Selasa 28 May 2019 02:38 WIB

Anies, Keranda, dan Amarah Warga

Ajakan baik Anies malah ditanggapi ejekan dari netizen

Esthi Maharani
Foto: dok. Republika
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani

Aksi massa pada 22 Mei memiliki berbagai cerita. Salah satunya tentang para korban yang terluka hingga yang meninggal dunia seperti Adam Nooryan. Usianya baru 19 tahun. Ia meninggal di RSUD Tarakan pada Rabu (22/5) pagi.

Ia adalah korban unjuk rasa yang terjadi tengah malam. Awalnya, unjuk rasa di depan Bawaslu Jalan MH Thamrin Selasa (21/5) malam berjalan damai dan selesai setelah shalat tarawih. Lalu menjelang tengah malam, muncul pribadi-pribadi tak dikenal di kawasan Tanah Abang dan Petamburan yang memancing konflik dan perseteruan.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyempatkan melayat korban di Masjid Al Mansyur, salah satu masjid tertua di Jakarta yaitu di Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Ia mengaku bertemu dengan ibu dan ayah Adam di ruang jenazah.

“Mereka berdua pribadi tabah dan tangguh. Duka itu memang tidak bisa disembunyikan, tapi pancaran ikhlas lebih nampak di wajah mereka. Kepada keluarga dan masyarakat di sini, kami sampaikan bahwa peristiwa ini tentu amat mengejutkan. Oleh karena itu, kita mendoakan agar Keluarga diberikan ketabahan dan masyarakat di lingkungan juga sini diberikan kesabaran, serta menjaga ketenangan bersama,” kata Anies seperti diunggah di Instagram pribadinya.

Ia pun menitipkan pesan bahwa Jakarta bukan tempat untuk perusuh. Satu nyawa hilang saja sudah terlalu banyak, jangan sampai peristiwa tersebut berulang. Ia meminta warga tidak ikut-ikutan dalam bentrokan.

“Pesan saya: pandanglah setiap sesama sebagai saudara sebangsa dan amankan serta lindungi semua sebagai ikhtiar untuk melindungi seluruh warga. Insya Allah, Jakarta selalu dalam suasana yang teduh dan damai,” katanya.

Tetapi, unggahan Anies ternyata mendapatkan kritikan atau tepatnya ejekan dari netizen. Di media sosial, Anies disebut cuma bisa mengusung keranda bahkan dicap pencitraan. Lagi-lagi Anies dibandingkan dengan pejabat lain ketika kotanya berantakan oleh perusuh, termasuk pendahulunya.

Saya hanya bisa menghela nafas panjang dengan kelakuan netizen. Di tengah kondisi yang tegang beberapa hari terakhir, resolusi konflik atau upaya untuk meredam amarah dari berbagai kubu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Saya tahu rasanya ketika berada di tengah kerumunan demonstrasi besar di jantung ibu kota tanpa tahu solusi yang akan dilakukan pemerintah. Saya sudah pernah beberapa kali merasakan harus siap siaga dari pagi hingga tengah malam menyaksikan petugas bersenjata lengkap, water canon atau tank hilir mudik, dan gas air mata yang perih sambil menunggu realisasi untuk meredam eskalasi.

Saya merasa sangat sedih ketika petugas harus dihadap-hadapkan dengan kerumunan massa. Mereka harus melawan saudaranya sendiri yang berniat menyampaikan aspirasi. Lebih sedih lagi apabila jatuh korban dan melihat bagaimana hancurnya perasaan keluarga dan orang-orang terdekat korban.

Saya juga kesal ketika kerusuhan hanya menjadi tontonan dan alat untuk jualan para politisi di keesokan harinya.  Sedangkan di saat momentum itu terjadi, mereka entah ada di mana dan kalaupun  memberikan pernyataan, ya ala kadarnya saja. Bahkan yang lebih celaka, tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kondisi di lapangan.

Satu yang saya percaya, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Maka, narasi humanis adalah pilihan yang bisa diprioritaskan untuk menyelesaikan konflik sosial. Petugas dan demonstran dipertemukan dalam situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan. Namun, ketika demonstrasi mencapai puncak dan emosi kedua pihak tak bisa diredam, episode kehidupan tidak lantas berhenti begitu saja.

Ketika ada yang terluka dan ada yang meninggal dunia, tak ada perhatian lebih yang datang selain ucapan turut berduka dalam bentuk angka-angka. Padahal, ketika seseorang meninggal, dia bukan hanya menambah deret hitung korban kerusuhan melainkan ada gejolak emosi yang seringkali diabaikan. Bagaimana keluarga berduka, bagaimana rasanya kehilangan, dan kompleksitas emosi lainnya.

Sisi inilah yang bisa ‘dimanfaatkan’ untuk menyadarkan para demonstran dan petugas di lapangan untuk melihat dan mengingat sisi kemanusiaan yang melekat pada diri masing-masing orang. Saya hanya berharap langkah Anies ikut mengangkat keranda korban aksi massa 22 Mei memberikan gambaran bahwa ada dampak dan episode lanjutan yang menyedihkan dan menyakitkan dari demonstrasi yang berujung ricuh. Dengan mengingat sisi kemanusiaan setidaknya masing-masing dari kita baik itu petugas, demonstran, ataupun penonton alias netizen merasakan empati sehingga bisa menahan diri untuk tidak memberikan komentar yang tidak perlu.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement