Selasa 07 May 2019 05:16 WIB

Bulan Puasa, Masih Mau Saling Hujat?

Bulan puasa adalah garis demarkasi agar membuang angkara murka, dan mengajarkan sabar

Moh. Nashih Nasrullah
Foto: dok. Republika
Moh. Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah* 

Pengumuman hasil akhir Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei mendatang, akan menjadi titik krusial dalam perjalanan bangsa Indonesia. Bukan saja karena pada hari itu, negara ini akan memiliki presiden dan wakil presiden resmi terpilih, tetapi juga akan menentukan apakah kita mampu membuktikan sebagai bangsa yang besar. Bangsa yang menyelesaikan perselisihan dengan kekuatan akal dan bukan akal-akalan, bangsa yang kokoh di atas budi pekerti; tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai.

Saya memilih paragraf di atas bukan tanpa alasan. Menurut sebuah sumber, ada upaya untuk menciptakan instabilitas jika ternyata Rapat Pleno KPU 22 mendatang menyatakan kemenangan pasangan capres dan cawapres 01. Pihak tersebut memang bukan termasuk kalangan yang menganggap demokrasi adalah sistem bernegara terbaik, sebab sistem tersebut, dalam doktrin mereka, adalah tatanan thaghut yang tak bersumber dari Allah SWT.

Sejak awal pun, kelompok ini memang bukan kalangan yang peduli dengan hiruk pikuk pemilu, tetapi ‘kecurangan’ Pemilu 2019 yang dinarasikan dan dipropagandakan di berbagai kesempetan dan media, dijadikan sebagai momentum sekaligus justifikasi melakukan pergerakan melawan hukum, sementara di satu sisi, dalam pandangan mereka, rencana tersebut adalah bentuk perjuangan melawan kezaliman, rezim thaghut, dan kesewenang-wenangan. Sumber yang sama bahkan mengatakan, karena ketidaksetujuannya dengan seruan ‘bergerak’ kalangan jihadis, sumber saya sengaja tidak menyampaikan sebuah pesan yang secara khusus dikirimkan ‘ideolog’ melalui dirinya agar dengan harapan diteruskan kepada para loyalisnya.

Siapapun yang berakal sehat dan memiliki nurani tentu tidak ingin seruan ‘bergerak’ tidak benar-benar terjadi. Ini ranah aparat untuk mendeteksi dan melakukan pencegahan dini. Titik rawan Pilpres 2019 terletak pada kristalisasi kebencian. Pada level tertentu, kebencian tersebut sangat rentan dieksploitasi oleh campuraduk kepentingan dan lagi-lagi akan membawa jargon dan bendera agama yang cenderung low budget, tetapi high impact.  

Namun, Tuhan tampaknya mempunyai skenario penjagaannya tersendiri untuk Indonesia. Jarak waktu antara Pemilu 2019 dan bulan suci Ramadhan, tidak berselang jauh. Dalam konsepsi takdir, tentu hal tersebut tidak terjadi secara kebetulan karena segala sesuatu di muka bumi, sejatinya sudah digariskan sedemikian rupa. Seakan Tuhan hendak memberikan warning sederhana kepada bangsa ini : ”Sudahi kebencian dan perselisihan kalian sebab Pilpres, saatnya berpuasa.”

Puasa, menurut istilah Ahmad Syauqi, pujangga Mesir abad modern, dalam antologinya yang berjudul Aswaq adz-Dzahab, adalah media pelarangan yang disyariatkan. Larangan selama puasa tidak terbatas pada makan dan minum, tetapi mencakup pula menghentikan beragam bentuk kebencian, niat jahat, dan laku inkonstitusional yang melanggar kesepakatan bernegara.

Puasa, dalam ungkapan sastrawan bergelar amir as-syu’ara (pemimpin para pujangga) tersebut adalah garis demarkasi (al-hirman al-masyru’) agar pelaku salik membuang jauh-jauh nafsu angkara murka, mengajarkan kesabaran, dan mematahkan kesombongan. Tuhan, seolah meminta kita, bangsa Indonesia, untuk menyudahi kebencian yang tercipta dari pilpres kali ini, melalui puasa.

‘Skenario’ ini yang membuat saya semakin percaya, bahwa sejatinya, perjalanan bangsa Indonesia tak pernah lepat dari suluk ihsan, perjuangan tirakat wali-wali Allah yang mastur, para kekasih-Nya yang tak pernah muncul di ruang publik. Mereka memilih bermunajat agar bangsa kita selamat, di saat negara-negara lain di Timur Tengah sedang berada di tubir kehancuran, fail state.

Seandainya kemungkinan terburuk ‘pergerakan’ kalangan jihadis benar adanya (dan kita semua sangat mengutuk), maka rencana tersebut tidak hanya mencederai konsensus dalam bernegara, tetapi juga telah menodai kesucian agama itu sendiri. Para pengacau negara, siapapun itu dan dari kelompok manapun, mereka yang saya istilahkan, meminjam istilah Alquran, surah ar-ra’d ayat ke-17, adalah buih air yang akan tersisih dari masyarakat. Sejarah mencatat bagaimana upaya kaum ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri untuk mengubah ideologi negara selalu pupus.

Mengutip Imam at-Thabari, dalam tafsirnya melalui ayat ke-17 surah ar-Ra’ad di atas, Tuhan memberikan perumpaan atas pertarungan antara yang haq dan yang batil di muka bumi. Kebenaran pada dasarnya, akan menemukan jalannya. Begitu juga dengan yang batil. Kebatilan bakal pula mendapati dimensinya yang berseberangan sama sekali dengan entitas haq tersebut. 

Tuhan mendatangkan Ramadhan sebagai pintu kasih sayang, rahmat yang hanya diberikan kepada umat Muhammad SAW. Jadi, apakah kita masih hendak saling hujat di media sosial, dan bahkan benar-benar berperang antaranak bangsa sebab kekuasaan dan politik adu domba? Kalau saya sih tidak.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement