REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Selain harus bisa menguasai diri sendiri, ayah dan ibu juga harus bisa mengarahkan anaknya.
Saya pun kerap kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis Rio, putra semata wayang yang berusia 13 tahun. Pekan lalu, saya meneleponnya untuk menanyakan kondisi sekitar Kalimalang, Jakarta Timur.
Saya ingin mendapatkan gambaran situasi terkini Kalimalang dari orang yang bisa dipercaya. Soalnya, di grup alumni SMP, salah seorang kawan membagikan video kerusuhan yang menurut keluarganya baru saja terjadi di Kalimalang.
Dia bilang, penjarah segera masuk ke perumahan. Pikiran saya langsung terbayang Mei 1998, saat banyak toko dan pusat perbelanjaan dijarah dan warga bersiaga menjaga gerbang untuk menghalau perusuh.
Saya terkesiap ketika mendapati ananda tak menjawab panggilan telepon. Ibu saya pun tak bisa ditelepon. Jangan-jangan, pikir saya, duh, naudzubillahi min dzalik...
Mencoba tenang, saya memutuskan untuk berselancar di internet dengan kata kunci "kerusuhan Kalimalang". Dalam sekejap, satu video yang sama persis saya dapatkan di Youtube. Pengunggah memberi keterangan, kejadian 21 Mei.
Beberapa saat kemudian saya teringat, kejadian itu bukan isapan jempol. Kerusuhan memang terjadi di Kalimalang, tetapi bukan hari itu. Saya pernah melihat video serupa yang memperlihatkan kericuhan saat penertiban penghuni Kompleks Kodam Jatiwaringin pada tahun lalu.
Anak saya kemudian menelepon balik dan mengatakan Kalimalang tampak biasa saja. Lega rasanya.
Begitu sudah di rumah, isu Kalimalang ricuh rupanya belum tamat. Rio, anak saya, jadi penasaran, mengapa saya tadi menanyakan situasi Kalimalang.
Kami akhirnya berbincang tentang hoaks dan bagaimana cara menguji kebenaran suatu informasi. Saya sampaikan, terkadang berita palsu sengaja diproduksi oleh pihak yang punya tujuan tertentu. Orang bisa saja ikut menyebarkannya lantaran berita itu tampak meyakinkan, apalagi dalam bentuk video.
Pembicaraan yang lebih berat bergulir saat demo 22 Mei pecah. Rio menanyakan alasan massa berunjuk rasa, mengkritisi dialog presenter TV yang narasumbernya diwawancarai tentang demonstran, Ramadhan, dan shalat tarawih. Dia juga mencermati mengapa begitu banyak petasan tersedia untuk ditembakkan di malam itu.
Untuk pertanyaan terakhir, saya dan suami tak mampu menjawabnya. Ujungnya, kami hanya bisa bergurau, main tebak-tebakan soal sumber petasan.
Saya merasa bersyukur Rio menjadikan kami, ibu dan ayahnya, sebagai rujukan utama ketika ada hal-hal yang mengusik pikirannya. Namun, seperti remaja tanggung pada umumnya, dia juga punya kawan ngobrol yang terkadang topiknya tak selalu kami ketahui.
Sebetulnya, saya senang melihat anak-anak yang tak apatis terhadap sekitar. Namun, hal yang sama tidak saya rasakan ketika mengetahui puluhan anak terlibat dalam kegiatan politik pada malam tanggal 22 Mei di depan Kantor Bawaslu dan sekitarnya.
Buat saya, itu berarti kita kecolongan. Orang tua, tetangga, guru, sampai perangkat desa semua bertanggung jawab atas keterlibatan anak-anak di insiden tersebut.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, ada 52 anak yang kini direhabilitasi di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani, Bampu Apus, Jakarta Timur. Mereka berusia 14 sampai 17 tahun dan berasal dari berbagai daerah, termasuk Jakarta, Garut, Tasikmalaya, dan Lampung.
Kabarnya, psikolog telah mengungkap motivasi para remaja tersebut. Ada yang ikut-ikutan teman, ingin melihat langsung demo di Jakarta, dan ada pula yang mengaku diajak seorang yang diduga guru ngaji.
Sedihnya, menurut KPAI, sebagian orang tua tak tahu keberadaan anaknya saat kericuhan pecah di sekitar Bawaslu. Ironis, memang.
Ketika melihat tayangan siaran langsung kericuhan dari malam hingga dini hari, yang terbayang di benak saya kejadian itu lebih mirip tawuran. Mereka yang berada di garis terdepan melempar batu, menyulut petasan, melontarkan apapun yang ada ke arah aparat. Beberapa di antaranya tampak seperti menantang sekaligus mengejek, menunggu balasan sembari berlari menghindari serangan balik.
Mereka lantas dibombardir dengan gas air mata. Meski dipukul mundur, saling serang tampak terus berlanjut. Seolah mereka tak kehabisan amunisi untuk bertarung.
Bukan sekali-dua kali saya merasakan pedihnya gas air mata, baik saat ikut turun ke jalan maupun kala liputan. Tak sampai hati rasanya jika anak-anak harus merasakannya.
Tetapi, mereka memang berada di tempat yang salah. Sengketa Pilpres 2019 bukanlah perkara yang harus mereka urus. Belum, belum saatnya.
Di usia segitu, cukuplah mereka berada di ruang-ruang diskusi. Jangan redupkan kekritisan dan rasa ingin tahu mereka. Bagaimanapun, merekalah penerus bangsa.
Salah besar menyeret anak-anak ke pusaran politik, apalagi jika ada yang sengaja merencanakan rusuh dan tahu anak-anak akan ada di sana atau malah sengaja merekrut remaja yang belum cukup umur. Polisi sudah menyebut, massa aksi di malam ricuh berbeda dengan yang berdemonstrasi sesaat sebelumnya.
Jahat sekali mereka, memanfaatkan dorongan remaja untuk tampil heroik ke situasi semacam ini. Siapapun dalangnya, ia harus dimintai pertanggungjawaban.
Terlepas dari adanya penunggang demonstrasi soal pilpres, persoalan mendasarnya harus diselesaikan. Anak-anak sedikit-banyak terpengaruh oleh perseteruan terbuka di masyarakat terkait pilpres. Mereka ikut berkubu meski belum punya hak pilih.
Di luar 52 anak yang terjaring dalam kericuhan 22 Mei, bisa jadi masih banyak anak-anak lain yang memiliki semangat serupa. Mereka rentan dimanfaatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Pemahaman mereka harus diluruskan agar kelak bisa menilai dengan objektif.
Secara hukum, hasil akhir pilpres memang belum final. Tetapi, mungkin sudah saatnya bangsa ini menunjukkan kualitas terbaiknya, yakni dengan menjunjung tinggi keadilan, persamaan di muka hukum, dan menghargai perasaan satu sama lain.
Ini tentu bukan hal mudah. Orang dewasa pun masih sulit meredakan tensi, mengurangi syak wasangka, dan mengerem komentar yang menyulut pertikaian. Ricuh 22 Mei telah memberi amunisi baru untuk saling serang, terlebih di media sosial, tak terkecuali di grup alumni SMP saya.
Di mata saya, grup Whatsapp itu seperti Indonesia kecil. Ah, apa kita mau terus terbelah begitu?
Kita seharusnya lekas introspeksi diri. Orang tua harus merenungkan kembali sebaik apa mereka telah menjaga anak, amanah yang dititipkan Allah SWT. Orang dewasa seharusnya menjadi teladan, memberikan perlindungan, dan menjaga anak agar tak terjerumus ke hal-hal negatif.
Orang tua harus hadir untuk anaknya. Support system di keluarga dan masyarakat harus berjalan. Tetapi, kita tak mungkin membesarkan anak-anak sendirian kan?! It takes a village to raise a child, peribahasanya.
Bagaimana mungkin melakukannya jika kita tak mengambil langkah untuk keluar dari kemelut politik praktis? Sudah saatnya tokoh-tokoh bangsa hadir di masyarakat dengan mengedepankan sikap kenegarawanan. Narasi yang adem harus digemakan di kedua kubu pendukung capres-cawapres. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah harus dipulihkan.
Terdengar klise? Kalau begitu, marilah kita mulai perubahan itu dari diri sendiri.
*penulis adalah wartawan Republika.co.id