REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat menyatakan hingga 19 April 2019, tercatat ada 12 orang petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia terkait pelaksanaan Pemilu 2019. Sebagian besar korban meninggal akibat kelelahan.
Jumlah 12 orang tersebut belum termasuk petugas yang meninggal di luar Jabar. Di Malang, Jawa Timur, misalnya, ketua KPPS mencoba bunuh diri karena kelelahan dan stres. Stres muncul lantaran tekanan saat memimpin kegiatan di TPS.
Angka itu juga belum termasuk petugas keamanan yang meninggal dunia karena kelelahan melakukan penjagaan terhadap proses pemungutan suara. Polri setidaknya kehilangan lebih dari 10 anggotanya karena kelelahan hingga sakit saat menjalankan tugas negara mengawal pesta demokrasi tersebut.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebut petugas KPPS yang meninggal dunia saat atau seusai bertugas terkait pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai pahlawan pemilu. Emil tidak sendirian. Kalau kita melihat percakapan di media sosial, ada banyak label serupa.
Ada pula yang mencibir dengan menyamakan beban tugas KPPS yang harus begadang demi penyelenggaraan pemilu dengan pekerjaan lain yang membuat pekerjanya terbiasa tidak tidur. Tentu saja, perbandingan apel dan tomat ini mengundang debat dari warganet di media sosial.
Kembali ke persoalan petugas KPPS meninggal dunia, saya merasa khawatir label pahlawan dan pejuang demokrasi akan meminggirkan kita dari persoalan sebenarnya, yakni beban pemilu yang berat. Tanpa bermaksud mengabaikan kerja keras para pejuang KPPS demi menyukseskan pemilu, pemungutan suara pada pesta demokrasi kali ini terasa berat. Beban berat ini dirasakan mulai dari pemilih hingga petugas KPPS dan aparat keamanan.
Bagi pemilih, beban berat ini terasa ketika harus melakukan pencoblosan. Ada lima surat suara (empat surat suara khusus di DKI Jakarta) berukuran besar yang harus dicoblos di dalam kotak berukuran kecil.
Pemilih harus berhati-hati membuka kertas suara agar tidak robek. Belum lagi mencari nama yang harus dipilih.
Alhasil, saya menjumpai sejumlah pemilih yang tidak mencoblos semua kertas. Ada pemilih yang hanya mencoblos calon presiden. Ada yang calon presiden dan calon legislatif DPR, tetapi mengabaikan tiga kertas lainnya.
Ada pemilih yang mengatakan menghabiskan terlalu lama di dalam kotak suara kadang memunculkan perasaan tidak enak terhadap pemilih lain yang sedang mengantre. Risiko dari banyaknya kertas suara dan ukuran yang besar adalah antrean yang lebih lama dibandingkan pemilu sebelumnya.
Itu bagi pemilih. Beban pemilih tersebut secara tidak langsung akan memengaruhi beban petugas. Semakin banyak pemilih kebingungan atau antrean yang panjang akan membuat kerja petugas KPPS semakin bertambah.
Selain itu bagi petugas, beban yang paling berat adalah ketika melakukan perhitungan surat suara. Tambahan satu surat suara, yakni pilpres, membuat waktu penghitungan surat suara berjalan lebih lama dibandingkan pemilu sebelumnya. Belum lagi, ada persoalan logistik.
Di Jakarta, dengan infrastruktur yang lebih baik dan surat suara ‘hanya’ empat buah, persoalan yang muncul mungkin 'hanya' kelelahan luar biasa dan tidak ditambah dengan masalah lain. Masalah lain ini seperti yang terjadi di daerah lain, infrastruktur yang belum menunjang hingga tekanan publik yang luar biasa.
Kasus percobaan bunuh diri di Malang menunjukkan ada tekanan publik yang berujung pada beban psikologis terhadap petugas KPPS. Dengan kondisi seperti ini, pemetaan soal kerawanan pemilihan umum seharusnya tidak hanya terkait dengan pengamanan, tetapi juga menghitung kemungkinan munculnya beban psikologis bagi petugas KPPS.
Hal yang perlu diingat, petugas KPPS merupakan pekerjaan sukarelawan. Ada yang bersedia melakukan pekerjaan tersebut karena adanya rasa nasionalisme.
Honor yang mereka terima dalam melakukan tugas tersebut bukanlah dalam jumlah luar biasa. Honor petugas KPPS, yakni Rp 550 ribu untuk ketua dan Rp 500 ribu bagi anggota KPPS. Jumlah tersebut belum termasuk potong pajak sebesar tiga persen.
Saat ini, sejumlah pengamat atau bahkan elite politik melempar wacana mengganti format penyelenggaraan pemilu. Pada lima tahun mendatang, pengamat dan elite menyarankan agar pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tidak lagi digabung.
Wacana tersebut lantaran pemilu legislatif menjadi kurang bergaung dibandingkan pemilu presiden. Di sisi lain, ketidakserentakan akan mengurangi jumlah kertas suara yang harus dicoblos oleh pemilih dan dihitung oleh petugas KPPS.
Akan tetapi, terkait beban kerja KPPS, hal yang patut dipertimbangkan bukan hanya pada surat suara yang lebih banyak pada pemilu kali ini. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah alokasi beban dengan jumlah petugas dan pembagian kerja. Mungkin, tujuh petugas KPPS dan dua petugas linmas tidak bisa sama rata diterapkan di semua wilayah.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id