REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christia Ningsih*
Datangnya bulan Ramadhan disambut suka cita umat Muslim di seluruh dunia. Akan tetapi seorang imam di Australia, Bekim Hasani, dari komunitas Islam Albania di Australia mengungkap kekhawatirannya.
Ia mengkhawatirkan bergesernya makna Ramadhan dari fasting alias puasa menjadi feasting alias berpesta. Bagaimana tidak, alih-alih memperdalam sisi spiritual selama bulan suci ini, banyak umat Muslim yang justru sibuk memikirkan makanan apa yang akan disantap saat berbuka dan sahur.
Euforia menyambut Ramadhan dilakukan dengan beramai-ramai makan ke restoran, kafe, atau mal dengan menu serba enak dan serba banyak. Meski tak ada larangan untuk makan enak, Al Quran mengajarkan kita untuk tidak bergaya hidup berlebihan termasuk dalam hal makanan.
Data dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2016 menempatkan Indonesia menjadi negara kedua penghasil sampah makanan terbanyak setelah Arab Saudi. Data itu menyebut pola konsumsi makanan masyarakat Indonesia yang buruk membuat produksi sampah makanan semakin naik setiap tahunnya.
Sekarang mari kita lihat data terkini. Volume sampah DKI Jakarta yang masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi pada hari pertama puasa Ramadhan tahun ini bertambah 864 ton. Berdasarkan data Unit TPST Bantargebang, total sampah yang masuk menjadi 7.864 ton.
Setahun lalu pada Ramadhan 2018, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat peningkatan produksi sampah selama empat persen akibat perubahan pola konsumsi masyarakat. Volume sampah naik dari 7.710 ton per hari menjadi 7.999 ton per hari saat Ramadhan.
Jenis sampah yang mengalami peningkatan yakni sampah rumah tangga seperti sisa makanan, plastik, dan pembungkus makanan. Itu baru di Jakarta.
Pada 2017 di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Puuwatu Kendari, peningkatan sampah selama Ramadhan mencapai 20 sampai 25 persen. Di Bandung, selama dua pekan pertama Ramadhan 2016 volume sampah di kota Bandung naik 20 persen.
Pada hari biasa, volume sampah di Kota Bandung mencapai 1.500 ton per hari. Volume sampah naik karena banyaknya orang buka bersama sehingga produksi sampah di restoran, kafe, dan mal meningkat.
Berkaca dari data-data di atas, melonjaknya volume sampah makanan di saat Ramadhan seolah sudah menjadi fenomena rutin tiap tahun di berbagai daerah. Jujur saja, sebagai konsumen kita memang kerap abai pada sampah-sampah makanan yang kita produksi setiap hari.
Di pikiran kita, yang penting sudah membayar dan perut kenyang. Masalah makanan bisa dihabiskan atau tidak itu urusan belakangan. Maklum, namanya orang berpuasa pasti sering 'lapar mata'. Semua yang terlihat enak langsung diborong.
Akhirnya karena kapasitas perut tak mencukupi, setumpuk makanan yang tak sanggup dihabiskan harus berakhir di tempat sampah. Wah, kok kita jadi semakin banyak nyampah di bulan suci begini?
Untuk memangkas produksi sampah makanan selama Ramadhan, ada baiknya kita dengarkan tips dari ahli nutrisi. Menurut ahli gizi UGM Susetyowati, saat berbuka makanlah sebanyak 50 persen dari kebutuhan makan sehari.
Usai shalat tarawih, makanlah sebanyak 10 persen dari kebutuhan makan sehari. Di waktu sahur, makanlah sebanyak 40 persen dari kebutuhan makan sehari.
Menurut penulis, membagi porsi makanan dalam kotak-kotak waktu tersebut bisa mengerem kita dari keinginan menyendokkan segunung makanan ke dalam piring. Dengan begitu, kita bisa ikut berkontribusi mengurangi volume sampah makanan.
Ini karena semua yang terhidang sudah terukur sesuai kapasitas perut setiap orang. Yuk, raih berkah Ramadhan dengan tidak makan minum berlebihan dan mengurangi kebiasaan membuang makanan.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id