REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*
Pada debat pamungkas kedua calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) pada Sabtu (14/4), cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno menyatakan akan menyetop impor. Menghentikan impor ini adalah salah satu upaya untuk menekan defisit neraca perdagangan yang dari bulan ke bulan terus membengkak.
Pertanyaannya, mampukah kita menyetop impor dan berdiri di atas kaki sendiri?
Bisa dong. Foto black hole saja bisa didapat, masa sekadar menghentikan impor saja tidak bisa. Namun, tentu ada konsekuensinya.
Menyetop impor tidak mungkin dilakukan dengan mudah seperti menutup keran air. Perlu beragam kebijakan ditambah ketegasan dalam melakukannya. Pasalnya, negeri ini tidak memproduksi sendiri semua kebutuhannya.
Contohnya yang paling dekat dengan masyarakat adalah kedelai. Petani di Indonesia masih enggan menanam kedelai karena dianggap tidak menguntungkan. Mereka lebih memilih menanam jagung atau padi secara bergantian. Padahal, kebutuhan kedelai cukup tinggi, salah satunya untuk pembuatan tempe.
Produktivitas kedelai dalam satu kali panen tak meguntungkan petani dari segi ekonomi, sementara perlakuannya lebih sulit. Secara kasar, produktivitas rata-rata kadang kedelai sebanyak satu ton per hektare dengan ongkos produksi hingga Rp 4 juta per hektare. Sementara, jagung bisa menghasilkan enam ton per hektare dengan ongkos produksi sampai Rp 6 juta. Jika dijual dengan harga yang sama, tentu petani lebih memilih menanam jagung.
Jika sudah begitu, swasembada kedelai sulit terjadi karena produksi sendiri tak mencukupi kebutuhan se-Indonesia. Sementara, permintaan di pasar tinggi. Solusinya? Tentu saja impor.
Sepanjang 2018 kemarin, impor nasional tercatat sebesar 188,63 miliar dolar AS atau tumbuh 20,15 persen (yoy). Badan Pusat statistik (BPS) mencatat, impor terbesar adalah impor bahan baku atau penolong sebesar 141,49 miliar dolar AS atau tumbuh 20,06 persen (yoy). Impor bahan baku mendominasi total impor 2018 sebesar 75 persen.
Porsi impor lain adalah barang modal sebesar 29,96 miliar dolar AS atau tumbuh 19,54 persen (yoy). Porsinya dalam struktur impor adalah sebesar 15,88 persen. Kemudian, impor barang konsumsi mencapai 17,18 miliar dolar AS atau tumbuh 22,03 persen (yoy) dengan porsi sebesar 9,11 persen dari total impor.
Untuk menyetop impor, pemerintah perlu memastikan kebutuhan masyarakat akan suatu produk terpenuhi. Setelah itu, pemerintah harus memastikan ada surplus atau selisih yang cukup antara kebutuhan dan pasokan produk dimaksud sebagai cadangan jika ada kejadian luar biasa. Jika dua hal ini terpenuhi, maka pemerintah tidak perlu mengimpor produk itu untuk mencegah penumpukan pasokan.
Impor memang domain pemerintah dengan melihat jumlah pasokan dan permintaan. Konsekuensi yang harus dihadapi jika menghentikan impor adalah kenaikan harga yang begitu tinggi. Lalu siapa yang merasakan dampaknya? Siapa lagi kalau bukan masyarakat.
Keputusan impor bukan kebijakan yang diambil dalam satu kali pertemuan. Ada situasi tertentu yang harus dipertimbangkan sebelum izin impor diteken. Data pangan yang akurat harus hadir dalam pertemuan sebelum keputusan impor dibuat.
Perlu belajar dari Jepang yang selama 200 tahun mengisolasi diri dari dunia luar dengan politik Sakoku. Di satu sisi, pemerintah Jepang pada masa itu berhasil meningkatkan nasionalisme dalam diri setiap warga negaranya. Namun di sisi lain, negara menjadi terbelakang dan tertinggal dibandingkan negara lainnya. Belum lagi hubungan diplomasi dengan negara lain yang bakal 'terganggu' jika itu dilakukan.
Jika impor benar disetop, dan rakyat harus bersedia memproduksi dan mencadangkan kebutuhannya sendiri, kita harus siap menerima segala konsekuensinya. Jika produksi minim, petani harus ikhlas menjual hasil pertanian dengan harga murah supaya tetap terjangkau oleh masyarakat.
Hilangnya keseimbangan antara pasokan dan permintaan akan menciptakan chaos di pasar. Belum lagi permainan pelaku pasar yang menimbun barang agar harga menjadi lebih tinggi lagi.
Namun, Sandi mengatakan menyetop impor saat panen. Wah, berarti kalau sedang tidak panen alias tengah berproduksi, pemerintah bakal tetap impor, Pak?
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id