REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Gilang Akbar Prambadi (@gilangORI)
Redaktur Republika
Sahur pada tengah pekan ini benar-benar membuat penulis semakin mencintai sepak bola. Penulis benar-benar bahagia bisa diberi kepuasaan dalam menyaksikan olahraga si kulit bundar ini.
Lantas, apa hubungannya kegiatan sunnah di bulan Ramadhan dengan olahraga terpopuler di dunia tersebut?. Jawabannya sederhana.
Kenikmatan sahur bertambah kali-kali lipat karena di Eropa sana, dua klub Liga Primer Inggris, Liverpool dan Tottenham Hotspur berhasi melemparkan teladan positif ke rumah penulis melalui tv di ruang keluarga. Kalimat panjang yang baru Anda baca bukan sebuah peristiwa berlebihan. Rentetan tontonan keajaiban ini dimulai pada Rabu (8/5) dini hari WIB.
Sungguh, siapa mengira Liverpool yang sudah babak belur sehancur-hancurnya pada leg pertama semifinal Liga Champions atas Barca, malah bisa jadi finalis musim ini?. Siapa pula yang masih yakin Spurs bisa lolos dari markas Ajax Amsterdam dengan kondisi Mauricio Pochettino menangis bahagia?.
Untuk kasus Liverpool, beban agregat 0-3 plus dua pemain andalan mengalami cedera, Mohamed Salah dan Roberto Firmino jelas masalah besar. Terlebih, lawan yang dihadapi adalah Barcelona, langganan juara dalam sedekade terakhir.
Namun, the Reds dengan sangat dramatis bisa mengempaskan semua prediksi. Anfield boleh jadi menunjukkan keangkerannya kepada Barca dan fannya tapi tidak untuk penulis. Drama yang tersaji di atas rumput Anfield benar-benar menunjukkan, perjuangan tak boleh kendur. Skor 4-0, benar-benar terjadi, sesuai dengan apa yang Liverpool butuhkan untuk melenggang ke laga puncak.
Penulis ingat betul, sayur sup buatan mertua yang disantap saat sahur kala itu benar-benar terasa ganda nikmatnya usai melihat Liverpool berpesta. Luar biasa.
Ternyata, sepak bola kembali memberikan teladan lagi sehari berikutnya. Dengan menu berbeda, ayam goreng dan bayam, sahur penulis kembali berjalan indah ketika Spurs memenangkan laga dengan skor 3-2 di Johan Cryuff Arena. Agregat 3-3 berpihak kepada the Lilywhites karena unggul agresivitas gol tandang.
Sejak kecil, tepatnya saat duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, penulis sudah mengidentitaskan diri sebagai fan Manchester United (MU). Namun, status fan dari the Red Devils tersebut tak menyurutkan kebahagiaan penulis dalam menikmati langkah fantastis Liverpool dan Spurs. Dua tim ini adalah perusak langkah MU dalam beberapa musim terakhir di panggung domestik.
Namun rasa kesal kepada Liverpool dan Spurs hilang sesaat. Itu karena keduanya melakukan hal serupa yang pernah United perbuat di masa kecil penulis dulu, yakni, come back.
Masih terang dalam ingatan penulis ketika MU mampu bangkit dari tertinggal 0-1 menjadi unggul 2-1 melawan Bayern Muenchen pada final Liga Champions 1998/1999. Come back sensasional yang membuat hati ini tak pernah pindah ke tim lain. Sekalipun kini, kondisi pemilik Old Trafford sedang carut marut.
Penulis selalu yakin, sepak bola adalah dimensi lain bagi siapapun yang sedang terbelit rumitnya realitas. Bahkan, sepak bola itu sendiri punya dimensi lagi di dalamnya yang membuat kita juga sedikit lupa dengan kacaunya dimensi awal.
Dalam hal ini, bila disederhanakan, dimensi lain dari kehidupan penulis adalah United. Adapun keberhasilan Liverpool dan Spurs adalah dimensi berikutnya yang menolong penulis dari keresahan buruknya performa MU. Andaikan Liverpool dan Spurs adalah manusia, ingin rasanya mengucapkan terima kasih secara langsung. Terima kasih karena telah membuat sahur yang begitu berkesan kala itu.