Jumat 31 May 2019 04:12 WIB

Tayangan Ramadhan; Apresiasi dan Sanksi

Sejumlah tayangan tidak sesuai dengan nafas Ramadhan.

Red: Joko Sadewo
Moh. Nashih Nasrullah
Foto: dok. Republika
Moh. Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*

Jika berbicara soal media manakah, antara media sosial dan media televisi, yang lebih memungkinkan atau bahkan sering menayangkan tayangan-tayangan yang adegan tarian dan atau lirik yang dapat dikategorikan sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat seksual atau memberi kesan hubungan seks, dan atau menyiarkan program, adegan dan atau lirik yang dapat dipandang merendahkan perempuan menjadi sekadar obyek seks, dan atau memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional, tentulah media sosial dengan ragam platformnya lebih berpeluang menayangkan kesemuanya itu. Berbagai konten-konten tak pantas begitu mudah viral melalui media sosial, yang acapkali luput dari pengawasan berbagai pihak.

Tapi, mengapa masyarakat cenderung lebih ‘cerewet’ menyoroti media televisi? Tak lain karena hak mendapatkan tayangan sehat dari televisi. Hak tersebut secara jelas dilindungi oleh negara dalam ketentuan regulasi yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Di sisi lain, daya jangkau media sosial, belum mampu menyentuh sejumlah wilayah pedalaman, sementara hiburan yang mudah mereka akses hanyalah televisi. Silakan saja stasiun televisi membuat program-program sesuai dengan daya kreativitas, inovasi, dan menghibur, namun tetap saja, para pelaku industri televisi tak bisa lepas begitu saja dari koridor regulasi yang ada. Frekuensi publik yang dimanfaatkan televisi harus digunakan untuk memberikan tayangan-tayangan yang edukatif dan turut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam pandangan Marshall Mc Luhan (1960), televisi sebagai media audiovisual telah mampu menjadi piranti kuat di era modern untuk menciptakan kebudayaan baru bagi masyarakat. Televisi dalam pandangan Mc Luhan, telah membuat manusia lebih interdependent. Oleh Ma’rat dalam Effendy (2002), kemampuan televisi tersebut digambarkan secara umum mampu berdampak pada sikap, pandangan, persepsi, dan perasaan penonton. Televisi mempunyai daya tarik kuat yang disebabkan unsur-unsur kata-kata, musik, dan sound effect serta memiliki unsur visual berupa gambar. Gambar yang dimaksud di sini bukan hanya gambar mati, melainkan juga gambar hidup.