berlu bersosialisasi, diajarkan untuk meminta maaf ketika berbuat salah.  Orang tua perlu terus memberikan edukasi mengenai bullying, ketika anak mengalami perundungan dan apa yang harus dilakukan. Batasan mana yang sudah dianggap sebagai katagori perundungan, mana yang hanya bercanda.

Sekolah dan para guru perlu melakukan sosialisasi mengenai bullying sejak dini. Sebab, konsep senioritas pada umumnya menghadirkan potensi bullying karena satu pihak merasa lebih tinggi dibandingkan yang lain.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement