REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*
Mata Ainun memelototi monitor komputer. Sesekali mulutnya komat kamit, bergumam tak jelas, lalu geleng-geleng kepala. Beberapa kali dia menghela nafas panjang. Tangannya yang di atas keyboard komputer terus menari dengan lincah. Namun bunyi tuts komputer yang dipencetnya, terdengar lebih kencang. Sepertinya, ada emosi yang tersalurkan mengalir di sana.
Staf akademik di Universitas Pattimura Ambon itu agaknya sedang kesal. Sejak awal Ramadhan, di sela-sela aktifitasnya, dia rajin berselancar di dunia maya untuk berburu tiket murah. Di telepon genggamnya, dia menginstal sejumlah aplikasi pemesanan tiket daring, yang katanya akan lebih murah jika dibeli secara daring. Tapi ternyata harapannya jauh panggang dari api. "Ah... didiskon juga tetap saja mahal," keluhnya.
Sudah dua kali lebaran berturut-turut, Ainun tak pulang ke kampungnya di Surabaya. Karena itu, tahun ini, dia bersama tiga anggota keluarganya berencana mudik. Di awal Ramadhan, sebetulnya dia sudah lemas dan frustasi melihat angka yang tertera untuk selembar tiket Ambon-Surabaya yang ada di harga Rp 3 jutaan.
Saat mendengar berita akan ada penurunan harga tiket pertengan Mei ini, dia melakukan jeda berburu tiket. Pada 20 Mei, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi pun memastikan harga tiket pesawat sudah mulai turun. Budi menegaskan maskapai saat ini sudah mematuhi tarif batas atas (TBA) yang sudah diturunkan hungga 16 persen. Selain itu juga tidak ada yang menjual tiket mendekati tarif batas bawah (TBB) sehingga tidak menimbulkan perang harga.
Setelah tanggal 20, Ainun melanjutkan perburuannya. Namun lagi-lagi dia menghela nafas panjang. Sepertinya impian berkumpul bersama keluarga besarnya di Surabaya tak bisa terwujud. Bayangkan, tiket termurah di bandrol dengan harga Rp 2,7 juta. Jika mereka mudik berempat, Rp 10 juta lebih dana yang harus disiapkannya hanya untuk pembelian tiket sekali jalan. "Ya Tuhan, bagaimanalah saya bisa pulang kampung," ujar Ainun dengan getirnya.
Mahalnya harga tiket pesawat itu membuat dia dan keluarga akhirnya batal mudik Lebaran tahun ini. Untuk beralih menggunakan transportasi laut, ia juga kesulitan akibat jadwal kedatangan kapal yang tidak bertepatan dengan libur bersama yang ditetapkan pemerintah.
Transportasi udara merupakan pilihan utama bagi warga Ternate yang ingin mudik ke Sulawesi, Jawa dan wilayah lainnya di Indonesia. Pesawat jadi pilihan karena lebih efisien waktu jika dibandingkan menggunakan transportasi laut.
Namun transportasi laut dengan armada Pelni, hanya singgah di Ternate untuk tujuan Sulawesi dan Jawa hanya dua kali dalam sebulan. Sialnya, jadwal kapal terakhir yang singgah adalah pada 25 Mei. Sedangkan pada tanggal itu, belum masuk masa libur bersama.
Perjalanan berlayar menggunakan kapal Pelni untuk tiba di Surabaya membutuhkan waktu lima hari lamanya. Itupun tiket kapal Pelni yang tiba di Ambon pada 25 Mei itu sudah habis. Sehingga warga yang ingin mudik menggunakan kapal Pelni itu tidak bisa lagi berangkat. Sedih nggak sih?
Inilah yang dikeluhkan warga yang bermukim di wilayah Indonesia Timur. Seharusnya, kondisi terbatasnya armada mudik bagi warga yang akan menuju Pulau Jawa diperbanyak. Atau, kondisi ini harusnya menjadi pertimbangan moril perusahaan penerbangan nasional untuk tidak menetapkan harga tiket yang mahal pada musim mudik Lebaran terutama di wilayah Timur Indonesia sana.
Apalagi pulau-pulau di wilayah tersebut belum terhubung jalur daratan. Berbeda dengan di Pulau Jawa dan Sumatra, yang antara pulau pun masih bisa diakses menggunakan jalur darat. Sehingga, jika tiket pesawat mahal, mereka bisa memilih jalur darat. Menyeberangkan kendaraan ke pulau lain pun tak masalah dengan adanya akses Kapal Ferry ASDP.
Banyaknya berita-berita program Mudik Gratis yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun swasta, bagi mayarakat di wilayah timur Indonesia hanya angan-angan. "Kapan ya bisa merasakan mudik gratis, seperti mereka di Jawa. Enak sekali, bisa milih mau mudik sama siapa. Kita di sini, boro-boro mau mudik gratis, sudah armada kapal terbatas, mau pulang naik pesawat tiketnya ampun mahal sekali," kata Ainun.
Mudik Lebaran, tradisi yang mendarah daging bagi warga Indonesia pada umumnya, tahun ini cukup membuat banyak orang berpikir keras. Mereka yang terbiasa melenggang hanya dengan tas jinjing naik pesawat, mungkin ada yang kini beralih menyiapkan armada roda empatnya.
Yang bisa naik pesawat pun, masih berpikir lagi. Jika menggunakan pesawat low cost carrier, harus siap-siap menanggung beban bagasi berbayar, meskipun harganya sudah lumayan mahal pascakenaikan harga tiket. Atau merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiket pesawat kategori full service yang masih memberikan fasilitas bagasi gratis 20 kg.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id