REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*
Setiap Ramadhan, sudah jamak jika harga-harga kebutuhan pangan naik. Tidak ada kamusnya di bulan Ramadhan terjadi inflasi rendah. Kenyataannya harga bahan pangan selalu naik, siapa pun presidennya.
Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pada April 2019 (sebulan sebelum Ramadhan, red) lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama dua tahun beruntun (2018 dan 2017). Tingkat inflasi pada April 2019 tercatat sebesar 0,44 persen.
Laju inflasi pada Mei dan Juni 2018 ketika terjadi Ramadhan dan Lebaran adalah masing-masing sebesar 0,21 persen dan 0,59 persen. Laju inflasi itu lebih rendah dari periode Mei dan Juni 2017 yang tercatat masing-masing sebesar 0,39 persen dan 0,69 persen.
Lonjakan inflasi pada April 2019 dipicu oleh kenaikan harga bumbu-bumbuan dan tarif angkutan udara. Harga bumbu-bumbuan yang mengalami kenaikan adalah bawang merah, bawang putih, cabai merah, telur ayam ras, tomat sayur, melon, tomat buah dan cabai rawit.
Ramadhan menjadi fenomena tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Ketika mayoritas masyarakat berpuasa dengan konsekuensi konsumsi makanan berkurang, justru yang terjadi permintaan bahan pangan melonjak.
Sesuai teori ekonomi pasar, ketika permintaan meningkat, maka harga akan ikut terdongkrak. Tetapi, dalam praktiknya di lapangan lonjakan harga pangan tidak hanya melibatkan produsen dan konsumen.
Masih ada satu lagi yang berperan, yakni para spekulan yang berada di antara produsen dan konsumen. Spekulan ini adalah mafia pangan. Mereka ini memanfaatkan momen puasa untuk mempermainkan harga.
Di Indonesia, peran mafia pangan dalam rantai distribusi pangan dan penentu harga masih cukup besar. Hal ini bisa dilihat dari jumlah kasus mafia pangan yang sedang ditangani oleh Kementerian Pertanian. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman akhir pekan kemarin mengungkapkan saat ini terdapat lebih dari 400 kasus mafia pangan yang ditangani Kementan dan 56 importir yang dimasukkan ke dalam daftar hitam.
Salah satu komoditas pangan yang terus bergejolak sejak beberapa bulan terakhir hingga kini adalah bawang putih. Untuk menstabilkan harga bawang putih berbagai cara telah ditempuh pemerintah, mulai dari mendatangkan bawang putih impor sebanyak 115 ribu ton hingga menggelar operasi pasar yang melibatkan perusahaan importir.
Meski berbagai upaya tersebut sudah dilakukan pemerintah, toh nyatanya harga bawang putih tak kunjung beranjak turun. Padahal, kebutuhan konsumsi pada Ramadhan dan Lebaran hanya berkisar 50 ribu ton.
Terkait tingginya harga bawang putih ini bahkan Mentan mengingatkan kepada para importir agar tidak melakukan kecurangan harga. Apabila terjadi kecurangan, pemerintah siap memberlakukan sanksi kepada importir berupa masuk ke dalam catatan hitam serta pencabutan izin impor secara permanen.
Tak hanya komoditas bawang putih saja yang dipermainkan harganya oleh para mafia pangan ini. Pada awal Maret lalu, saat melakukan audiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) sempat curhat soal mafia impor gula rafinasi. Bahkan APTRI saat itu menyebut keberadaan mafia impor gula ini sudah masuk ke semua sendi.
Selain bawang putih dan gula, sejumlah komoditas pertanian lainnya juga menjadi sasaran tembak para mafia pangan. Diantaranya adalah beras, cabai, daging sapi, telur ayam hingga pupuk.
Dengan populasi mencapai 265 juta jiwa, ketersediaan pangan nasional menjadi persoalan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini. Apalagi, Indonesia hingga kini belum bisa mencapai swasembada pangan untuk sejumlah komoditas pangan. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh para mafia pemburu rente.
Selama Indonesia belum bisa mencapai swasembada pangan, maka negara ini masih akan menjadi surga bagi para mafia pangan. Praktik mafia pangan amat jelas diamati dari sikapnya yang mengganggu tujuan swasembada pangan dan akan melakukan berbagai strategi untuk menghambatnya.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id